1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Religi

Ramadan di Aceh Hampir Tidak Berbeda Tahun Ini

Rizki Akbar Putra
27 April 2020

Di tengah pandemi virus corona COVID-19, masyarakat di Aceh tetap melaksanakan akitivitas ibadah seperti biasa. Wawancara dengan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Faisal Ali.

https://p.dw.com/p/3bTNA
Masjid Babut Taqwa di Banda Aceh
Masjid Babut Taqwa di Banda AcehFoto: AFP/C. Mahyuddin

Meski pandemi virus corona tengah melanda Indonesia, masyarakat Aceh tetap melaksanakan aktivitas harian seperti biasa. Terlebih di bulan suci Ramadan ini, masyarakat memenuhi masjid-masjid untuk melaksanakan ibadah Salat Jumat maupun Tarawih. Mengapa tampaknya tidak ada perbedaan pelaksanaan ibadah Ramadan dibanding tahun lalu? Bagaimana sebenarnya masyarakat Aceh memandang COVID-19? Apakah hukum cambuk juga masih terus diterapkan dan dipertontonkan di saat Ramadan ini? Wawancara DW Indonesia dengan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Faisal Ali.

DW Indonesia: Bagaimana kondisi Ramadan di Aceh di tengah pandemi virus corona sekarang ini?  

Faisal Ali: Sampai dengan hari ini suasana di Banda Aceh khususnya masyarakat dalam menjalankan aktivitas sosial dan aktivitas ibadah masih sama seperti tahun-tahun yang lalu. Cuma hanya sedikit ada perbedaan tentang volume waktu. Tapi yang lain hampir kita katakan 90 persen kehidupan masyarakat baik aktivitas sosial dan juga ibadahnya sama antara puasa tahun lalu dengan tahun ini.

Mengapa bisa tidak ada perbedaan di saat ada pandemi seperti sekarang ini?

Memang dalam konteks beribadah itu ada keterkaitan dengan keputusan pemerintah. Misal pemerintah memutuskan di Aceh PSBB, tentunya model-model ibadah seperti sekarang ini tidak bisa dilakukan. Harus mengikuti keputusan pemerintah. Tapi karena dalam konteks sekarang ini kita masih masuk dalam kategori yang terkendali, walaupun ada penambahan kasus yang sampai pada hari ini sudah 10. Satu meninggal, empat sembuh, lima lagi dalam proses perawatan.

Ramadan Indonesien Jakarta  online predigt
Di Jakarta, warga dilarang beribadah ke masjid. Imam di Masjid Sunda Kelapa pun streaming dawah lewat sosial mediaFoto: Reuters/W. Kurniawan

Jadi karena masih terkendali. Sangat sulit jika tidak diikuti keseragaman di luar ibadah. Kalau misalnya di Jakarta, itu sejalan. Physical distancing dan ketentuan-ketentuan yang lain dalam ibadah juga akan berlaku. Ini yang tidak berjalan di Aceh. Belum ada keseragaman antara aktivitas sosial dan ibadah.

Tapi pemerintah pusat sudah mengeluarkan imbauan untuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah. Apakah imbauan tersebut tidak dijalankan di saat Ramadan ini?

Karena pemerintah baru sebatas imbauan-imbauan, tidak ada penertiban seperti yang ada di Jakarta. Mungkin pemerintah Aceh juga tidak melakukan penertiban ya karena tadi, masih dalam kondisi terkendali. Tapi yang sangat jelas bahwa kegiatan ibadah itu akan mengikuti kegiatan sosial. Dari pemerintah Aceh tetap menganjurkan menggunakan masker, cuci tangan, semuanya sudah sampai ke masyarakat. Tapi namanya masyarakat yang kurang disiplin, masyarakat yang tidak tahu risiko dari kasus COVID-19 ini, maka bagi mereka tidak jadi sebuah perhatian. Ini yang jadi kendala kita. Sulit bagi kita memberlakukan sebuah ketentuan dengan melihat di daerah lain, di mana-mana harus diikuti penertiban.

Lantas mengapa penertiban tidak dilakukan segera oleh pemerintah setempat?

Karena semua stakeholder kita masih menganggap bahwa ini semua masih terkendali. Kan masyarakat suka membandingkan, misalnya kita mengatakan "Bapak Ibu semua yang salat di masjid supaya safnya dijarangkan untuk mencegah virus corona." Itu diinterupsi, "Kenapa di masjid diatur tapi di warung-warung tidak dilakukan?”. Itu yang membuat kita kewalahan. Tapi tetap untuk masyarakat kami sampaikan.

Islamischer Staat
Eksekusi cambuk tetap berjalan di Aceh, namun persidangan dilakukan lewat video conferenceFoto: Getty Images/AFP/J. Samad

Bagaimana sebenarnya masyarakat Aceh melihat pandemi virus corona saat ini?

Kekhawatiran itu ada, dengan buktinya walaupun pelaksanaan ibadah masih normal tapi volume orang ke rumah ibadah berkurang. Kalau tahun-tahun lalu Masjid Raya jamaah sampai ke jalan besar, lapangan yang di masjid tidak cukup, untuk tahun in Masjid Raya hanya menampung di dalam saja. Ada setengahnya berkurang dari tahun lalu. Di mana-mana Salat Jumat itu ada tapi ada pengurangan jamaah. Karena orang-orang yang merasa dirinya tidak nyaman, apakah karena dia sakit atau menganggap ada orang lain di situ tidak steril. Hal itu sudah nampak walaupun belum maksimal. Dibandingkan dengan daerah lain, mungkin di Aceh ini masih lebih semangat orang melaksanakan ibadah seperti biasa.

Bagaimana dengan proses eksekusi hukum cambuk? Masih terus berjalan? 

Masih berjalan. Kalau dalam konteks kasusnya harus diputuskan, Mahkamah Syariat melaksanakan persidangan tapi dengan melakukan video conference. Tidak menghadirkan orang itu langsung. Dalam eksekusi juga tetap dijalankan. Tapi orang yang menyaksikan juga sudah sangat berkurang. Masyarakat kita walaupun ada kebebasan tapi hampir dipastikan mayoritas berdiam di rumah.

Selama Ramadan ini belum ada yang dicambuk. Terakhir itu di Nagan, ada pelaksanaan. Tapi di Ramadan ini mungkin tidak ada. Karena melihat bulan Ramadan, jadi tidak ada eksekusi. Tapi kalau pihak tersangka meminta agar dia cepat bebas, karena ada kasus hari ini diputuskan (dihukum cambuk), besoknya dia minta terus. Ada pemda yang tidak siap, dituntut oleh tersangka agar segera dieksekusi. Tergantung dari keputusan Mahkamah Syariat dan tuntutan pihak tersangka. Karena sesudah diputuskan oleh mahkamah misal 9 kali cambuk, dia maunya besok, karena sesudah dicambuk (kasusnya) selesai. Tidak ada kasasi, tidak ada banding, ya tidak apa-apa.

Tampaknya Aceh cukup percaya diri bisa menahan laju penyebaran virus corona… 

Insyaallah, dari hari ke hari jadi pembelajaran. Anggota-anggota medis kita tambah siap. Peralatan-peralatan terus berta,mbah. Dulu kita kalau swab test harus kirim ke Jakarta, sekarang suda ada di Aceh. Hal-hal seperti inilah yang membuat kita bisa melakukan penanganan.

Apa saja imbauan yang MPU Aceh sampaikan kepada masyarakat terkait pandemi virus corona?

Dari 10 kasus yang ada semuanya dari luar, imported case. Terakhir pulang dari Jawa Timur. Kita harap ke masyarakat kita, kalau mereka harus pulang dari tempat lain, kita menerima tapi dengan ketentuan mereka harus mengisolasi diri selama 14 hari. Dan itu banyak sekali orang Aceh yang sedang melakukan isolasi diri.

Harapan kita kepada masyarakat, walaupun kita masih bisa melakukan pelaksanaan ibadah secara normal tapi harapan kita tetap memperhatikan protokol kesehatan, terutama sekali di luar ibadah. Di luar ibadah tempatnya tidak steril, orang dalam keadaan kotor. Kalau beribadah Alhamdulillah badan bersih wudhu, pakaian bersih, tempat salat bersih. Makanya kita berharap agar di luar itu benar-benar protokol kesehatan diterapkan sehingga msayarakat di luar itu berbanding dengan yang ada di tempat ibadah. (rap/hp)

Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Rizki Akbar Putra dan telah diedit sesuai konteks.