1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakCina

Kejahatan Kemanusiaan Perusahaan Fesyen terhadap Uighur

26 Mei 2023

Skechers, Zara, dan beberapa merek fesyen lainnya tengah menghadapi pengaduan yang diajukan oleh sekelompok LSM di Paris, yang menuduh mereka mengambil untung dari perampasan hak minoritas Uighur di Cina.

https://p.dw.com/p/4RpmN
Industri Tekstil Xinjiang di Cina
Para aktivis mengatakan bahwa merek feszen ternama tidak memiliki kendali penuh atas subkontraktor mereka di CinaFoto: VCG/imago images

Kelompok aktivis menuntut penyelidikan terhadap sejumlah merek fesyen internasional terkemuka, dan menuduh perusahaan-perusahan itu terlibat dalam tindakan kejahatan terhadap anggota komunitas etnis Uighur di Cina.

Sebuah laporan pengaduan terbaru telah diajukan di Paris minggu lalu oleh organisasi kampanye antikorupsi Sherpa, kelompok Ethics on Labels, Institusi Uighur Eropa, dan seorang perempuan asal Uighur yang ditahan di sebuah kamp yang dikelola oleh pemerintah Cina di wilayah Xinjiang.

Pengaduan tersebut menyebut anak perusahaan asal Prancis dari raksasa pakaian Jepang Uniqlo dan perusahaan induknya, Fast Retailing. Selain itu, Inditex, pemilik merek fesyen Zara, rumah mode Prancis SMCP, dan produsen alas kaki asal Amerika Serikat (AS), Skechers, merupakan beberapa nama perusahaan pakaian yang disebut dalam laporan pengaduan tersebut.

Pengaduan tersebut juga berfokus pada dugaan adanya pelanggaran di wilayah Xinjiang, Tiongkok. Organisasi hak asasi manusia (HAM) meyakini bahwa lebih dari satu juta orang yang sebagian besar adalah Muslim Uighur, telah ditahan di "kamp-kamp pelatihan ulang", di mana banyak di antara korban yang dipaksa bekerja di luar kehendak mereka.

Para aktivis mengatakan bahwa perusahaan retail pakaian itu ikut terlibat dalam aksi kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, perbudakan modern yang diperparah, dan perdagangan manusia.

Secara khusus, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) itu juga percaya bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki kendali penuh terhadap subkontraktor mereka, yang menyebabkan perusahaan itu menjual barang-barang dengan komponen yang berasal dari pabrik-pabrik yang melakukan kerja paksa.

"Perusahaan-perusahaan multinasional yang menggunakan produk katun dari wilayah ini atau menggunakan subkontraktor yang diuntungkan oleh program pemerintah Cina, tidak dapat mengabaikan bahwa produk mereka dibuat dengan menggunakan tenaga kerja paksa dari etnis Uighur," demikian tulis laporan pengaduan tersebut. "Dengan memasarkan produk-produk tersebut, industri fesyen ini telah mengambil untung atas aksi kejahatan serius yang dilakukan pada komunitas ini."

Laporan itu juga mengungkapkan bahwa "20% produksi katun dunia berasal dari wilayah Uighur, sehingga satu dari lima garmen katun bisa jadi tercemar oleh pekerja paksa etnis Uighur."

Namun, pemerintah Cina menolak klaim atas kerja paksa tersebut dan menegaskan bahwa kamp-kamp itu merupakan pusat kejuruan yang dirancang untuk menghentikan penyebaran ekstremisme.

Desain Unik yang Menentang Selera Estetika Khalayak Ramai

Amerika Serikat melarang produk Xinjiang

Dalam sebuah pernyataan kepada tim DW, juru bicara Fast Retailing di Tokyo mengatakan bahwa pihaknya telah mengetahui adanya keluhan tersebut dari laporan media.

"Meskipun kami belum diberitahu oleh pihak berwenang, jika dan ketika diberitahu, kami akan bekerja sama sepenuhnya dengan penyelidikan untuk menegaskan kembali bahwa tidak ada kerja paksa dalam rantai pasokan kami," ujar raksasa industri fesyen tersebut.

Sebelumnya, kelompok yang sama juga telah mengajukan keluhan serupa pada bulan April 2021 silam. Namun, jaksa penuntut umum di Paris menutup pengaduan mereka dengan alasan bahwa pihaknya tidak memiliki kuasa yurisdiksi untuk menuntut jenis pelanggaran tersebut.

Tiga bulan setelah pengaduan pertama diajukan, Senat AS mengeluarkan larangan mengimpor produk dari Xinjiang, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa produk tersebut bebas dari unsur kerja paksa.

Setali: Desain Modern dari Bahan Daur Ulang

HRW: Cina menekan perusahaan terkait untuk uji kelayakan

Meskipun kelompok Human Rights Watch (HRW) bukanlah salah satu organisasi di balik pengaduan yang diajukan di Paris, para aktivisnya turut memantau dengan seksama terhadap perlakuan Cina kepada kaum minoritasnya itu.

HRW juga mengungkapkan keprihatinan terdalam mereka atas produk-produk yang dibuat dengan adanya unsur kerja paksa itu, telah masuk ke dalam pakaian yang dijual oleh merek-merek fesyen terkenal tersebut.

"Dalam pandangan kami, batasan-batasan yang ditetapkan pemerintah Cina begitu ketat sehingga perusahaan itu tidak dapat melakukan inspeksi uji kelayakan, karena para pengawas mereka tidak dapat hadir di wilayah itu dan memastikan apakah para pekerja diperlakukan secara adil atau tidak," ujar Sophie Richardson, direktur operasi HAM di Cina.

"Perusahaan-perusahaan sering menggambarkan pihak lawan mereka sebagai antibisnis, padahal sebenarnya tidak demikian," katanya kepada tim DW. "Kami berharap semua perusahaan dapat mempublikasikan laporan uji kelayakan HAM mereka untuk memastikan bahwa pihaknya tidak menciptakan atau bahkan berkontribusi terhadap pelanggaran HAM," tegas Richardson.

"Jika kita dapat melalui ujian ini dan memperbaiki masalah-masalah yang ada, maka perusahaan-perusahaan ini dapat terus berjalan," tambahnya.

Bagaimana pun, masalahnya terletak pada kurangnya akses di daerah-daerah di bawah pengawasan ketat oleh pemerintah Cina. Pihak berwenang setempat juga turut memberikan tekanan besar pada perusahaan-perusahaan asing yang ingin mencoba untuk melakukan uji kelayakan tersebut, kata Richardson.

Perusahaan ragu untuk membuat Cina marah

Roy Larke, dosen senior bidang pemasaran di Universitas Waikato, Selandia Baru, dan seorang pakar ritel dan perilaku konsumen, menunjukkan bahwa merek-merek fesyen itu "memiliki kewajiban etis dan moral untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia."

Raksasa industri pakaian seperti Uniqlo dari Jepang, pasti memahami betul "konsekuensi komersial yang mungkin terjadi jika pihaknya terbukti gagal dalam kewajiban ini," tambahnya.

Namun, Uniqlo telah terbukti cukup ragu-ragu untuk menarik diri dari Rusia setelah invasinya ke Ukraina pada Februari 2022 silam, dan bahkan menunggu hingga Agustus untuk dapat "menghentikan sementara" operasi bisnisnya. Keputusan itu diambil setelah sebelumnya pihak mereka mengumumkan bahwa perusahaan itu akan tetap berada di pasar Rusia meski mendapat reaksi keras dari publik.

"Dibandingkan dengan sikap moral sebuah perusahaan, tentu saja ada masalah seberapa besar kepedulian pelanggan terhadap merek tersebut, terutama ketika merek itu menyediakan produk berkualitas dengan harga yang terjangkau," kata Larke.

"Untuk Uniqlo dan banyak merek fesyen internasional lainnya, ada juga masalah dalam menghadapi kritik terhadap hal ini dan masalah rantai pasokan lainnya di Cina, sementara pada saat yang sama, Cina adalah pasar yang cukup penting bagi industri ini," tambahnya.

Setidaknya terdapat sekitar 925 toko Uniqlo yang tersebar di seluruh wilayah Cina, dibandingkan dengan hanya sekitar 720 toko di Jepang negara asalnya. Cina menjadi bagian penting dari upaya merek fesyen ini untuk mencapai pemasukan 5 triliun yen (setara Rp535 triliun) dalam penjualan tahunan global mereka.

"Sebagai pemain global, Uniqlo tidak boleh terlihat mendukung pelanggaran hak asasi manusia yang kini telah terbukti, tetapi sama halnya, Uniqlo juga tidak boleh membuat marah pemerintah Tiongkok. Dan seperti halnya sebagian besar merek fesyen internasional lainnya, Uniqlo memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah hingga terbukti sebaliknya," tegas Larke. (kp/yf)