1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dunia Masuki Era Energi Panas Bumi?

Gero Rueter
5 Januari 2023

Ketika perang dan pandemi melambungkan harga minyak dan gas, energi panas Bumi justru dilirik karena semakin terjangkau dan ramah lingkungan. Mungkinkah dunia memasuki masa keemasan bagi energi geothermal?

https://p.dw.com/p/4LjUb
Geiser Strokkur di Islandia
Geiser Strokkur di IslandiaFoto: Stefan Ziese/imageBROKER/picture alliance

Energi geothermal bersumber dari inti Bumi yang bersuhu sepanas di matahari, yakni sekitar 6000 derajat Celcius. 

Pada kedalaman 2000 hingga 5000 meter dari permukaan Bumi, suhunya masih berkisar antara 60 hingga 200 derajat Celcius. Di kawasan gunung api, suhunya di permukaan bahkan masih bisa mencapai hingga 400 derajat Celsius.

Panas Bumi sudah digunakan sejak era Romawi untuk menghangatkan kolam pemandian. Tapi baru pada 1904, energi geothermal untuk pertamakalinya diubah menjadi listrik.

Metodenya, air dingin dipompa ke lapisan panas bumi, dan dari lapisan ini air panas akan naik ke atas untuk menggerakan tubin pembangkit listrik. Setelahnya, air yang sudah mendingin dipompa kembali ke perut Bumi.

Saat ini sekitar 30 negara di dunia menggunakan teknologi geothermal untuk membangkitkan listrik, dengan kapasitas total sebesar 16 gigawatt (GW). Kawasan cincin api Pasifik dianggap berpotensi paling besar untuk energi panas Bumi, termasuk Indonesia.

Namun begitu, sumber energi terbarukan ini hanya menyumbang 0,5 persen pada kapasitas produksi listrik global. 

Sistem produksi energi geothermal
Sistem produksi energi geothermal

Pemanas ruangan bertenaga geothermal

Adalah Cina (14 GW), Turki (3 GW) Islandia dan Jepang (2 GW) yang saat ini paling giat membangun kapasitas energi geothermal. Kebanyakan menggunakannya untuk pemanasan ruang, termasuk di antaranya Jerman yang kini mencanangkan ambisi besar mengolah panas Bumi.

Pemerintah di Berlin ingin membangun kapasitas mumpuni untuk energi geothermal hingga selambatnya 2045. 

Jerman terutama mengincar sumber panas dangkal yang belakangan semakin populer. Dengan teknologi yang disebut pompa  penukar panas berupa sirkulasi tertutup.. Tekniknya, mula-mula air dingin dipompa ke kedalaman antara 50 hingga 400 meter, dan di sana dipanaskan oleh panas bumi hingga mencapai suhu 70 derajat Celcius. Air panas kemudian akan naik ke atas dan digunakan untuk menghangatkan bangunan, setelahnya air yang sudah dingin kembali dipompa ke dalam tanah, begitu sirkulasinya.

Dengan cara ini, negara-negara tanpa aktivitas vulkanik yang memadai juga bisa memanfaatkan teknologi geothermal. Di Jerman sendiri ilmuwan menaksir potensi listrik dari sumber panas di permukaan sebesar 70 gigawatt, atau setara dengan 50 persen kebutuhan pemanasan ruangan di negara ini.

Dengan kapasitas pengeboran yang ada, produksi energi geothermal bisa diperluas di Jerman. "Syaratnya industri minyak dan gas juga fokus menggarap sumber energi ini,” kata Professor Rolf Bracke, Direktur Infrastruktur Energi dan Geothermal di Institut Frauenhofer, Jerman.

Biaya jadi perkara

Kelemahan terbesar sumber panas bumi adalah relatif rendahnya suhu untuk keperluan industri. Proses manufaktur biasanya membutuhkan suhu  minimal 200 derajat Celcius. Temperatur setinggi itu, sejauh ini hanya bisa dicapai dengan energi listrik, biogas atau bahan bakar hidrogen

Selain itu, ongkos pembangunan instalasi geothermal juga tergolong masih tinggi. Tapi jika pada 2012 rata-rata ongkos pemasangan masih berkisar USD 5.509 per kilowatt, biayanya kini turun pada kisaran sebesar USD 3.991 per kilowatt.

Isu lain yang menghantui energi geothermal adalah risiko gempa Bumi. Guncangan biasanya tercipta jika tekanan air terlalu tinggi. Dalam banyak kasus, gempa memicu keretakan pada bangunan di permukaan.

Untuk mengatasinya, air dipompa dengan tekanan yang lebih rendah. Selain itu, pengelola pembangkit juga diwajibkan mengawasi lubang pengeboran secara menyeluruh. 

Akan tetapi ,jika dibandingkan dengan risiko tinggi pada penambangan minyak dan gas Bumi atau batu bara, energi panas Bumi "termasuk sumber energi paling aman di Bumi,” kata Prof. Bracke. 

rzn/as