1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Generasi Muda dan Pemikiran Kiri

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
3 Oktober 2020

Segala upaya menghentikan pemikiran kiri pada generasi muda pada akhirnya adalah sebuah kesia-siaan. Pemikiran kiri adalah bagian dari proses pendewasaan seorang mahasiswa, dan kaum muda pada umumnya. Opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/3iqnD
Tan Malaka
Tokoh aktivis Tan MalakaFoto: picture-alliance/United Archives/TopFoto

Segala upaya menghentikan pemikiran kiri pada generasi muda, pada akhirnya adalah sebuah kesia-siaan. Pemikiran kiri adalah bagian dari proses pendewasaan seorang mahasiswa, dan kaum muda pada umumnya. Mahasiswa baru selalu terpesona pada pemikiran radikal, dan itu tersedia dalam khazanah wacana kiri. Tokoh-tokoh seperti Tan Malaka atau Sutan Sjahrir, tidak akan pernah kekurangan pengagum dari generasi ke generasi.
 
Catatan harian Sutan Sjahrir saat diasingkan di Pulau Banda misalnya, yakni Renungan Indonesia, masih banyak dicari mahasiswa sampai sekarang, meski tidak pernah dilakukan cetak ulang sejak tahun 1960-an. Demikian juga dengan karya-karya Tan Malaka, seperti Madilog.
 
Kita bisa melihat langsung  pada sentra-sentra buku lama (bekas) seperti di Jakarta, Bandung, atau Yogya, buku karya Tan Malaka adalah yang paling banyak dicari. Salah satu alasan, mengapa figur seperti Tan Malaka dan Sjahrir, tak akan pernah pudar, adalah pandangan humanisme mereka. Keduanya dianggap sebagai pemikir sejati, nyaris tidak memiliki ambisi kekuasaan, seluruh hidupnya diabdikan pada kemanusiaan.
 
Selama ketidakadilan dan penderitaan bisa dilihat secara kasatmata, pemikiran atau aspirasi kiri selalu memiliki ruang. Gerakan mahasiswa yang masif pada isu RUU KPK, atau soal pelanggaran HAM di Papua, adalah bagian dari aspirasi “kiri”, mengingat yang menjadi korban dari tindak korupsi dan pelanggaran HAM adalah rakyat bawah.
 
Bahwa isu penderitaan rakyat,  kemudian acapkali dijadikan komoditas politik, adalah sesuatu yang biasa. Bahkan orang seperti Mas Tommy (Soeharto) misalnya, sebagai pewaris dinasti politik Soeharto, ketika menjelaskan visi partainya (Partai Berkarya), sampai perlu meminjam frasa berbau kiri, bila partainya berkuasa kelak. Dalam sebuah kesempatan, sekitar setahun sebelum Pemilu 2019, Mas Tommy mengatakan, bahwa program-program APBN dan APBD harus pro rakyat kecil, bukan hanya segelintir orang. Soal kemudian partainya gagal total dalam Pemilu 2019, itu adalah cerita lain lagi.
 
Hal sebaliknya terjadi pada Puan Maharani. Mungkin inilah yang disebut dengan anakronisme sejarah. Sebagai cucu Bung Karno, yang identik dengan marhaenisme, Puan pernah melakukan blunder berat. Saat masih menjadi Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan pernah memberi saran agar rakyat mengurangi konsumsi beras, sebagai salah satu cara mengatasi kelaparan. Dihubungkan dengan spirit marhaenisme, ucapan Puan adalah sebuah kesalahan fatal
 

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Peran Dawam Rahardjo dan Adi Sasono

Pada masa awal Orde Baru, tradisi pemikiran kiri benar-benar terhenti, setidaknya di permukaan. Pada awal tahun 1970-an terbit jurnal Prisma, yang memberi keleluasaan pada arus pemikiran yang berkembang, termasuk pemikiran kiri. Salah satu tokoh yang membuka ruang bagipemikiran kiri di jurnal Prisma adalah Dawam Rahardjo.
 
Bila Dawam yang berinisiatif membuka wacana kiri, kemungkinan resistensi dengan sendirinya akan menjadi pudar, mengingat latar belakang Dawam sebagi tokoh HMI dan Muhammadiyah. Di luar lingkaran Prisma, masih ada nama Adi Sasono, yang juga sering memfasilitasi diskusi  kaum muda pada dekade 1980-an, melalui NGO  yang didirikannya, yaitu LSP (Lembaga Studi Pembangunan). Mirip dengan Dawam, Adi juga tokoh HMI di Bandung, karena Adi dulu kuliah di ITB.
 
Sejarah seperti berulang, pemikiran kiri di awal Abad 20 juga dipelopori  tokoh gerakan Islam, seperti Tjokroaminjoto dan Haji Misbah. Bisa kita bayangkan apa yang terjadi di masa Orba, bila yang mengintrodusir wacana kiri, adalah aktivis di luar komunitas HMI atau PMII, tentu akan disikat habis. Seperti pernah dialami penyair cum jurnalis Bambang Isti Nugroho, yang harus meringkuk di LP Wirogunan (Yogya) selama enam tahun, pada awal 1990-an, hanya karena berjualan novel karya Pramoedya Ananta Toer.
 
Apa yang dirintis oleh Dawam dan Adi Sasono pada level wacana, memiliki lanjutannya di tingkat lapangan, ketika beberapa anak muda yang gandrung pada pemikiran kiri mulai belajar langsung pada tokoh-tokoh Generasi 1966. Setidaknya ada tiga tokoh yang selalu menyediakan diri sebagai mentor bagi generasi 1980-an dan sebagian 1990-an, yakni Rachman Tolleng (Bandung), Mulyana W Kusumah (Jakarta), dan Imam Yudotomo (Yogya).
 
Soal siapa Rachman Tolleng (almarhum), rasanya tidak perlu dijelaskan lagi. Rahman Tolleng sebelum Peristiwa Malari 74 adalah tokoh Golkar, bila kebesaran nama seseorang bisa diukur saat yang bersangkutan meninggal dunia, Rahman Tolleng membuktikan hal itu. Saat acara pemakamannya di Bandung, akhir Januari 2019 lalu, para pelayatnya datang dari segala penjuru dan lintas generasi, mulai dari generasi 1974 (Malari), Gerakan 1978, hingga aktivis generasi milenial. Rahman Tolleng adalah pribadi yang kharismatik di mata generasi muda, dan kadernya tidak terhitung lagi.
 
Demikian juga dengan Mulyana (Mas Mul) dan Imam Yudotomo (Mas Imam), dengan cara masing-masing selalu menjadi teman diskusi yang hangat bagi generasi yang lebih baru. Selain bersedia menjadi mentor, tiga tokoh tersebut juga tak segan merogoh dana pribadi, sekadar untuk membeli teh/kopi dan gorengan, sebagai teman diskusi, mengingat uang saku mahasiswa sangat-sangat terbatas.

Mas Imam sendiri terbilang sosok unik. Saat masih mahasiswa di UGM, Mas Imam adalah tokoh GMSos (Gerakan Mahasiswa Sosialis), segenerasi dengan Soe Hok Gie, tokoh GMSos Jakarta. Ayah Mas Imam sendiri, yaitu M Tauhid, adalah aktivis PSI (Partai Sosialis Indonesia), sejak partai itu masih dipimpin Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin, artinya sejak partai ini belum terbelah menjelang Peristiwa Madiun 1948. Tauhid di kemudian hari dikenal sebagai pakar masalah agraria.
 
Sementara Mas Mul biasa mengajak diskusi formal (maupun informal) di kantor YLBHI (Jl Diponegoro, Jakpus), dimana Mas Mul saat itu adalah salah satu pengurusnya. Salah satu diskusi yang menarik yang pernah dipandu oleh Mas Mul, adalah bagimana kita harus membaca Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa 1965. Diskusi ini sampai pada hipotesis (jawaban sementara), mengapa figur Aidit kurang menarik minat generasi muda era 1980-an, hingga generasi milenial sekarang ini
 

Pelaku Madiun 1948 dan Peristiwa 1965

Pengetahuan Mas Mul soal gerakan kiri memang luar biasa. Dari Mas Mul pula, generasi 1980-an mengenal nama-nama seperti Tan Ling Djie, Maruto Darusman, dan seterusnya. Hidup Tan Ling Djie termasuk tragedi, dia sebagai penyintas (survivor) dari Madiun 1948, akhirnya ditangkap juga pasca-Peristiwa 1965, padahal dia sudah menjauh dari kegiatan politik. Begitulah kebijakan tumpas kelor khas rezim Soeharto.

Kemudian Maruto Darusman, adalah tragedi yang lain lagi. Dia dieksekusi bersama Amir Sjarifuddin dkk, pada pertengahan Desember 1948, selepas Peristiwa Madiun. Istrinya kemudian menikah lagi dengan sahabatnya sesama anggota PKI (sosialis kiri), yaitu Yusuf Muda Dalam, mantan Gubernur Bank Sentral di masa akhir kekuasaan Soekarno. Di masa mudanya Maruto Darusman sempat menjalin asmara dengan Utami Ramelan, sayang hubungan mereka kandas. Utami selanjutnya menikah dengan perwira KNIL, Suryadi Suryadarma, yang kemudian dikenal sebagai KSAU pertama di masa kemerdekaan.

Dari diskusi soal tokoh atau pelaku, sampailah pada kesimpulan sementara, bahwa ada perbedaan karakter antara tokoh Madiun 1948 dan Peristiwa 1965. Pada Madiun 1948, para pimpinan gerakan terkesan lebih “ksatria”, mereka benar-benar berani pasang badan. Kubu lawan, dalam hal ini koalisi antara Kabinet Hatta dan pasukan Divisi Siliwangi, mereka hadapi dengan gagah berani, apa pun risikonya.

Sedikit berbeda dengan Aidit dalam peristiwa G30S, Aidit terlihat ambisius, sehingga lebih terkesan sebagai petualangan politik, ketimbang seorang pimpinan dari sebuah organisasi besar skala global (PKI). Generasi muda 1980-an sampai milenial paham sepenuhnya, bahwa Aidit (secara personal) terlibat dalam G30S, tanpa ada koordinasi yang jelas dengan PKI. Manuver personal seperti ini yang menjadikan figur Aidit menjadi kurang menarik. Kita menjadi paham sekarang, mengapa generasi milenial lebih tertarik pada nama besar lain, seperti Sutan Sjahrir dan Tan Malaka.


Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.