1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

061109 Karsai Korruption

6 November 2009

Negara-negara barat tak punya pilihan dan hanya bisa berharap Karzai menunjukkan perspektif yang lebih baik bagi rakyat Afghanistan dalam masa jabatannya yang kedua. Namun para pengamat meragukannya.

https://p.dw.com/p/KQIK
Karzai dan korupsi, sebuah poster Hamid Karzai yang tercabik-cabikFoto: AP

Memenuhi harapan rakyat akan sebuah pemerintahan yang efektif dan bersih. Demikian tekad yang dinyatakan Hamid Karzai, sehari setelah resmi diangkat sebagai presiden Afghanistan. Tapi banyak warga yang tak merasa yakin, termasuk Habibullah Ghamkhor. Pakar Afghanistan itu bertahun-tahun mengamati pemerintahan Karzai, dari tempat ia bermukim kini, Swedia. Menurut pria 55 tahun ini, Karzai tak bisa memerangi masalah korupsi, karena ia sendiri terjerat dalam putaran nepotisme.

Maka Hamid Karzai harus menghadapi harapan yang saling bertentangan. Di satu pihak harapan para pendukungnya, yang ia janjikan kekuasaan dan pengaruh. Di pihak lain, dunia Barat menunggu isyarat tegas pemberantasan korupsi. Karzai tak akan mampu memenuhi keduanya sekaligus, kata Dr. Conrad Schetter dari Pusat Penelitian Pembangunan di Universitas Bonn.

Rakyat Afghanistan sendiri menilai, negara mereka semakin korup. Menurut indeks korupsi yang dikeluarkan setiap tahun oleh organisasi Transparency International, Afghanistan berada di peringkat lima dari bawah. Meski begitu, menurut Mohamad Yar, korupsi bukan bagian dari karakter nasional Afghanistan. Mahasiswa 28 tahun dari Kandahar itu yakin, Karzailah yang paling bertanggungjawab dalam hal korupnya aparat pemerintah.

Dunia B, terutama Amerika Serikat, terlalu lama mempercayai Karzai beserta pemerintahannya, dan menutup mata. Demikian analisa pakar Afghanistan Habibullah Ghamkhor.

Untuk menghidupkan kembali kepercayaan rakyat pada demokrasi, dibutuhkan pergantian elit politik di pemerintahan Afghanistan. Hal ini disepakati banyak pengamat Afghanistan yang meyakini, dengan Hamid Karzai di pucuk pimpinan, harapan itu tak akan terpenuhi.

Melanie Riedel/Renata Permadi

Editor: Yuniman Farid