1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

G-8 dan Perubahan Iklim

Dewi Gunawan-Ladener9 Juli 2008

Penilaian pers tetap tidak berubah: Negatif! Kepala berita yang digunakan misalnya: 'Klub negara-negara kaya tak berdaya', 'Janji-janji G-8 Tanpa Dampak', atau 'Klub G-8 hidup jauh dari realita' dan sebagainya.

https://p.dw.com/p/EZMh
Lima di antara pemimpin negara-negara G-8 di Toyako, Jepang.Foto: AP

'Udara Hangat Tak Berarti di KTT G-8' - itulah judul yang digunakan harian liberal kiri Inggris THE INDEPENDENT, yang terbit di London:

"Tidak ada sasaran untuk jangka menengah dan tidak ada kesepakatan mengikat tentang perlindungan iklim. Para pemimpin pada KTT G-8 dapat menetapkan sebanyak mungkin sasaran jangka panjang, tetapi tidak ada sarana yang realistis untuk mencapainya. Tiap dokumen KTT ini tidak lebih dari sekedar udara hangat. Memang semua negara harus diikutkan dalam upaya mengurangi emisi CO2, karena dampaknya dirasakan dimana-mana. Tapi kalau negara-negara kaya tidak pegang kendali, perubahan iklim tidak dapat dicegah. Di Jepang terlihatlah kekosongan daya kepemimpinan G-8."

Harian LA CHARENTE LIBRE di Perancis barat mula-mula bertanya, apakah pembaca pernah mengudang tamu untuk makan malam, lalu hanya piring kosonglah yang tersedia. Ibaratnya itulah yang dilakukan G-8 terhadap tujuh pemimpin Afrika yang diundang. Lebih lanjut dapat dibaca:

"Pertemuan itu sedianya membuat evaluasi sementara tentang bantuan bagi benua yang dilanda kelaparan. Tetapi para presiden Afrika pulang hanya membawa janji-janji indah. Afrika dapat saja marah. Sudah dua kali, yaitu tahun 2005 di Inggris dan 2007 di Jerman, G-8 berjanji melipat-gandakan bantuan bagi negara-negara Afrika, agar sampai tahun 2010 tercapai jumlah 50 milyar Dollar. Tetapi hanya Jepang dan Jerman -walaupun tidak terlalu banyak-, yang merogoh kocek untuk memenuhi janji itu."

Sedangkan harian Austria SALZBURGER NACHRICHTEN memberikan tanggapan berikut:

"Dibandingkan dengan KTT G-8 yang sama megahnya tahun lalu di Heiligendamm, Jerman, rumusan yang dikeluarkan kali ini lebih 'stabil', kata Kanselir Angela Merkel. Maksudnya, kalau tahun 2007 Presiden George W. Bush menyetujui bahwa pengurangan emisi CO2 secara global akan dipertimbangkan dengan serius, maka tahun ini Bush 'sepakat dengan visi' untuk mengurangi separuh emisi tsb sampai tahun 2050. Hanya saja, apa basisnya, bagaimana caranya, siapa yang melakukan dan apa sarananya, tetap terselubung dalam kabut pegunungan di Jepang. Sepertinya, ini pertunjukan teater berjudul 'perlindungan iklim dengan merayap'. Bagi organisasi non pemerintah di Inggris, OXFAM, dengan kelambanan itu, 'sampai tahun 2050 dunia akan tergodok empuk'. Itu tidak keliru."

Harian Jerman KÖLNISCHE RUNDSCHAU di kota Köln menilai, banyak alasan mengapa kesepakatan dalam KTT G-8 tidak dapat dikatakan sebagai terobosan:

"Pertama, Presiden Bush yang akan berakhir masa jabatannya tidak akan diukur pada janji-janjinya. Komprominya, dapat dipandang sebagai bantuan bagi John McCain dalam kampanye pemilunya. Yaitu bahwa dia dapat mengatakan, presiden dari kubu Republik juga memperjuangkan perlindungan iklim.
Kedua, AS tetap tidak mau terikat kewajiban selama Cina dan India tidak ikut serta. Sedangkan kedua negara itu mengemukakan emisi CO2 per kepala di AS masih enam kali lebih tinggi dari di negara mereka.
Ketiga, kalau Protokol Kyoto saja, -yang terikat menurut hukum bangsa-bangsa- boleh dikatakan hampir tidak ada pengaruhnya, apa artinya sekedar 'pernyataan niat' sekarang ini?