1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikFilipina

Filipina: Perang Klan Membuat Pemuda Muslim Mindanao Trauma

Ana P Santos | Yizreel Ines
4 Maret 2023

Kesepakatan damai antara pemerintah dan gerakan separatis muslim terbesar di Filipina telah menawarkan secercah harapan bagi anak-anak muda yang masih terpengaruh oleh siklus kekerasan perang klan.

https://p.dw.com/p/4OCTN
Penduduk desa berkumpul untuk merayakan hari berdirinya kota mereka
Kesepakatan damai tidak banyak membantu meringankan penderitaan akibat perang klanFoto: Jes Aznar/Getty Images

Ketika kesepakatan damai antara pemerintah dan gerakan separatis muslim terbesar Front Pembebasan Islam Moro (MILF) membawa harapan bagi perdamaian di Mindanao, Filipina, siklus kekerasan perang klan meninggalkan trauma yang berkepanjangan pada pemuda muslim.

"Perselisihan klan lokal memengaruhi banyak aspek kehidupan (pemuda) mereka – baik secara fisik, psikologis, ekonomi, dan bahkan sosial budaya. Impian mereka hancur. Rido (perang klan) membahayakan masa depan pemuda Mindanao dan muslim,” kata Abdul Hamitullah Atar, pejabat eksekutif Reconciliatory Initiatives for Development Opportunities (RIDO) Inc., sebuah LSM yang mendorong perdamaian yang berfokus pada perbaikan kesenjangan sosial akibat perang suku, kepada DW.

Ancaman terhadap kehidupan dan masa depan

Sebagai seorang anak, Haifah Dida-Agun tidak dapat menghitung berapa kali dia harus meninggalkan rumah orang tuanya hanya untuk aman dari kekerasan yang dibawa oleh perseteruan antara dua klan yang bertikai di desa mereka di Lanao del Sur, Mindanao.

Meskipun keluarganya tidak terlibat langsung dalam perseteruan tersebut, pada usia 15 tahun, Dida-Agun harus belajar cara menggunakan senjata api untuk melindungi dirinya sendiri dan memastikan keselamatan adik-adiknya.

"Ada saat ketika kami harus menggali lubang di dalam rumah kami. Ketika ada tembakan, kami akan turun ke sana hanya untuk berjaga-jaga. Itu adalah situasi yang sangat menegangkan bagi saya dan keluarga saya,” kata Dida-Agun kepada DW.

Pada suatu kesempatan, perkelahian di antara anggota klan pecah di sekolah mereka, menjungkirbalikkan anggapan sekolah sebagai tempat perlindungan tradisional.

"Kami harus bersembunyi. Kami tidak punya kebebasan. Kami tidak bisa keluar. Kami bahkan tidak bisa bersekolah. Itu benar-benar memengaruhi impian kami untuk memiliki kehidupan yang damai dan normal,” kata Dida-Agun.

Pada Mei 2020, pemerintah melaporkan bahwa perang klan telah membuat lebih dari 4.500 warga sipil mengungsi.

Pada tahun 2009, persaingan politik antara dua keluarga, Mangudadatus dan Ampatuan, mengakibatkan kematian 58 orang, termasuk anggota pers lokal. Pembantaian itu dipandang sebagai kasus kekerasan terkait pemilu terburuk dalam sejarah Filipina.

Menurut Rufa Guiam, Direktur Pusat Riset dan Pengembangan Mindanao State University dan penulis buku "Gender and Conflict in Mindanao", perang klan membawa perjuangan laki-laki dan perempuan yang berbeda.

Ketika anggota keluarga laki-laki menjadi target utama, mobilitas mereka terbatas, tidak dapat bekerja, atau mencari nafkah. Hal ini memberikan beban yang lebih besar bagi perempuan untuk menghasilkan pendapatan, selain tugas tradisional mereka mengurus rumah dan anggota keluarga.

"Dalam banyak kasus, hal itu menyebabkan depresi di kalangan pria. Perempuan menjadi penyerap depresi dan frustrasi pria,” kata Guiam kepada DW.

Bekerja untuk masa depan yang damai

Seperti Dida-Agun, Jamal Baulo, 29, juga terjebak dalam perang klan antara dua keluarga di lingkungannya. Kekerasan dan konflik yang berulang di komunitas mereka membuat Baulo merasa putus asa tentang masa depannya dan masa depan Mindanao.

"Saya selalu bertanya pada diri sendiri: Apakah pemimpin kami peduli dengan kami? Kami tidak aman dan selalu ada ketakutan,” kata Baulo kepada DW.

Sementara kengerian hidup melalui perang klan semasa kecil mereka masih membekas, hal itu juga memotivasi Dida-Agun dan Baulo untuk mengadvokasi perdamaian agar anak-anak muda muslim dapat bercita-cita memiliki masa depan yang bebas dari kekerasan.

Dida-Agun dan Baulo sama-sama berharap bahwa janji perdamaian yang diantarkan oleh gencatan senjata antara pemerintah dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF), yang ditandatangani pada tahun 2014, juga akan membuka jalan bagi penyelesaian perang klan tanpa kekerasan.

Sekelompok mantan anggota Front Pembebasan Islam Moro (MILF) berpartisipasi dalam proses perdamaian
Front Pembebasan Islam Moro (MILF) berbasis di Mindanao dan mencari daerah otonom bagi orang MoroFoto: OPAPP

"Bagaimanapun, kita semua bersaudara," kata Dida-Agun.

Dida-Agun saat ini bekerja di sebuah organisasi non pemerintah. Bersama dengan pemerintah daerah, dia membantu masyarakat menyelesaikan keluhan mereka melalui intervensi non kekerasan.

Film yang menyoroti perjuangan internal

Sementara itu, Baulo menggunakan kekuatan gabungan narasi pribadi dan penceritaan visual untuk mendidik kaum muda muslim tentang dampak negatif rido yang luas.

Film Baulo menyoroti pergulatan internal sebuah keluarga yang terkena dampak rido yang diceritakan melalui persahabatan dua pemuda. Pertunjukan film diselenggarakan di sekolah-sekolah dan di antara kelompok pemuda non pemerintah.

"Film adalah alat yang ampuh untuk memberikan dampak yang baik bagi kaum muda. Film dapat memengaruhi keyakinan dan prinsip hidup mereka dan itu akan memengaruhi cara mereka memandang masalah rido di komunitas kita,” kata Baulo.

Cerita ini diproduksi di bawah hibah pelaporan dari Probe Media Foundation, Inc. dan The Asia Foundation.

(ha/hp)