1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Emisi Metana dari Sektor Energi Meningkat Tahun 2023

15 Maret 2024

Badan Energi Internasional melaporkan lebih dari 120 juta ton gas metana dilepaskan selama 2023. Riset diumumkan ketika data emisi metana dari sektor batu bara di Indonesia diyakini lebih besar dari yang dilaporkan.

https://p.dw.com/p/4dWOF
Emisi metana di dunia
Visualisasi pencemaran gas metana oleh NASAFoto: NASA Scientific Visualization Studio

Angka emisi gas metana di dunia pada tahun 2023 menandakan kenaikan kecil dari tahun sebelumnya, lapor Badan Energi Internasional, IEA, ketika mengumumkann hasil risetnya, Rabu (13/3).

Gas metana merupakan salah satu jenis Gas Rumah Kaca, GHG, yang paling cepat memanaskan iklim Bumi. Ia tercipta dalam proses produksi  minyak dan gas Bumi, peternakan dan pertanian atau pengelolaan limbah organik. Metana sejauh ini bertanggung jawab atas sepertiga kenaikan rata-rata suhu Bumi sejak era Revolusi Industri.

Menurut IEA, polusi metana dari kebocoran energi fossil melonjak sebanyak 50 persen pada 2023 dibandingkan tahun sebelumnya. Salah satu sumber polusi terbesar yang direkam oleh citra satelit adalah sumur minyak di Kazakhstan yang terbakar selama 200 hari. "Emisi dari bahan bakar fosil masih terlalu tinggi," kata Direktur IEA, Tim Gould.

Emisi metana di dunia berkisar di angka 130 juta ton per tahun sejak tahun 2019, ketika IEA mulai memantau polusi metana di atmosfer Bumi. Ironisnya, kenaikan konstan dicatat setelah lebih dari 150 negara di dunia berjanji akan mengurangi emisi metana setidaknya 30 persen pada akhir dekade, dibandingkan level polusi tahun 2020.

Pergerakan emisi pada 2024 diyakini akan menjadi "titik balik," ketika teknologi satelit memungkinkan pemantauan dan transparansi yang lebih tinggi, kata Gould. Artinya, perusahaan nantinya akan bisa segera diminta untuk melakukan perbaikan jika kebocoran metana telah dideteksi.

Satelit pengukur gas metana, MethaneSAT, yang dibiayai Google dan Dana Perlindungan Lingkungan AS, EDF
Satelit pengukur gas metana, MethaneSAT, yang dibiayai Google dan Dana Perlindungan Lingkungan AS, EDFFoto: MethaneSAT/REUTERS

Deteksi emisi dari langit

Awal bulan ini, raksasa internet Google dan Dana Perlindungan Lingkungan AS, EDF, membiayai peluncuran satelit pendeteksi metana yang melengkapi jejaring pemantau emisi GSG di dunia. MethaneSAT milik EDF akan bergabung dengan satelit metana milik Badan Antariksa Eropa, GHGSat yang telah lebih dulu diluncurkan ke orbit.

Dikabarkan, MethaneSAT bisa menghasilkan citra yang lebih detail dan dengan bidang pandang yang lebih luas dibandingkan satelit Eropa.

"Tahun 2024 akan menjadi momen terjadinya tindakan dan transparansi dalam polusi metana," kata Christophe McGlade, direktur suplai energi di IEA.

Sebelumnya, sebuah riset yang dirilis dalam jurnal ilmiah Nature Found mencatat kebocoran metana dari infrastruktur migas AS mencapai tiga persen tahun ini, tiga kali lebih tinggi ketimbang perkiraan resmi pemerintah. Menurut para peneliti, enam sentra produksi energi AS, antara lain Texas, California dan Colorado, melepaskan 6,2 juta ton emisi metana per tahun.

Kebocoran gas dari tambang batu bara atau kilang minyak merupakan sumber terbesar polusi metana di dunia. Saat ini, AS merupakan pemuncak daftar produsen terbesar emisi gas metana di dunia dari operasi minyak dan gas, menurut data IEA.

Perubahan Iklim Atau Hanya Cuaca?

Minim akurasi di Indonesia

Di Indonesia, peneliti sebaliknya kesulitan mengukur tingkat kebocoran metana lantaran metode pemantauan yang sudah kuno dan tidak lagi akurat. Menurut riset lembaga penelitian energi di Inggris, Ember, polusi metana dari tambang batu bara (CMM) di Indonesai diprediksi delapan kali lebih tinggi ketimbang angka yang diumumkan pemerintah.

"Indonesia bisa membahayakan reputasi internasionalnya ketika berkomitmen memangkas emisi metana secara global," kata peneliti Ember, Dody Setiawan, pekan lalu.

Indonesia merupakan negara produsen batu bara terbesar ketiga di dunia, setelah Cina dan India, serta tercatat sebagai eksportir batu bara terbesar. Kementerian Energi di Jakarta melaporkan, angka produksi batu bara tahun lalu mencapai rekor tertinggi dengan 775 juta ton. Sebanyak 500 juta ton diekspor ke luar negeri.

Dalam laporan resminya kepada PBB, pemerintah di Jakarta melaporkan kebocoran gas metana dari industri batu bara mencapai rata-rata 128 kiloton. Namun riset Ember menyimpulkan, jumlah emisi metana dari batu bara yang diproduksi Indonesia pada tahun ini bisa menyentuh angka 1.000 kiloton.

Angka pemerintah dicurigai tidak akurat, karena menggunakan metode kuno untuk mengukur jumlah emisi. Indonesia juga tidak melaporkan emisi metana dari tambang tertutup yang bisa menghasilkan polusi yang jauh lebih besar ketimbang tambang terbuka di permukaan.

"Indonesia harus memperbaiki pemantauannya, membuka akses terhadap data batu bara dan emisi metana, demi membantu tercapainya sasaran reduksi emisi metana di dunia," kata Dorothy Mei, peneliti Global Energy Monitor, GEM, dalam sebuah keterangan pers.

Hendra Sinadia, direktur Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia, APBI, menilai perbedaan data disebabkan oleh minimnya standar dan kesediaan perusahaan untuk melaporkan kebocoran metana.

"Pengukurannya tidak distandardisasi. Terutama untuk emisi bocor yang berkontribusi besar," kata dia.

rzn/as (afp,rtr,ap)

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!