1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Harga Mahal untuk Produk Murah

Christina Ruta14 Desember 2012

Di beberapa pabrik tekstil India, perempuan muda diperlakukan seperti budak. Sementara sejumlah perusahaan Jerman memperoleh barang dari pabrik tersebut.

https://p.dw.com/p/1726P
Indien Kinderarbeit Textilindustrie, Mädchen in einer Spinnerei.
Indien Kinderarbeit TextilindustrieFoto: picture-alliance/Godong

Sebuah pullover seharga 20 Euro, sebuah celana panjang jeans hanya seharga 30 Euro. Bahwa permintaan pasar akan mode berharga murah menyebabkan penderitaan pekerja sudah diketahui banyak konsumen Jerman. Di negara bagian Tamil Nadu di India selatan berlaku sebuah sistem, yang disebut Sumangali. Sistem ini melanggar hak asasi manusia, tetapi sudah tertanam dalam masyarakat. Kata Sumangali yang berasal dari bahasa Tamil berarti, "perempuan yang membawa kesejahteraan".

Orang tua menyerahkan anak mereka kepada pabrik-pabrik tekstil atau perusahaan pemintalan, agar mereka dapat mengumpulkan uang yang akan mereka bawa ke dalam pernikahan. Di pabrik-pabrik itu mereka kemudian disalahgunakan. Upah untuk pekerjaan selama 12 jam biasanya di bawah 60 sen, atau tidak sampai 7.000 Rupiah sehari. Mereka dijanjikan akan mendapat bonus sekitar 500 Euro (6 juta Rupiah).

Kunden stöbern am Montag (25.07.2005) in einem Kaufhaus in Hamburg in Angeboten des Sommerschlussverkaufs. Die Einzelhändler im Norden wollen ihre Lager mit Sommerware endgültig räumen und locken die Kunden mit Preisabschlägen von bis zu 70 Prozent. Die restliche Sommerbekleidung soll in den nächsten 14 Tagen den Herbstkollektionen weichen.Seit 2004 läuft der Schlussverkauf (SSV) auf freiwilliger Basis, Rabatte sind das ganze Jahr über erlaubt. Foto: Ulrich Perrey +++(c) dpa - Report+++
Pakaian berharga sangat murah yang diperebutkan konsumen sebuah pasar swalayan di HamburgFoto: picture-alliance/dpa

Tapi itu hanya mereka peroleh, jika mereka benar-benar bekerja selama tiga atau empat tahun, dan uang itu biasanya diberikan kepada keluarga penganten pria. Para pekerja perempuan itu tidak boleh meninggalkan areal pabrik dan hidup berdesakkan di rumah-rumah kumuh. Kadang mereka dipukuli atau mengalami pelecehan seksual. Organisasi bantuan anak-anak Terre des Hommes memperkirakan, sekitar 120.000 anak perempuan terjebak dalam sistem ini, dan melaporkan adanya berbagai upaya mereka untuk melarikan diri.

Tidak ada Transparansi bagi Perusahaan Jerman

Banyak perusahaan mode yang berkedudukan di Jerman juga mengimpor produk dari daerah Tamil Nadu, yang menjadi salah satu daerah penghasil tekstil terbesar di dunia. Tetapi tidak jelas, apakah perusahaan-perusahaan itu juga mendapat barang dari pabrik yang melaksanakan Sumangali. Kewajiban mengikat untuk memberikan informasi dalam hal ini tidak ada.

"Ini menjadi kritik paling penting dari kami, bahwa tidak ada transparansi, apakah konsumen dalam hal ini membeli produk hasil jerih payah pekerja yang diperbudak, atau produk yang kebetulan berasal dari daerah itu, tetapi diproduksi dalam situasi kerja normal," kata Volker Beck, juru bicara Partai Hijau di bidang hak asasi manusia. Partainya mengajukan tema itu kepada pemerintah Jerman dalam sidang parlemen, Bundestag. Dalam wawancara dengan Deutsche Welle ia menuntut peraturan yang mengikat secara hukum bagi perusahaan Jerman. "Kami ingin, bahwa perusahaan diharuskan mengungkap, dari mana mereka mendapat produk-produknya."

Lebih banyak transparensi juga dituntut Antje Schneeweiß dari Institut Südwind. Schneeweiß yang baru saja menerbitkan studi soal pelanggaran peraturan kerja di industri tekstil Indonesia menilai bukan konsumen saja yang punya tanggungjawab. Para pemilik saham pada perusahaan mode besar juga bisa menegaskan kepada pihak perusahaan, bahwa mereka hanya akan menanamkan modal pada perusahaan yang menanggapi dengan serius hak asasi manusia dan hak pekerja. Antje Schneeweiß bertukas, "Pengalaman saya menunjukkan, perusahaan memberikan reaksi atas tuntutan yang diutarakan dengan jelas oleh investor."

The hands of a young Indian bonded child laborer are seen as he sits in a police van after being rescued during a raid by workers from Bachpan Bachao Andolan, or Save the Childhood Movement, at a garment factory in New Delhi, India, Tuesday, June 12, 2012. Raids on factories in the Indian capital revealed dozens of migrant kids hard at work Tuesday despite laws against child labor. Police rounded up 26 children from three textiles factories and a metal processing plant, but dozens more are believed to have escaped. Those captured had all come to New Delhi from the states of Bihar and Uttar Pradesh. (Foto:Kevin Frayer/AP/dapd)
Tangan seorang anak yang terpaksa bekerja di perusahaan tekstil di New Delhi, India (12/06/12)Foto: AP

Rantai Produksi Yang Panjang

Banyak produsen sudah mempublikasikan nama-nama pemasoknya di situs mereka di internet. "Namun itu biasanya hanya pemasok utama, dan kondisi kerja di perusahaan-perusahaan itu kemungkinan masih yang paling baik," kata Antje Schneeweiß. Tetapi tiap pemasok utama biasanya menyalurkan pekerjaan ke perusahaan lain yang lebih kecil.

Perusahaan mode H&M juga merujuk pada rantai produksi yang sangat panjang. Perusahaan itu, seperti banyak lainnya, juga memproduksi barang di India Selatan. Perusahaan raksasa itu menyatakan kepada Deutsche Welle dalam sebuah pernyataan tertulis, "Sumangali banyak ditemukan di perusahaan pemintalan. Jadi sebagian di bidang-bidang, di mana H&M tidak punya peran langsung. Di sini, sudut pandang yang mencakup seluruh industri diperlukan, yaitu yang juga mencakup perusahaan selanjutnya yang mendapat pesanan, juga wakil-wakil pemerintah."

Partai Hijau Tuntut Larangan Impor

Volker Beck dari Partai Hijau terutama menilai, pemerintah Jerman juga memiliki kewajiban, "Jika sebuah barang diproduksi dalam kondisi kerja seperti perbudakan, orang harus dapat membatasi impor barang itu," demikian Beck.

Berlin/ ARCHIV: Volker Beck (Gruene), Parlamentarischer Geschaeftsfuehrer der Gruenen-Bundestagsfraktion, gibt in Berlin vor Beginn einer nicht oeffentlichen Sitzung des Innenausschusses des Bundestages ein Interview (Foto vom 21.11.11). Vor der geplanten Verabschiedung einer Resolution zur Beschneidung im Bundestag hat sich Beck hinter den Entwurf gestellt. In einem Gespraech mit der "Neuen Osnabruecker Zeitung" (Donnerstagausgabe vom 19.07.12) kritisierte er gleichwohl, er faende es "problematisch, dass die Abgeordneten jetzt so kurzfristig in eine solche Entscheidungsdebatte gezwungen werden". Das zugrunde liegende Urteil sei von Mitte Mai 2012 und die oeffentliche Debatte laufe seit mindestens zwei Wochen auf Hochtouren. "Warum jetzt alles so Hopplahopp geschehen soll, erschliesst sich mir nicht", sagte der Gruenen-Politiker. Folglich koenne er in dieser sensiblen Frage auch nicht fuer die gesamte Fraktion sprechen. (zu dapd-Text) Foto: Michael Gottschalk/dapd
Volker Beck dari Partai HijauFoto: dapd

Pemerintah Jerman sendiri menolak bertanggungjawab dalam hal ini. Dalam jawabannya atas pertanyaan dari partai Hijau Oktober lalu, pemerintah Jerman menyatakan, "Dilihat dari segi kewenangan, larangan impor hanya dapat ditetapkan oleh Uni Eropa." Penegakkan standar sosial tidak diatur secara hukum oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Jadi larangan impor akibat pelanggaran sosial, dilihat dari peraturan WTO, tidak diperbolehkan.