1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dunia Kehilangan Seorang Koreografer Besarnya

2 Juli 2009

Pina Bausch, sebuah figur teramat menonjol yang memberi wajah pada kultur Jerman telah pergi. Pina Bausch, koreografer ternama Jerman, meninggal hari Selasa (30.6) lalu dalam usia 68 tahun.

https://p.dw.com/p/IfOT
Pina Bausch di Frankfurt ketika menerima Penghargaan Goethe, Agustus 2008Foto: AP

Bausch yang menerima berbagai penghargaan di seluruh dunia meninggal akibat kanker yang baru terdeteksi 5 hari sebelumnya. Presiden Jerman Horst Köhler dalam surat belasungkawanya kepada putra mendiang, menulis, Jerman telah kehilangan seorang penari dan koreografer kelas dunia.

Johan Keresnik, seorang korteografer ternama Austria menggambarkan sosok hebat ini: "Dia adalah ikon Jerman, namun lebih dari sekadar untuk Jerman. Di seluruh dunia dia telah meletakkan landasan baru untuk teater, untuk teater tari yang hingga kini banyak diikuti. Seorang seperti Pina Bausch tidak akan dijumpai lagi di dunia ini."

Pina Bausch sendiri pernah berujar, “Bagi saya yang terpenting bukan bagaimana manusia bergerak, melainkan apa yang bisa mereka gerakkan!” Dengan proyeknya “Wuppertal Ensemble International”, Bausch meletakkan batu dasar bagi Teater Tari modern.

Wanita yang bernama lengkap Philippine Bausch ini lahir tanggal 27 Juli 1940 di Solingen, Nordrhein-Westfalen, Jerman. Dia adalah anak ke-3 dari pasangan August dan Anita Bausch. Orang tuanya mengelolah sebuah kedai dan hotel kecil di Solingen. Sejak masih kecil Pina Bausch sudah mengikut kursus balet dan tampil di pentas untuk drama anak-anak. Tahun 1955, ketika berusia 14 tahun, dia memulai studi seni tari di Perguruan Tinggi Folkwang di Essen, Jerman, dan berguru pada Kurt Jooss yang dianggap seorang pembaharu seni tari kala itu.

Tahun 1962 dia kemudian melanjutkan studi tari ini di Juilliard Scholl di New York dan menimba ilmu pada koreografer terkenal seperti José Limón dan Antony Tudor. Lalu dia mendalami lagi ilmunya di “Dance Company” asuhan Paul Sansardo dan Donya Feuer. Setelah kembali lagi ke Jerman tahun 1962, Pina Bausch bergabung dengan kelompok balet di Perguruan Tinggi Folkwang dan tampil sebagai solist. Dan 9 tahun kemudian (1973), di usianya ke-33, dia diangkat sebagai ketua perhimpunan balet termuda di Jerman.

Karya kreatifnya di panggung mencengangkan publik dan disambut hangat kritikus. Dia sendiri pernah berujar, "Ini bukan sekedar seni, bukan menunjukkan kemampuan menari semata, melainkan menyangkut hidup. Atau tepatnya menemukan sebuah bahasa untuk hidup. Kita tahu, orang tak hanya bisa dipahami di rumah tetapi juga di setiap tempat dan melalui cara tertentu. Tarian yang kami sajikan membahasakan perasaan, kenangan dan harapan-harapan yang dimiliki manusia."

Drama anak-anak dan pertunjukan bertema gender selalu mewarnai karyanya. Balet klasik yang sering menampilkan gambaran pangeran yang perkasa dan putri yang cantik jelita, tidak akan dijumpai dalam karya Bausch. Lucunya kadang dia tak mau memberi judul atau nama pementasannya.

Ia telah tampil bersama rombongannya di berbagai tempat di dunia. Ia juga beberapa kali mengunjungi Indonesia, menampilkan pertunjukan dan memberikan lokakarya di beberapa kota.

Sumbangsih Pina Bausch terhadap dunia tari membuatnya dianugerahi berbagai penghargaan, seprti Perhargaan Seni Kyoto-Price di Jepang atau Golden Lion dari Biennale di Venesia. Pantas kalau kepergiannya meninggalkan keguncangan bagi para pengamat tari dan budaya.

Matthias Nocke, kepala Departemen Budaya Wuppertal mengungkapkan rasa kagumnya, "Wuppertal berterimakasih atas jasa-jasa warga kehormatannya ini. Kota Wuppertal bisa terkenal sampai ke pojok bumi yang terpencil hanya karena teater tari asuhan Pina Bausch. Kematiannya merupakan satu kehilangan yang tak terhingga bagi teater tari modern di Jerman, Eropa dan seluruh dunia. Wuppertal berkabung dan harus menundukkan kepala penuh rasa terima kasih pada wanita luar biasa ini."

Saat ini karya panggung Pina Bausch sedang dipentaskan di Polandia oleh kelompoknya sendiri yang beranggotakan 50 orang, di antaranya ada 30 penari yang datang dari berbagai negara, seperti Brasil, Spanyol, Italia dan Perancis, juga Indonesia.

Jutta Koster/Limahekin

Editor: Ging Ginanjar