1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Eks Sopir Bus Loyalis Chavez Jadi Presiden Venezuela

15 April 2013

Bekas sopir bus Nicolas Maduro terpilih sebagai presiden Venezuela berkat kesetiaannya mengikuti jalan sosialisme ala Hugo Chavez. Bagi banyak orang, masa lalunya masih misterius.

https://p.dw.com/p/18GBo
Foto: LUIS ACOSTA/AFP/Getty Images

Bekas sopir bus Nicolas Maduro naik ke posisi elit politik tertinggi Venezuela berkat kesetiaannya mengikuti jalan sosialis pemimpin sebelumnya Hugo Chavez, dengan mengulangi berbagai slogan dan melaksanakan perintah mendiang orang kuat itu.

Chavez menunjuk Maduro sebagai penggantinya sebelum dikalahkan kanker, sekaligus meninggalkan bendera gerakan politik yang telah mengubah secara radikal negara kaya minyak berpenduduk 29 juta jiwa itu.

Maduro membangun kampanye dengan bersumpah melanjutkan proyek “sosialisme abad-21” yang telah membuat Chavez menjadi pahlawan bagi jutaan orang tapi pada saat bersamaaan  membuat negara itu terbelah.

”Kita semua akan berada di dalam bus tanah air, yang mempunya seorang pengemudi,” kata Maduro saat memulai kampanye di kampung halaman Chavez. “Inilah, sopir Chavez!”

Tapi dukungan Chavez dan kesedihan yang meliputi bangsa itu setelah kepergian pemimpin sosialis abad-21 itu tidak cukup membuat Maduro untuk menang mudah.

Menang Tipis

Badan pemilu Venezuela mengumumkan bahwa Maduro menang dengan hanya 50,7 persen. Hasil yang membuat kandidat oposisi Henrique Capriles mengatakan bahwa ia tidak akan menghormati hasil pemilu itu tanpa ada penghitungan ulang secara keseluruhan.

Jika hasilnya tetap, Maduro harus menempuh sendiri jalan melewati situasi ekonomi yang sulit di tengah potensi perpecahan di dalam koalisi yang selama ini dibangun oleh Chavez melalui campuran politik kekuasaan yang cerdik dan kharisma yang tidak tertandingi.

Maduro kini mewarisi situasi ekonomi di mana inflasi naik sementara pertumbuhan ekonomi melambat, yang diwarnai saling sikut di dalam Partai Sosialis yang berkuasa, dan semakin bertambahnya keluhan mengenai tingkat kejahatan dengan kekerasan di Venezuela yang kini tercatat paling tinggi di dunia.

Maduro dikenal lebih menyukai dialog dan selama ini membangun reputasi sebagai seorang moderat yang bisa membantu Chavismo -- yakni gerakan politik Chavez -- dengan membuang sejumlah kebencian sektarian dan doktrin ekonominya yang terlalu kaku.

Ia diisukan sedang menimbang untuk menanggalkan kebijakan ekonomi terpusat yang rumit dan memikirkan pemulihan hubungan dengan Washington.


Tiruan Buruk

Selama kampanye, Maduro menyebut yang menyebut dirinya dan para anggota kabinet lainnya sebagai “Rasul Chavez” dan mencemooh oposisi sebagai kaum Farisi, merujuk kelompok Yahudi yang menurut Injil bermusuhan dengan Yesus.

Beberapa jam sebelum kematian Chavez, Maduro menuduh para musuh “kaum imperialis“ telah menginfeksi presiden dengan kanker. Para oposisi mengkritik Maduro sebagai “tiruan buruk“ Chavez dan mencemooh pidatonya tanpa kharisma dan pikiran sendiri: hanya meniru mendiang presiden yang baru wafat itu.

“Kelemahan terbesar Maduro adalah dia kelihatannya tidak tampak, yang anda lihat dalam kampanye adalah gambaran presiden (Chavez-red)… Nicolas tidak sampai ke (level-red) sana,” kata Capriles. 

Misterius

Sedikit yang diketahui tentang kehidupan Maduro sebelum bergabung dengan Chavez yang saat itu berpangkat Letnan Kolonel, ikut dalam sebuah pemberontakan yang gagal.

Seorang blogger mengatakan bahwa setelah menjelajahi puluhan teks tentang politik dan gerakan sosial kiri 1980an dan awal 1990an, terungkap bahwa hanya terlalu sedikit referensi yang mengacu pada Maduro.

“Hampir semua hal pribadi dan intim (tentang Chavez-red) telah diketahui publik,” kata seorang kontributor website: panfletonegro.com bernama Edgar B.

“Tapi tentang Nicolas Maduro, tidak ada, informasi komplit dan penuh tidak ada… di beberapa bagian dia hanya disebut sebagai catatan kaki, namun dalam hampir semua kasus dia tidak muncul. Apa yang sedang dilakukan presiden kita pada tahun-tahun itu?”

“Ia selalu mengikuti Chavez tanpa syarat tapi bukan berarti dia tidak cukup pintar untuk melakukan hal lain,” kata Vladimir Villegas, bekas duta besar Venezuela untuk Meksiko yang kini bergabung dengan kelompok oposisi.

ab/hp (afp/ap/dpa)