1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Ekspresi Keislaman Media Sosial Hari Ini

31 Juli 2017

Apakah keislaman di Indonesia lebih disponsori oleh industri yang mengkomodifikasi Islam sebagai budaya populer? Simak opini Nadya Karima Melati berikut ini.

https://p.dw.com/p/2hRrD
Indonesien Jakarta Muslim Fashion Festival
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim

Ketika masalah Islam radikal dan pelarangan ideologi negara khilafah menjadi buah bibir untuk high-politics intelektuil di Indonesia, marilah kita menengok kehidupan sehari-hari untuk melihat penetrasi keislaman yang bersemi di tataran sosial-budaya hari ini dimulai dari perbincangan ibu-ibu rumah tangga dan bagaimana industri hiburan menjadi motor penggerak bagi perkembangan wacana keislaman di berbagai lapisan masyarakat.

Hal yang paling mudah terlihat adalah maraknya penggunaan jilbab mulai dari wilayah suburban hingga pedesaan. Coba bandingkan lima tahun lalu, nampaknya tidak banyak perempuan menggunakan jilbab, terutama para artis ibukota yang bisa dilihat di televisi. Namun sekarang iklan sampoo khusus perempuan berhijab sepertinya mampu menangkap trend perempuan-perempuan Indonesia yang memutuskan untuk menutup rambutnya dengan kain sebagai tampilan sehari-hari. Tulisan ini tidak akan menjawab bagaimana hal tersebut bisa terjadi melainkan mencoba menelaah gerak budaya populer dan keislaman dengan analisis teknologi dan gender.

Penulis: Nadya Karima Melati
Penulis: Nadya Karima Melati Foto: N. K. Melati

Kepopuleran Instagram sebagai sarana iiburan

Saya tidak bisa melewatkan satu hari tanpa melihat Instagram saya. Saya memiliki akun instagram atas nama @Nadyazura sejak tahun 2013 dan hingga kini masih aktif saya gunakan. Selayaknya manusia yang tumbuh, instagram juga terus memperbaharui dirinya tidak sekedar pada tampilan tapi juga fitur-fiturnya menyesuaikan dengan teknologi ponsel teranyar.

Pesatnya penggunaan internet juga mengubah pola komunikasi masyarakat Indonesia dari menonton televisi dan membaca majalah/koran cetak menjadi digital seperti artikel atau video online, baik streaming ataupun download. Fungsi televisi yang dulu selalu dituduh sebagai sarana hiburan tunggal di dalam rumah tangga mulai digantikan dengan ponsel dengan fitur instagram dan facebook yang lebih real time dan membangun interaksi dua arah antara komunikan dan komunikator.

Jika dulu butuh menyalakan televisi setiap pukul 12.00 siang untuk menonton berita teraktual artis ibukota dalam tayangan Silet, Insert, Kabar-kabari, Kiss atau Check and Recheck kini dengan mem-follow akun Instagram artis kesayangan, pengguna bisa lebih dekat dengan idolanya dengan mengetahui secara langsung tanpa butuh perantara infotaiment. Walau begitu ada pula akun khusus gosip dengan berbagai segmentasi yang menyediakan wrap atau intepretasi dari postingan-postingan terkini para artis ibukota. Lambe Turah adalah yang paling populer di antara akun-akun gosip yang lain. Bahkan, keberadaan Lambe Turah dianggap Wiki Leaks versi lokal karena sama-sama menyiarkan gosip underground dari para public figures.

Hal yang menarik dari memperhatikan akun-akun artis di Instagram adalah bagaimana mereka memuat caption ataupun postingan-postingan sebagaimana dia ingin menciptakan dirinya. Nampang, istilahnya. Nampang adalah melakukan kegiatan yang tidak perlu secara substansial akan tetapi perlu secara sosial, dan ini yang dilakukan para artis. Penjelasan Risa Permanadeli tentang budaya masyarakat Jawa dalam bukunya Dadi Wong Wadon saya pinjam untuk menganalisis kegiatan ini. Bahwa nampang dengan menunjukan barang branded ataupun jalan-jalan ke Arab atau Eropa menunjukan bahwa konsumsi diperlakukan sebagai alat komunikasi yang membuat masyarakat melihat kemampuan masing-masing orang. Simbol-simbol yang dikenakan para artis mempunyai makna sosial yang mencoba menjelaskan posisi mereka, membedakannya dengan masyarakat biasa.

Kita tahu kehidupan para artis biasanya identik dengan kehidupan mewah dan eksklusif, tidak ada yang hilang dengan kesan tersebut namun ada hal simbolis lain yang dibeikan yakni kesalehan beragama. Tidak jarang barang-barang konsumsi itu berbentuk pakaian Muslimah untuk dikenakan sehari-hari ataupun pergi umroh dan haji. Penggunaan ekspresi kata-kata Islami seperti, "Bismillah” atau "Alhamdulilah” yang dilakukan sebagai pelengkap atau pada kasus yang lebih ekstrem, mereka terafiliasi dengan organisasi keislaman tertentu dan akhirnya berkat kepopulerannya menjadi juru bicara bagi organisasinya seperti yang dilakukan oleh Peggy Melati Sukma.

Keislaman sebagai ekspresi budaya pop

Tapi ke mana arah keislaman ini? Dalam penelitian yang saya lakukan pada akhir tahun 2016 di Depok, saya mewawancarai beberapa perempuan di usia remaja, dewasa dan tua yang memutuskan untuk menggunakan jilbab. Mereka menyatakan mereka menggunakan jilbab dengan alasan keinginan sendiri dan paparan lingkungan. Paparan lingkungan dicurigai oleh saya sebagai alasan yang paling besar. Dalam salah satu wawancara saya dengan narasumber, yang dikelilingi oleh teman-temannya yang juga berjilbab, narasumber menyatakan bahwa mereka mendoakan salah satu temannya sebagai satu-satunya perempuan yang ‘belum hijrah' menggunakan jilbab.

Bagaimana jika analisis panjang tersebut ditarik ke ranah sehari-hari? Hampir 90 % narasumber saya yang ‘baru' mengenakan jilbab tidak terafiliasi dengan organisasi Islam manapun. Oleh karena itu saya mengambil kesimpulan bahwa keislaman yang terjadi hanya sebatas budaya populer. Keislaman lebih disponsori oleh industri yang mengkomodifikasi Islam sebagai budaya populer dan dikonsumsi oleh rumah tangga dan artis Instagram sebagai agennya. Identitas Islam digunakan sebagai pembeda khususnya secara moral, itu sebabnya wacana keislaman budaya populer terbatas pada wacana moral dan menekankan sesuatu yang sifatnya simbol seperti jilbab, menikah muda dan keluarga sakinah atau penggunaan istilah-istilah Islam.

Tubuh perempuan sebagai arena pertarungan wacana

Dalam dunia marketing dikenal tiga kategori target pasar yang paling potensial untuk dibidik yakni anak muda, perempuan dan netizen. Dengan berubahnya pola hiburan yang semula hanya bergantung pada televisi kini dilengkapi oleh sosial media bernama instagram. Sebanyak 63 juta orang pengguna internet dan 22 juta orang memiliki akun instagram. Dengan meningkatnya tren Islami menikah muda di bawah usia 25 tahun dan ini menimbulkan implikasi lain, berubahnya status anak muda (kini media senang melabelkannya sebagai millenials) menjadi ibu muda. Dan mereka selalu tertarik pada hiburan di televisi dan instagram. Maka, lengkaplah ketiga label tersebut: ibu muda netizen.

Ibu muda netizen ini akrab dengan internet dan wacana di dalamnya. Wajar saja apabila pada demo 212 kemarin banyak ibu-ibu yang ikut serta walaupun tidak sepenuhnya setuju dengan vonis mati untuk penista agama seperti yang diteriakan FPI selaku event organizer. Informasi disebarkan tidak melalui iklan televisi melainkan media lain yakni Instagram dengan poster-poster menarik mata dan pesan berantai Whatsapp.

Sedangkan tubuh perempuan adalah penampakan nyata pertarungan wacana politik. Bukan pada opini di media massa tapi bagaimana tubuh perempuan mengartikulasikan wacana tersebut. Tubuh perempuan lahan nyata untuk menentukan dan mengintepretasi wacana politik yang sedang berlaku. Sejarah membuktikannya bahkan sebelum Indonesia berdiri sebagai sebuah negara.

Ketika ‘modernisasi' melalui kolonialisme dan penyebaran agama Islam menganggap payudara sebagai bagian yang harus ditutup untuk menjadi modern, kebiasaan bertelanjang dada mulai tergerus dan diganti dengan kemben dan kebaya. Ketika Indonesia berdiri dan di bawah kekuasaan Soeharto, kebaya dan sanggul dijadikan pakaian kebangsaan resmi dan menjadi saksi budaya Jawa mendominasi kebudayaan Indonesia lain. Belum lagi dampak revolusi Iran tahun 1974 yang mulai menggeser kudung menjadi jilbab yang menutup bagian leher dan telinga dan kini, peneterasi keislaman yang semakin keras membungkus tubuh-tubuh perempuan sebagai wilayah utama yang terdampak.

Teknologi sebagai penyebaran wacana

Hal yang patut diperhatikan selanjutnya adalah bagaimana perempuan mau menutup tubuhnya dengan pakaian Muslimah secara sukarela. Dari berbagai aliran keislaman mulai dari Salafi, Tarbiah, Muhammadiyah, Kultural dan artis memiliki gaya berjilbabnya masing-masing dan semakin konservatif pemahaman tentang Islam, akan semakin terbungkus tubuh perempuan tersebut. Dari mana informasi bahwa berpakaian Islami adalah sebuah nilai yang baik? Jawabannya adalah melalui penyebaran informasi melalui media sosial salah satunya oleh Instagram yang menyediakan komunikasi tidak hanya berbentuk kalimat tapi juga gambar.

Instagram seperti media sosial lainnya berupaya menjadi distributor di mana tiap-tiap akun/individu memproduksi sendiri kontennya dan mereka bertindak sebagai perantara untuk menyebarkan. Hal yang tidak boleh dilupakan selanjutnya adalah sistem algoritma di balik setiap reaksi di media sosial. Internet mencatat hastag, like dan kunjungan kita pada konten-konten yang telah mereka klasifikasi, untuk itu media sosial menyaring pos-pos macam apa yang mungkin kita sukai dan terus-terusan menayangkan postingan yang potensial untuk disukai oleh kita. Dan ini menciptakan sebuah circle, selain itu kita juga dapat memilih sendiri akun mana yang akan kita follow dan tidak sukai. Dengan demikian, media sosial yang kita saksikan setiap hari bukanlah satu-satunya kenyataan informasi, ia lebih pada akumulasi hal-hal yang memang kita ingin tahu.

Gerak budaya populer kita kurang lebih ditentukan dengan sistem algoritma tersebut. Kita yang tidak mengetahui sistem ini dan mempercayai informasi yang tersaji pada layar sebagai kebenaran satu-satunya dan seperti trending topic, hal yang panas berganti cepat sekali. Hari ini kita menonton viral cover lagu Justin Bieber – Despacito dalam bahasa Jawa padahal beberapa hari yang lalu kita lihat viral balita gendut yang berjoget Shape of You – Ed Sheeran. Keislaman yang tumbuh nampaknya cepat sekali karena pengaruh media sosial mungkin akan luntur, karena keislaman tersebut didasari oleh nilai yang sedang berlaku sebagai trending topic. Walau begitu, tubuh perempuan selalu jadi wilayah utama pertarungan wacana baik yang ditentukan oleh pemerintahan maupun disebarkan melalui media sosial.

 

Penulis:

Nadya Karima Melati

Essais dan Peneliti Lepas. Koordinator SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies). Tertarik pada topik sejarah sosial, feminologi dan seksualitas.

@Nadyazura

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis