1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikIran

Harapan Meredup dalam Perundingan Nuklir Iran

3 Juni 2021

Upaya menghidupkan kembali perjanjian nuklir sebelum pemilu di Iran 18 Juni mendatang menemui jalan buntu. Meski perlahan mendekat, Teheran dan Washington diklaim “masih terlalu jauh” dari kata sepakat.

https://p.dw.com/p/3uNov
Ilustrasi konflik program nuklir antara Iran dan Amerika Serikat
Ilustrasi konflik program nuklir antara Iran dan Amerika SerikatFoto: Ohde/Bildagentur-online/picture alliance

Pemerintah Iran meredupkan harapan tercapainya secara dini kesepakatan dengan Amerika Serikat terkait kelanjutan Perjanjian Nuklir 2015.  Wakil Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi mengatakan, kedua negara "semakin mendekat, tapi masih jauh dari tercapainya sebuah perjanjian.” 

Araghchi enggan mengkonfirmasikan spekulasi yang beredar, bahwa negosiasi nuklir di Wina, Austria, akan memasuki fase akhir pekan depan. Sebelumnya, menlu Iran itu menyebutkan, AS dan pihak lain harus terlebih dahulu membuat "sejumlah keputusan sulit.”

Araghchi yang mengepalai delegasi perundingan di Wina mengatakan keputusan akhir akan dibuat di Teheran, bukan di meja perundingan.

Pemerintahan baru AS di bawah Presiden Joe Biden sempat mengadopsi posisi pendahulunya, yang menyaratkan agar Iran mengakhiri intervensi militer di kawasan demi kelanjutan perjanjian. Namun sikap itu perlahan mencair menyusul perkembangan politik di Teheran.

Saat ini kelanjutan perundingan nuklir dikhawatirkan terancam, menyusul berakhirnya masa pemerintahan kelompok moderat di bawah Presiden Hassan Rouhani

Ayatollah Ebrahim Raisi, kandidat presiden Iran.
Ayatollah Ebrahim Raisi, kandidat presiden Iran.Foto: Atta Kenare/AFP/Getty Images

Fase paling krusial dalam negosiasi

Pada pemilihan umum legislatf tanggal 18 Juni mendatang, ulama ultra konservatif Ebrahim Raisi diprediksi berpeluang besar terpilih. Dia berulangkali mengritik pembatasan program atom Iran di bawah Perjanjian Nuklir 2015.

Raisi sempat digadang-gadang sebagai calon pengganti Ayatollah Ali Khamenei. Usai dikalahkan Rouhani pada pemilu kepresidenan 2017 lalu, Khamenei menunjuknya sebagai hakim kepala di Mahkamah Konstitusi Iran.

Adalah politisi senior Iran, Ali Larijani, yang diharapkan kaum moderat mampu menyaingi popularitas Raisi. Kedekatannya dengan Hassan Rouhani mengindikasikan kebijakan yang lebih terbuka terhadap negara barat. Satu-satunya kesempatan bagi Larijani adalah memobilisasi pemilih moderat yang sebagian besar enggan mencoblos, seperti hasil jajak pendapat pemerintah pekan lalu. 

Itu sebabnya diplomat-diplomat Eropa seperti dilansir DPA, menilai negosiasi untuk menyelamatkan Perjanjian Nuklir 2015 sedang memasuki fase penentuan. Sejak April silam, juru runding Jerman, Prancis, Inggris, Rusia dan Cina berusaha memediasi antara Iran dan AS.

Iran sejauh ini bersikeras, AS harus mencabut terlebih dahulu sanksi dan embargo yang diputuskan pada masa Presiden Donald Trump. Sebaliknya Washington melontarkan persyaratan agar Teheran menghentikan program nuklir yang kembali diaktifkan sejak akhir tahun lalu. 

Delegasi Uni Eropa yang mengkoordinasikan perundingan di Wina meyakini kesepakatan akan tercapai pada putaran baru negosiasi yang dimulai pekan depan. Kepada Reuters, seorang diplomat senior mengatakan "keputusan yang paling sulit menanti di cakrawala.”

rzn/as (dpa,rtr)