1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Grace Natalie: Kami Anti Diskriminasi, Bukan Anti Agama

23 November 2018

Ketua Umum PSI Grace Natalie menegaskan hanya menolak perda agama yang bersifat diskriminatif, terutama terhadap perempuan dan minoritas. Dia mendesak agar peraturan daerah mengacu pada UUD 1945 dan Pancasila.

https://p.dw.com/p/38n83
Grace Natalie, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Grace Natalie, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).Foto: Reuters/D. Whiteside

Grace Natalie ingin mewacanakan maraknya peraturan daerah bernafas agama yang cendrung bersifat diskriminatif. Namun apa lacur, terobosannya itu malah membuahkan tudingan penistaan agama. Ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu dilaporkan oleh Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) dan mempertaruhkan elektabilitas partainya dalam Pemilu Legislatif 2019.

Kepada DW Grace mengaku tidak memusingkan tudingan miring yang diarahkan kepadanya. Menurut perempuan berusia 36 tahun itu PSI sejak awal sudah konsisten menyuarakan sikap anti intoleransi. Diskurs yang dibangun partai kaum muda itu tergolong berisiko, mengingat giatnya kelompok konservatif memberangus kebebasan berpendapat lewat pasal penistaan agama.

Berikut kutipan wawancaranya.

DW: Kenapa mempermasalahkan Perda Syariah bisa dianggap penistaan agama?

Grace Natalie: Yang kami permasalahkan adalah adanya ketidakadilan, intoleransi dan perlakuan diskriminatif. Kalaupun kalau kami nanti mendapat suara di DPR RI atau DPD, kami menyatakan kami tidak akan mendukung produk hukum yang berlandaskan pada agama tertentu. Karena Indonesia ini begitu beragam dalam agama dan keyakinan. Kalau kita membuat produk hukum yang berdasar pada nilai-nilai agama tertentu saja, maka sangat berpotensi menimbulkan perlakuan yang tidak adil kepada kelompok masyarakat lain.

Dalam pidato di HUT PSI kami mengemukakan tiga misi partai. Tiga misi ini terkait dengan platform perjuangan kami atau DNA kami, yaitu antikorupsi dan antiintoleransi. Ini dua problem besar bangsa pada hari ini, menurut kami. Oleh karena itu tiga misi tersebut kami katakan yang pertama, kami akan melindungi pemimpin-pemimpin reformis di tingkat nasional dan lokal dari politisi-politisi hitam, kedua PSI akan mencegah kebocoran dan penghamburan uang di parlemen, ketiga kami akan mencegah lahirnya ketidakadilan, intoleransi dan tindakan diskriminatif. Lalu kami tidak akan mendukung perda-perda injil dan perda Syariah ketika kami masuk ke parlemen.

Ini tidak ujug-ujug, tapi kami memiliki kajian akademis yang kami jadikan rujukan. Kajian ini juga kami bawa ke Polda Metro Jaya untuk mengklarifikasi dasar kenapa kami memberikan pernyataan demikian. Beberapa tahun yang lalu bahkan sudah ada sejumlah tokoh nasional yang menyerukan hal serupa, misalnya alm. Hasyim Muzadi, atau Dr. Haidar Natsir, ada juga Buya Syafi'i Ma'arif.

Baca juga: Ulama Aceh Dukung Fatwa Haram Nonmuhrim Ngopi Semeja

Kita melihat ini ada masalah intoleransi, kemudian di daerah ada perda-perda diskriminatif yang mendasarkan pada moralitas dan agama, yang sangat berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat. Temuan Komnas Perempuan juga mengkonfirmasikan hal serupa. Tahun lalu Komnas mengeluarkan laporan terkait banyaknya perda diskriminatif, sebagian bersandar pada nilai-nilai agama. Kemudian 333 atau hampir 80% dari perda diskriminatif tersebut menyasar kaum perempuan dan minoritas. 

Oleh karena itu kami mengatakan PSI tidak akan mendukung lahirnya perda-perda agama. Dalam pandangan kami produk hukum harus universal dan tidak parsial, serta bisa berlaku adil dan menjamin kesetaraan buat semua warga negara.

Apakah menurut Anda kelompok radikal berupaya membatasi kebebasan lewat perda agama?

Kami tidak ingin mempersempit pelakunya hanya pada kelompok radikal, karena ada juga politisi-politisi yang tidak ingin susah menyusun program demi kepentingan elektoral, sehingga yang dijual adalah program atau produk hukum yang dibungkus dengan moral atau agama tertentu. Tetapi ada sejumlah kajian dan survey yang menemukan tren intoleransi yang meningkat, termasuk di kalangan anak muda, bahkan intoleransi politik juga memburuk. Inilah kekhawatiran kami. Maka dalam sikap politik PSI, kita tidak akan mendukung perda-perda yang bernafaskan agama. Mari kita kembali lagi kepada UUD 1945 dan Pancasila. Seharusnya kedua hal ini sudah bisa menjadi patokan dan pedoman untuk membuat produk-produk hukum.

Bukan kami anti terhadap agama tertentu, sama sekali tidak, justru kami ingin ada jaminan agar siapapun pemeluk agama bisa menjalankan keyakinannya dengan aman di Indonesia, sebagaimana dijamin dalam konstitusi.

Baca juga: Tiru Arab Saudi, Aceh Ingin Berlakukan Hukum Pancung

Apakah Anda khawatir PSI dianggap anti-Islam?

Kami justru merangkul keberagaman, kebhinekaan dan menjaga itu sesuai konstitusi. Perda kan produk hukum yang lahir dari kesepakatan antara eksekutif dan legislatif, artinya boleh saja dong jika perdanya bertentangan dengan nilai-nilai yang kami perjuangkan, maka kita tidak mendukung atau mengusulkan. Justru yang perlu diklarifikasi adalah, PSI tidak bertentangan dengan agama apapun. Kami jutru ingin mengembalikan agama ke titahnya yang mulia, yakni agar tidak dipolitisasi dan ada jaminan kebebasan beragama untuk semua pemeluk agama.  

Kalau seseorang menganut agama tertentu, di daerahnya boleh jadi dia mayoritas, tapi kalau dia pergi ke tempat lain, di mana agamanya bukan mayoritas dan sebab itu dia harus tunduk kepada larangan-larangan yang disesuaikan dengan agama lain, kan ini membatasi haknya sebagai warga negara sesuai yang dijamin konstitusi. Kalau kita mendasarkan pada prinsip-prinsip hukum universal yang menjamin kebebasan dan keamanan untuk semua warga negara, kemanapun orang itu pergi di Indonesia, apapun agamanya, dia tetap bisa menjalankan aktivias ibadahnya dengan baik. Itu yang ingin kami perjuangkan.

Partai Anda cendrung berideologi liberal, bagaimana Anda ingin meyakinkan pemilih muslim tanpa mengorbankan nilai-nilai universal tersebut?

Kalau kami lihat dari respons di media sosial yang masuk, banyak kok teman-teman muslim yang mengapresiasi apa yang kami perjuangkan. Kami percaya di Indonesia masih banyak orang yang berpikiran moderat, artinya dia memiliki keyakinan dan menjalankan ibadah sesuai agamanya, tapi juga masih tetap menginginkan Indonesia agar menjadi rumah yang nyaman buat semua orang.

Buat kami PSI bukan hadir buat pemeluk agama tertentu. Justru kita ingin menjamin kebebasan dan keamanan buat semua warga negara. Tadi siang misalnya saya menghadiri acara peluncuran buku di PP Muhamadiyah. Di sana turut hadir Buya Syafi'i Ma'arif dan beliau mendukung (sikap PSI). Dia seorang cendikiawan muslim yang bacaannya sangat kaya, kita tidak ragu pada keislamannya atau komitmennya kepada kebangsaan. Apakah Buya anti agama tertentu? kan tidak.

Baca juga: Mahathir Kecam Hukuman Cambuk 2 Wanita Lesbian di Terengganu

Jika fenomena perda agama dan upaya pemberangsan kebebasan berpendapat lewat pasal penistaan agama semakin marak, apa dampaknya buat Indonesia?

Ini akan sangat rentan menggerus persatuan dan kesatuan Indonesia. Kan tidak enak kalau akhrinya jadi balas-balasan. Di tempat lain misalnya ada perda yang berdasarkan agama tertentu dan mendeskreditkan kebebasan pemeluk agama lain untuk beribadah, beraktivitas dan berpakaian, nah di daerah lain orang bisa membuat perda tandingan yang berdasarkan agamanya sendiri. Kan kalau begini tidak enak sekali situasinya. Ini akan membuat perbedaan semakin nyata dan mengarah ke friksi sosial. Ini adalah ancaman yang nyata.

Wawancara: Yusuf Pamuncak (rzn/vlz)