1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hari Anti Penggunaan Serdadu Anak

12 Februari 2009

Sekarang ini di beberapa tempat terjadi penurunan penggunaan serdadu anak. Khususnya karena berakhirnya konflik. Namun bocah yang dilibatkan secara aktif di wilayah konflik bersenjata masih sangat banyak.

https://p.dw.com/p/GsgX
Serdadu anak dari UgandaFoto: AP

Tak banyak yang menyadari bahwa tanggal 12 Februari ini merupakan hari internasional anti penggunaan serdadu anak. Pemilihan tanggal ini didasarkan pada peristiwa 12 Februari 2002, yakni mulai berlakunya protokol tambahan Konvensi PBB mengenai hak-hak kaum bocah untuk bebas dari pelibatan dalam konflik bersenjata.

Secara rutin berbagai organisasi HAM, demokrasi dan perlindungan anak menandai tanggal ini dengan berbagai acara khusus, dikemas dalam apa yang disebut Hari Tangan Merah, atau Red Hand Day. Ini merupakan aksi simbolik mengumpulkan ratusan ribu cap tangan anak-anak dengan warna merah di atas selembar kertas. Lalu diserahkan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa, sebagai peristiwa simbolik untuk menyuarakan penentangan terhadap penggunaan serdadu bocah di seluruh dunia.

Athanasios Melissis, dari Terre des Hommes Jerman, salah satu prakarsa peristiwa ini menjelaskan, yang dimaksud serdadu anak bukan cuma mereka yang menyandang senjata dan bertempur.

Lebih jauh Athanasios Melissis: "Siapapun anak yang dilibatkan dalam struktur ketentaraan atau kelompok bersenjata; baik sebagai informan, mata-mata, pemeriksa ranjau, bahkan pembantu pasukan, tergolong serdadu anak. Jadi bukan cuma yang menyandang senjata sebagaimana dibayangkan banyak orang."

Menurut Athanasios Melissis, serdadu anak banyak digunakan di berbagai wilayah konflik bersenjata. Yang paling banyak menggunakannya adalah kelompok pemberontak atau kelompok bersenjata tidak resmi. Namun di banyak tempat, tentara-tentara resmi pun menggunakan pula seradau anak, seperti misalnya di Birma, Kolumbia dan Kongo.

Mereka digunakan untuk tugas-tugas yang sangat berbahaya, seakan untuk menghemat dan menyelamatkan serdadu dewasa. Athanasios Melissis dari Terre des Hommes: "Serdadu cilik ini dianggap yang paling tidak bernilai, paling kurang berharga di ketentaraan atau kelompok bersenjata itu. Jadi biasanya mereka dipaksa untuk melakukan tugas-tugas paling berat dan berbahaya. Karena itu banyak sekali yang jadi korban. Sayangnya, tak banyak catatan mengenai angka korban ini. Sementara itu, serdaduk cilik perempuan, jelas sering menjadi korban penyalahgunaan seksual oleh tentara dewasa."

Upaya untuk memberantas penggunaan serdadu anak mendapatkan tenaga baru sekarang ini, dengan digelarnya sidang Mahkamah Internasional untuk mengadili Thomas Lubanga, dengan tuduhan khusus, merekrut serdadu anak, termasuk melatih dan menugaskan untuk melakukan penyiksaan dan pembunuhan.

Athanasios Melissis mengungkapkan: "Sekadar gambaran, pada tahun 1990an, belum ada kesadaran mengenai hal ini. Penggunaan serdadu anak seakan merupakan hal yang wajar dan bukan merupakan kejaharan. Tak ada yang mempermasalahkan. Namun sekarang keadaannya berubah. Terlebih sesudah Mahkamah Internasional mendakwa Thomas Lubanga untuk perkara penggunaan serdadu anak. Kini secara luas hal ini dianggap masalah besar, suatu kejahatan berat. Masyarakat internasional menyadari hal ini dan mengupayakan pemecahannya."

Menurut Athanasios Melissis, sekarang ini di beberapa tempat terjadi penurunan penggunaan serdadu anak. Khususnya karena berakhirnya konflik. Namun bocah yang dilibatkan secara aktif di wilayah konflik bersenjata masih sangat banyak. Seperti yang diungkapkan Athanasios Melissis: "Kami mencatat setidaknya masih terdapat sekitar 250 ribu serdadu anak di seluruh dunia. Di Afrika, berbagai kelompok pemerintah dan pemberontak, melibatkan setidaknya 100 ribnu tentara anak. Di Asia, yang mencatat angka mengguncangkan adalah Birma, yang melibatkan sekitar 70 ribu anak. (gg)