1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiThailand

Google Investasi di Thailand, Bagaimana dengan Indonesia?

1 Oktober 2024

Google berencana investasi $1 miliar (sekitar Rp15,2 triliun) untuk membangun infrastruktur digital di Thailand, termasuk membangun pusat data baru. Investasi ini akan menciptakan 14.000 lapangan kerja di Thailand.

https://p.dw.com/p/4lGdY
Lambang Google
Investasi Google ini muncul setelah Microsoft umumkan akan membangun pusat data pertama di ThailandFoto: Andrej Sokolow/dpa/picture alliance

Pusat baru yang akan dibangun di Bangkok dan kawasan industri Chonburi ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat akan komputasi awan (cloud computing) di Asia Tenggara, menurut pernyataan resmi Google pada Senin (01/10).

Investasi Google ini muncul setelah Microsoft pada Mei lalu mengumumkan akan membangun pusat data pertama di Thailand guna memperkuat infrastruktur cloud dan kecerdasan buatan.

"Investasi ini akan membantu bisnis, inovator, dan komunitas di Thailand untuk memanfaatkan teknologi cloud dan kecerdasan buatan (AI)," ujar Ruth Porat, presiden sekaligus kepala investasi Google dan perusahaan induknya, Alphabet.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

 

Rincian investasi ini diungkapkan setelah pertemuan antara Porat dan Perdan​​​​a Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, di Bangkok. Shinawatra menyebut langkah ini sebagai bukti bahwa Thailand sedang berkembang menjadi pusat digital utama di Asia Tenggara.

Pusat data Google akan dibangun di Chonburi, kawasan industri besar di sebelah tenggara Bangkok, sementara fasilitas cloud akan berada di Bangkok.

Apa dampak bagi ekonomi Thailand?

Ekspansi Google ini diperkirakan akan menambah $4 miliar (sekitar Rp60,81 triliun) ke PDB Thailand pada 2029 dan menciptakan 14.000 lapangan kerja antara 2025 hingga 2029, berdasarkan laporan dari konsultan Deloitte.

Pengumuman ini terjadi setahun setelah mantan Perdana Menteri Srettha Thavisin mencoba menarik investasi dari perusahaan-perusahaan teknologi AS, seperti Google, Microsoft, dan Tesla milik Elon Musk, selama kunjungannya ke New York.

Meskipun Thailand adalah ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara, sektor teknologinya masih tertinggal dari Singapura dan Indonesia.

Selama ini, ekonomi Thailand lebih berfokus pada manufaktur, pertanian, dan pariwisata, yang belum pulih sepenuhnya sejak pandemi Covid-19. Pemerintah Thailand berharap investasi dari Google dan Microsoft dapat membantu memodernisasi dan mendiversifikasi ekonominya.

Kantor Komisi Ekonomi Digital dan Masyarakat Nasional Thailand menyebutkan bahwa ekonomi digital bisa menyumbang hingga 30 persen dari PDB pada 2027.

Robot Mampu Gantikan Manusia?

Asia Tenggara gaet investasi digital

Beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Vietnam, juga sedang berusaha menarik investasi dari perusahaan-perusahaan teknologi AS. Vietnam berencana meningkatkan posisinya di sektor teknologi tinggi, setelah sebelumnya dikenal sebagai pusat produksi sepatu, pakaian, dan furnitur.

Pekan lalu, media Vietnam melaporkan bahwa SpaceX milik Elon Musk berencana menginvestasikan $1,5 miliar (sekitar Rp22,8 triliun) di Vietnam, sebagai bagian dari langkah AS untuk mengurangi ketergantungan pada Cina.

Pada awal Mei 2024, CEO Microsoft Satya Nadella umumkan akan menginvestasikan US$2,2 miliar (sekitar Rp33,44 triliun) dalam empat tahun ke depan untuk mendukung transformasi digital Malaysia. Investasi ini menjadi yang terbesar dalam sejarah 32 tahun keberadaan Microsoft di Malaysia.

Pada April 2024, Microsoft akan menginvestasikan US$1,7 miliar (sekitar Rp25,84 triliun) di Indonesia untuk memperkuat layanan cloud dan kecerdasan buatan (AI), termasuk dengan membangun pusat data.

Microsoft akan memperluas investasinya dalam pusat data dan komputasi awan di Indonesia sebesar US$1,7 miliar "untuk menghadirkan infrastruktur AI terbaru dan terbaik ke Indonesia," papar CEO Microsoft Satya Nadella dalam kunjungannya di Jakarta pada 30 April silam.

Microsoft menargetkan akan melatih 2,5 juta orang di Asia Tenggara dalam penggunaan AI hingga 2025. Pilihan Microsoft untuk berinvestasi di Indonesia tidak lepas dari kondisi Indonesia yang memiliki populasi yang besar dan melek teknologi. Hal ini menjadikan negara Asia Tenggara ini sebagai target pasar utama untuk investasi terkait teknologi.

AI: Berguna tetapi Rentan Penyalahgunaan

Potensi Indonesia untuk bidik AI sebagai pintu investasi

Investasi digital dipercaya masih dapat menjadi pendongkrak pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pada Agustus lalu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia merekomendasikan investasi di sektor kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dan transisi energi guna mencapai pertumbuhan ekonomi 8% yang ditargetkan presiden terpilih Prabowo Subianto, demikian seperti dikutip dari Detik.

Kepala Badan Ekonomi dan Financial Technology Kadin Indonesia, Pandu Sjahrir menyebut pemerintah seharusnya mempermudah investasi di dunia digital dan pembangunan infrastruktur digital. Menurutnya, Indonesia menjadi negara potensial yang dapat menarik investasi asing, mengingat Indonesia terletak di Asia Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi dan situasi politik yang stabil.

"Pertanyaan besarnya adalah can we use this as an opportunity, as a place di mana kita bisa menarik lebih banyak lagi investasi di Indonesia. Makanya angle dari sisi artificial intelligence, di sisi pembangunan infrastruktur digital menjadi satu angle untuk bisa mencapai angka 8% lagi," papar Pandu.

Kadin menilai Indonesia membutuhkan investasi US$ 20 miliar atau Rp 313 triliun untuk membangun satu pusat data. Perhitungan ini didapatkannya saat Pandu Sjahrir membandingkan dengan Malaysia.

"Satu data center yang digunakan untuk AI sama dengan 8-10 juta megawatt. Indonesia butuh untuk minimum aja dalam waktu beberapa tahun ke depan, dua tahun itu, paling tidak 2 gigawatt. Malaysia jumlah penduduknya 25 juta, seperduabelas belas Indonesia. Their backlog today is about 1,5 gigawatt. Indonesia, dengan penduduk 300 juta. Ya at least sedikit di atas Malaysia 2 gigawat. Jadi, kalau 2 gigawatt, ya sekitar US$ 20 miliar untuk digital infrastruktur," imbuhnya.

Berdasarkan hasil laporan berjudul "Hamessing the Power of Gen (AI) in Indonesian Financial Services" menunjukkan 49% bisnis di sektor keuangan Indonesia memprioritaskan penggunaan AI untuk meningkatkan layanan pelanggan. Selain itu, 51% institusi keuangan di Indonesia menggunakan AI untuk pekerjaan sehari-sehari.

rs/gtp (AFP, Reuters, Detik)