1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gilad Atzmo, Saksofonis Israel, dari Pengasingan ke Pengungsian

Ging Ginanjar23 Maret 2008

Gilad Atzmon, seniman Israel serba bisa, kritis terhadap negaranya dan Zionisme. Atzmon giat memperjuangkan nasib warga Palestina.

https://p.dw.com/p/DSXB
Salah satu sampul buku karya Gilad Atzmon, "A Guide to The Perplexed", yang diterbitkan dalam bahasa Jerman.
Salah satu sampul buku karya Gilad Atzmon, "A Guide to The Perplexed", yang diterbitkan dalam bahasa Jerman.
Mungkin di antara Anda ada yang sudah mendengar mengenai Daniel Barenboim. Seorang seniman musik Israel yang baru-baru ini dianugerahi kewarganegaraan Palestina. Tentu saja simbolik. Karena sebagai negara, Palestina belum eksis. Namun bahwa dia menerima kehormatan itu memicu kecaman di Israel. Daniel Barenboim tak mempedulikannya. Karena salah satu konduktor hebat dunia ini telah memilih jalan moral untuk perdamaian sejati Israel-Palestina Ada pula seorang seniman Yahudi pembangkang lainnya. Gilad Atzmon namanya. Ia merupakan seorang saksofonis, sekaligus penulis buku laris yang menjadikan keseniannya sebagai sebuah politik moral di tengah konflik Israel - Palestina yang penuh darah dan bagai tak berkesudahan. Berlainan dengan kebanyakan seniman Israel lain, sudah sejak lama Gilad Atzmon melibatkan pemusik Palestina dalam kelompok yang didirikannya "Orient House Ensemble". Album pertama mereka, Exil, atau Pelarian, tahun 2003, mencetak sukses. baik secara musik maupun secara politik. Sebagaimana bisa disimak dari judulnya, Pelarian merupakan sebentuk pernyataan politik Gilad yang seakan muak dengan kekerasan, kebencian dan prasangka dalam keseharian di sekelilingnya. Terutama menyangkut Israel dan Palestina. Menyusul kemudian, album terbarunya yang belum lama ini diluncurkan. Judulnya tak jauh-jauh amat, "Refuge", atau Pengungsian. Masih merupakan ungkapan politik yang dipengaruhi konflik Palestina-Israel. Gilad Atzmon memang secara sadar berpolitik lewat musik-musiknya. Dengan arah politik yang tidak cocok dengan kebanyakan orang Israel. Ia punya gambaran menarik tentang apa yang dilakukannya. "Menjadi seorang seniman yang terlibat politik, membuat saya bertemu manusia-manusia paling jelek di planet ini, diantaranya para politikus. Dan saya abaikan saja mereka semua," ungkapnya. Berbeda dengan kebanyakan orang Israel, Gilad Atzmon tidak percaya bahkan menolak gagasan Zionisme. Atzmon mendukung sepenuhnya hak rakyat Palestina atas negaranya. Bahkan ia justru mempertanyakan hak bangsanya di tanah Palestina, serta mengecam Israel sebagai suatu negara yang didirikan di atas dasar diskriminasi etnik. "Orang Yahudi ingin hidup di Palestina, tentu saja tidak masalah. Saya tidak bicara tentang pembasmian orang Yahudi. Namun saya kira, kalau ada yang bisa dipelajar dari abad yang lalu, adalah bahwa suatu negara yang didasarkan pada diskriminasi rasial, tidak punya hak untuk eksis. Dan di Israel, yang dianggap sebagai negara Yahudi, menimbulkan begitu banyak luka justru hanya penduduk asli, yakni rakyat Palestina yang tidak memiliki hak untuk eksis. Dan kenyataan bahwa kita membiarkannya begitu saja, sudah merupakan suatu kejahatan tersendiri. Dan kita harus menghadapinya, cepat atau lambat.” Dengan pernyataan-pernyataan begitu pedas, tak heran kalau ia dikecam sebagai pembenci bangsa sendiri. Ia dituduh sebagai seorang bangsa Semit yang mengidap anti-Semit. Namun Gilad Atzmon sebaliknya menantang konsep anti-Semit. Menurutnya istilah anti-Semit baik di Israel sendiri aupun di negara-negara Barat telah jadi alat untuk membungkam setiap sikap kritis mengenai Israel dan bangsa Yahudi.
Sejak tahun 1994 dia menetap di London. Katanya ia tak bisa lagi tinggal di Yerusalem, karena tidak bisa menerima sikap Israel dalam konflik dengan Palestina. Namun ia tak mau terlibat dalam gerakan solidaritas warga Eropa untuk Palestina maupun berbicara atas nama bangsa Yahudi pro Palestina. Karena katanya tempatnya untuk bersuara adalah kesenian. Kendati kesenian yang berpolitik. "Jadi saya mengambil keputusan untuk menjadi seorang seniman yang spenuhnya mengikuti dorongan nurani dan keyakinan etika saya. Jadi saya lebih suka menutup mata saya untuk mendengarkan dengan baik bisikan hati saya. Saya tak pernah mengatakan pada orang lain, Anda harus melakukan ini atau itu." Gilad Atzmon juga seorang pemikir dan intelektual berpikiran sangat tajam. Dua novel karyanya telah menyerbu pasar, sementara berbagai artikel yang tidak terhitung jumlahnya telah diterbitkan di berbagai media massa. Tetapi sekarang Gilad Atzmon lebih suka menulis di internet. Karena katanya di internet ia tidak terikat pada redaktur ataupun pengusaha penerbitan, karenanya ia bisa menulus dengan leluasa, tanpa perlu kuatir akan diseleksi atau disensor. Kendati sangat gagasan politiknya sangat kuat, bukan berarti ia mengutamakan politik di atas estetika musiknya. Karena Gilad Atzmon adalah manusia yang berpikir untuk pilihan politiknya, juga berpikir untuk pilihan musiknya. Gilad Atzmon menjelaskan, “Kelompok saya sendiri dan musik saya, sederhana saja. Unsur terpenting adalah improvisasi. Mungkin ada yang melihatnya rumit. Namun bagi kami ini sederhana bagi kami semua irama sederhana. Karena kami perlakukan irama itu sebagai suatu bentuk tarian. Kami gerakan sekujur badan kami. Ya, memang bagi kami musik haruslah sederhana, dan mesti memberi ruang bagi eksplorasi.”
Sederhana, katanya. Tetapi sungguh keliru kalau menggampangkan kesederhanaan musik Gilad Atzmons itu. Nyatanya berbeda dengan kebanyakan pemusik lain, pemain saksofon berbadan tegap dengan bahu yang lebar ini, secara intensif mempelajari musik "Bebop" tahun 60-an, serta mempelajari secara khusus musik tradisional Yahudi dan Arab. Dalam Orient House Ensemble, ia menggali tradisi musik Yahudi, Klezmer, meramunya dalam musik baru berlandaskan jazz bersama tiga pemainnya, dan memunculkan jenis musik yang melibatkan dialog dan humor. Untuk itu ia menciptakan pula tokoh rekaan bernama Artie Fishel, yang digambarkannya sebagai seorang Zionis Jejadian yang Pertama. Dengan sosok itu ia banyak melakukan olok-olok politik di panggung seni.

Tetapi mengapa Gilad Atzmon jadi sosok yang seperti ini? Peristiwanya bermula saat ia berumur 11 tahun dan mulai belajar saksofon. Saat itulah hubungannya dengan keluarganya mulai pecah. Bagi keluarganya tidak ada yang lain selain norma-norma bangsa Yahudi dan Zionisme. Namun Gilad Atzmon menemukan inspirasi lain dari Charlie Parker. Lewat musik, maestro saksofon ini menunjukkan kepada anak zang dididik dengan ajaran Yahudi keras ini bahwa masih ada yang lain di luar konsep Yahudi. Musik membuat Gilad Atzmon jadi sesosok manusia baru.

Dikatakannya, "Semakin dalam saya mendengarkan musik, semakin tahulah saya bahwa musik adalah pengungsian saya.“