1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTurki

Opini: Erdogan Sedang Berjuang agar Tetap Berkuasa

Erkan Arikan
27 Oktober 2021

Presiden Turki baru-baru ini mengancam akan mengusir 10 duta besar karena menyerukan pembebasan aktivis Osman Kavala. Erdogan sekali lagi mencoba mengalihkan perhatian dari masalahnya di dalam negeri. Opini Erkan Arikan.

https://p.dw.com/p/42BxH
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Jika partai-partai oposisi mempertahankan persatuan mereka, Erdogan bisa mengalami kesulitan untuk terpilih kembali pada tahun 2023Foto: Murat Cetinmuhurdar/Turkish Presidency/AA/picture alliance

Setiap kali Turki menjadi berita utama karena alasan apapun, hanyalah masalah waktu sebelum Presiden Recep Tayyip Erdogan kemudian muncul dengan reaksi yang sama sekali tidak dapat dipahami.

Yang paling segar dalam ingatan adalah ketika Erdogan pada Sabtu (23/10) menginstruksikan Kementerian Luar Negeri untuk menyatakan "persona non grata” terhadap 10 duta besar negara-negara Barat karena menyerukan pembebasan aktivis Osman Kavala yang ditahan semena-mena.

Menariknya, dua hari setelah pengumuman itu, Erdogan melunak dan menarik ancamannya. "Kami percaya bahwa para duta besar ini, yang telah memenuhi komitmennya terhadap Pasal 41 dari Konvensi Wina, akan lebih berhati-hati dalam pernyataan mereka sekarang,” katanya dalam sebuah pernyataan yang disiarkan lewat televisi.

Jelas bahwa Erdogan tidak hanya gemar mengobarkan konflik dengan Barat, tetapi ia juga membutuhkannya.

Lagi pula, buat apa ia rela mengacaukan hubungan dengan mitra NATO-nya yang paling penting - AS, Prancis dan di atas segalanya Jerman? Apalagi hal itu terjadi hanya kurang dari seminggu setelah Angela Merkel melakukan kunjungan terakhirnya ke Istanbul. Tampaknya pujian Erdogan atas hubungan Jerman-Turki saat kunjungan Merkel itu hanya sebagai basa-basi belaka.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Kanselir Jerman Angela Merkel berbincang saat bertemu di Bosporus di Istanbul
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Kanselir Jerman Angela Merkel berbincang saat bertemu di Bosporus di IstanbulFoto: Guido Bergmann/Bundesregierung/dpa/picture alliance

Barat selalu jadi sasaran

Erdogan sekali lagi telah menggunakan alat yang teruji ampuh untuk mengalihkan perhatian dari masalahnya sendiri di dalam negeri.

Hasil jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa partai Erdogan, AKP, yang merupakan partai penguasa di Turki, telah kehilangan dukungan secara besar-besaran. Mereka yang menyatakan masih akan mendukungnya dalam pemilihan tidak sampai 30%.

Erkan Arikan - Kepala Departemen DW Turki
Erkan Arikan - Kepala Departemen DW TurkiFoto: DW/B. Scheid

Kemudian, pada Kamis (21/10), satuan tugas internasional dalam melawan pencucian uang (FATF), telah mengumumkan secara resmi bahwa Turki berada dalam "daftar abu-abu” atas kegagalannya memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris.

Langkah ini sejatinya hanya disambut dengan sedikit fluktuasi harga di bursa saham Istanbul. Tapi, ketika Bank Sentral Turki secara tiba-tiba dan mengejutkan menurunkan suku bunga utamanya, nilai tukar mata uang asing kolaps, dan mata uang Turki mengalami penurunan paling tajam dalam beberapa dekade.

Ini menunjukkan sekali lagi bahwa semakin besar tekanan domestik yang diterima Erdogan, semakin kuat pula reaksinya, dan Barat selalu jadi sasarannya.

Orang kuat dalam situasi putus asa

Ini bukan pertama kalinya Erdogan menyerang Barat. Tapi untuk yang kali ini, ia benar-benar telah kelewat batas.

Aktivis Osman Kavala yang jadi alasan Erdogan menyerang Barat itu sejatinya telah dipenjara dengan tuduhan ringan pada tahun 2017. Tapi ia kembali dituduh mendukung aksi protes di Taman Gezi yang memicu demonstrasi nasional pada tahun 2013. Kavala awalnya telah dibebaskan dari tuduhan ini oleh satu pengadilan, tetapi beberapa jam kemudian pengadilan lain memvonisnya sebagai dalang dari percobaan kudeta pada tahun 2016.

Jelas bahwa tuduhan ini sangat dibuat-buat. Apalagi, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa juga telah memutuskan bahwa tidak ada alasan penahanan Kavala dilanjutkan. Pengadilan juga telah menuntut agar Kavala segera dibebaskan.

Tapi Erdogan menolak putusan itu, dan pengadilan Turki juga tetap pada putusannya. Hal ini mengkonfirmasi sekali lagi bahwa pengadilan Turki hanya membuat putusan sesuai instruksi dari sang presiden.

Gagasan bahwa Turki memiliki sistem peradilan independen, yang telah berulang kali diklaim Erdogan, sangat tidak benar adanya.

Kehilangan pemilih muda

Yang juga sangat penting untuk dicatat adalah kaum muda di Turki, atau mereka yang berusia di bawah 25 tahun, lebih memilih mendukung partai lain dibanding Erdogan.

Angka pengangguran meningkat, dan para pengungsi yang tinggal di Turki juga semakin dilihat sebagai sebuah ancaman. Sementara itu, presiden yang tampak terlihat tidak begitu sehat itu kini tidak lagi dianggap sebagai seorang pahlawan.

Jika partai-partai oposisi mempertahankan kekompakan mereka sampai pemilihan presiden berikutnya pada tahun 2023, maka Erdogan akan mengalami kesulitan untuk terpilih kembali.

Tapi, apapun yang terjadi di masa depan, Erdogan saat ini masih punya banyak tanggung jawab, salah satunya adalah tidak membuat sekutu Barat-nya semakin marah. (gtp/as)

Opini ini diterjemahkan dari bahasa Inggris.