1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Déjà vu 100 Hari Jokowi

Monique Rijkers
Monique Rijkers
1 Februari 2020

Apa yang paling berkesan dari 100 hari pertama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin? Ada satu-dua hal yang rupanya tak bisa diubah oleh Jokowi sekalipun ia sudah menjadi presiden periode kedua.

https://p.dw.com/p/3X6Lp
Indonesien Wahlsieger Jokowi-Ma'ruf
Foto: Rusman - Biro Pers Sekretariat Presiden

Deja vu. Inilah yang mungkin dirasakan oleh masyarakat Indonesia saat menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Komitmen pemberantasan korupsi tampaknya selalu menjadi ganjalan 100 hari pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Rapor merah komitmen pemberantasan korupsi

Lima tahun silam pada 100 hari pertama Joko Widodo-Jusuf Kalla, komitmen Jokowi pada pemberantasan korupsi tercoreng pada saat itu karena menunjuk Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri yang sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK. Bola panas bergulir antara Kepolisian Indonesia dan KPK yang menyebabkan terjadi ketegangan yang bisa dibilang berlanjut hingga sekarang.

Pada periode kedua kepemimpinan Jokowi, komitmen pemberantasan korupsi Jokowi kembali dipertanyakan. Janji kampanye yang digembar-gembor pada Januari 2019 atau tiga bulan sebelum Pemilu Presiden, salah satunya adalah memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK. Namun masyarakat bisa menilai komitmen pemerintah justru berlawanan dengan janji kampanye itu. KPK bukan lagi jawara anti-korupsi karena ada Dewan Pengawas dan harus meminta izin saat menyadap. Publik bisa menyaksikan sulitnya menyeret politisi PDIP Harun Masiku yang diduga menyuap bekas komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan. Drama KPK-PDIP seakan memperlihatkan ketidakberdayaan Jokowi untuk menegakkan pemberantasan korupsi.

Komitmen pemberantasan korupsi Jokowi yang menurun sebetulnya sudah terbaca di akhir periode pertama pemerintahan Jokowi. Presiden memberikan grasi kepada terpidana kasus korupsi mantan Gubernur Riau Annas Maamun karena alasan tua dan sakit. Remisi untuk koruptor yang menjadi polemik di tahun pertama pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla ternyata diwujudkan di tahun kelima atau di akhir periode pertama. Sebulan sebelum dilantik untuk menjalani periode kedua, pada September 2019, pemerintah dan DPR sepakat merevisi Undang-undang Pemasyarakatan Nomor 12 tahun 2015. Korupsi bukan lagi kejahatan luar biasa karena syarat remisi dipermudah. Syarat remisi yakni menjadi justice collaborator (saksi pelaku yang bekerja sama untuk mengungkap penyidikan) bagi koruptor dan teroris pun tidak ada lagi. Ketidakpercayaan publik pada komitmen pemberantasan korupsi Jokowi dapat mematikan semangat pencegahan korupsi di masyarakat. Masyarakat menjadi apatis dan langkah pemberantasan korupsi di Indonesia harus mulai dari nol lagi.

Bloggerin Monique Rijkers
Penulis: Monique Rijkers Foto: Monique Rijkers

Kejar Investor dulu, undang-undang kemudian

Selain komitmen pemberantasan korupsi yang meragukan, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf cenderung memaksakan kehendak dalam hal pemindahan ibukota. Sangat terlihat semangat mengejar investor lebih dulu, undang-undang menyusul demi merealisasikan ibu kota baru. Jika pemerintah ingin memindahkan ibu kota maka pemerintah harus mengajukan usulan ke DPR. Namun yang terjadi, pemerintah sudah memutuskan lokasinya lebih dulu dan sudah menawarkan posisi kepada tiga warga negara asing sebagai Dewan Pengawas Pembangunan Ibu Kota sebelum ada RUU Ibu Kota. Sesuai aturan, paling tidak ada lima undang-undang yang harus direvisi jika ingin pindah ibu kota, termasuk UU Nomor 29 tahun 2007 tentang pemerintah provinsi ibu kota Jakarta sebagai ibu kota NKRI. DPR dan pemerintah baru akan membahas RUU Ibu Kota yang baru pada Januari ini.  

Menangkal Obesitas Regulasi

Sebaliknya, aturan yang cenderung merugikan buruh justru dikebut pada 100 hari pertama Jokowi-Ma’ruf Amin. Omnibus Law bertujuan menarik investasi namun meniadakan pesangon bagi buruh yang semula bisa mencapai 38 bulan gaji menjadi hanya 6 bulan saja. Buruh juga bisa kehilangan jaminan sosial dan yang paling diuntungkan pengusaha yang bisa membayar denda sebagai ganti sanksi pidana. Nasib buruh dikhawatirkan semakin terpuruk meski duit investor mengalir masuk Indonesia.

Salah satu alasan Jokowi memberlakukan Omnibus Law adalah pengurangan peraturan yang ruwet karena ada sekitar 8400-an aturan di tingkat pusat dan sekitar 16 ribu peraturan daerah. Namun sesungguhnya sebanyak 10.180 regulasi terbit pada periode kepemimpinan Jokowi sendiri pada kurun waktu 2014 hingga 2019. Yang menarik adalah, jika Jokowi bisa mendesak Omnibus Law yang mencakup empat undang-undang, dua sudah disampaikan ke DPR yakni Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan, mengapa untuk Surat Keputusan Bersama Dua Menteri tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadat yang menjadi pemicu aksi intoleransi dan diskriminasi umat minoritas di Indonesia tidak bisa direvisi? Pemerintahan Jokowi punya kemampuan dan kesempatan untuk memberikan warisan peraturan yang memadai dan melindungi semua pemeluk agama di Indonesia. Apalagi jika arasnya adalah menteri yang notabene adalah pembantu presiden. Peraturan Bersama Menteri tentu lebih mudah direvisi daripada Omnibus Law.

Antara ketulusan dan pencitraan

Meski kekecewaan menumpuk, 100 hari pertama Jokowi-Ma’ruf Amin berhasil menyatukan “Cebong dan Kampret”. Upaya Jokowi merangkul Prabowo Subianto, mantan saingannya dalam petarungan kursi RI-1 terbukti ampuh menjinakkan keganasan publik yang mengecam dan memusuhi Jokowi. Kedua kubu yang terbelah selama lima tahun berhasil dipersatukan melalui bagi-bagi jabatan untuk lawan politik. Prabowo Subianto tentu patut diapresiasi juga karena legowo menerima posisi sebagai Menteri Pertahanan. Namun oligarki tak mampu dihindari oleh Jokowi. Kue kekuasaan hampir terbagi rata untuk semua pendukung termasuk relawan. Kursi empuk Wakil Menteri pun menjadi solusi untuk menyiasati pembagian jatah guna meredam suara oposisi. Staf khusus termasuk ketujuh staf khusus dari kalangan milenial menjadi jurus menarik simpati masyarakat pada presiden terpilih.

Pujian juga patut diberikan karena Presiden Jokowi mengundang Paus Fransiskus untuk datang ke Indonesia. Istana mengakui undangan ini sebagai upaya menunjukkan toleransi di Indonesia. Jokowi memang ingin terlihat toleran meski sayangnya baru sebatas pencitraan. Toleransi belum diwujudkan dalam bentuk kebijakan konkrit yang sesungguhnya sangat dinantikan oleh pemeluk agama minoritas. Pembagian sertifikat tanah gratis untuk rakyat yang sangat positif itu, tentu sangat besar pengaruhnya jika diimplementasikan pula untuk bangunan rumah ibadah. Permudah izin pembangunan rumah ibadah tentu lebih mendesak dibandingkan sekadar mengundang tokoh agama datang ke Indonesia. Komitmen dan keberpihakan Jokowi pada keberagaman dapat menjadi warisan terbaik pemerintahan periode kedua ini. Jangan sampai tagar #100HariUnfaedah yang hari Kamis kemarin menjadi trending topic di Twitter menjadi #LimaTahunUnfaedah, Pak Presiden.

@monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.