1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sejarah

Hantu Komunisme Dimainkan Dalam Skenario Politik

19 September 2017

Dalam wawancara dengan DW, direktur Setara Institute Hendardi memaparkan tentang fobia komunisme yang masih kuat merebak di tengah masyarakat dan dimanfaatkan berbagai pihak demi kepentingan politik jangka pendek.

https://p.dw.com/p/2kH8v
Gedenken an Menschenrechtsverletzungen, Indonesien
Foto: DW/G. Simone

Deutsche Welle: Bentrokan di YLBHI akhir pekan lalu menjadi polemik panjang, hingga akhirnya ada yang berpendapat diskusi terkait komunis harus dilarang. Sebenarnya apa yang terjadi di balik semua ini?

Hendardi: Sebetulnya aparat keamanan yang berhadapan dengan perisitwa semacam ini sering menghadapi ambivalensi atau dilema. Dan sering kali tindakannya tidak seragam dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Di beberapa tempat polisi cukup tegas, tetapi seperti di LBH kemarin saya kira polisi cukup lamban. Kemudian (mereka) menggunakan alasan yang dicari-cari seperti soal perizinan diskusi, yang sebetulnya tidak diperlukan sejauh itu dilakukan di kalangan terbatas, tertutup dan tidak melibatkan massa. Sebenarnya syarat-syarat itu sudah terpenuhi, tapi kita tahu, polisi tetap melarang. Saya kira ada perhitungan suka tidak suka di balik ini, yang dilakukan polisi. Jadi bukan sekedar perhitungan hukum, tapi juga berdasarkan kalkulasi politik. Saya kira di luar ini ada yang kemudian ikut bermain. Polisi cukup hati-hati, karena polisi baru dapat menghalau mereka dini hari dan itu juga harus dengan keras juga. Memang agak aneh, karena jarang sekali demonstrasi di Indonesia atau di Jakarta pada khususnya dilakukan tengah malam.

Indonesien Unruhen in Jakarta
Berbagai kelompok anti-komunis mengepung kantor YLBHI dan menuding penyelenggaraan diskusi bertema komunisFoto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni

Lewat setara insitute Anda juga menyebutkan ada pihak yang tengah memainkan isu ini. Apakah pihak ini sedemikian kuatnya hingga bisa mempengaruhi kepolisian?

Sebelumnya sudah ada pernyataan-pernyataan dari kelompok-kelompok yang selama ini dikenal intoleran yang menyatakan apa yang dilakukan di LBH itu sebagai kegiatan komunis. LBH tidak menutupi hal ini, bahwa memang ini diskusi terbuka. Terbuka dalam pengertian hanya undangan-undangan yang diajukan untuk mengikuti seminar. Ketika mereka mengetahui hal tersebut, hantu komunis pun dipakai. Hantu komunis sebagai suatu alasan atau argumen, saya kira, ini berkaitan erat dengan momentum politik yang lebih besar pada masa mendatang, seperti pemilihan presiden dan lain-lain. (Hal ini) sudah dimulai sekarang. Jadi semua bumbu, baik Rohingya, PKI dan sebagainya kemudian digoreng untuk tujuan yang lebih jauh. Saya kira, sikap Panglima TNI yang meminta Angkatan Darat menyiarkan film tentang G30S - yang jelas-jelas digunakan untuk propaganda di masa lalu- itu mau didaur-ulang kembali, sementara  usaha masyarakat untuk mengungkap sejarah tidak pernah diberikan ruang. Ini menunjukkan adanya kepentingan tersendiri, termasuk dari TNI.

Apa yang membuat masyarakat sedemikian mudah dimobilisasi lewat fobia atau hantu komunisme seperti istilah Anda tadi?

Sejauh sejarah memang tidak bisa dibicarakan secara terbuka, sejauh sejarah tidak bisa diungkap secara terang dan tidak bisa dinikmati oleh publik, sejauh itu pula, institusi-institusi politik yang dominan masih bisa menyatakan kebenaran dalam satu persepektif. Tugas Presiden Jokowi untuk membenahi hal-hal semacam ini. Setidaknya, ia harus menegur Panglima TNI yang menghidup-hidupkan lagi hantu komunis yang pada kenyataannya tidak pernah ada. Secara konsepsi sudah usang, dan secara nyata juga tidak ada praktik komunis yang bisa hidup di sini. Di belahan bumi lain juga sudah surut. Jika kita menghidup-hidupkan itu, bisa jadi lelucon bagi masyarakat dunia.

Apa komentar Anda bila para politisi seperti dari Nasdem yang angkat suara dan mengusulkan agar diskusi komunis dilarang, padahal kebenaran mengenai peristiwa 1965 belum sepenuhnya dibuka.

Saya kira dia politisi ketinggalan zaman. Da tidak mengikuti perkembangan di dunia dan masih terpaku seolah-olah itu menjadi kebenaran yang dipuja-puja dan dipegang terus. Seharusnya dia menyuarakan bahwa orang yang berpikir, yang berkeyakinan lain, harus diberi tempat dalam negara demokrasi ini. Itu termasuk dengan cara berdiskusi. Bagaimana orang bisa melihat dengan terang, kalau fakta sejarah itu tertutup. Saya kira akan banyak anggota partai politik yang berpendapat semacam itu. Yang punya pandangan berbeda juga kuatir, karena dalam konteks seperti ini selalu akan berhadapan dengan TNI atau purnawirawan atau kelompok yang berafiliasi dengan TNI untuk kemudian menentang upaya membuka sejarah itu, atau katakanlah mendiskusikan saja sudah dilarang.

Ketika ada alasan diskusi dilarang dan aktivis disalahkan tidak sensitif dan menyebabkan perpecahan di masyarakat, menurut Anda apakah alasan ini masuk akal?

Saya kira kita harus membenahi persepsi semacam itu. Yang membuat bangsa ini pecah adalah orang-orang yang tidak mau, atau bersikutat pada kebenarannya sendiri. Dia merasa kebenaran itu adalah milik mereka, orang lain tidak dibenarkan untuk memiliki pandangan atau mengungkap fakta yang lain. Itu yang membuat masyarakat terpecah. Maksudnya mempersatukan dalam pengertian dalam satu kebenaran versi mereka, itu hanya dimiliki oleh Orde Baru. Sudah berapa lama Orde Baru lengser, sudah bukan saatnya lagi berbicara seperti itu. Persepsi demikian keliru. Kebenaran justru harus dibuka, menurut saya.

*Wawancara DW melalui telepon dengan Hendardi dilakukan oleh Tonggie Siregar .

(ts/hp)