1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Diskusi Mengenai Pengakuan Günter Grass

17 Agustus 2006

Sastrawan peraih hadiah Nobel, Günther Grass, membuka masa lalunya dengan mengaku sebagai anggota pasukan gerak cepat Nazi yang disebut “Waffen SS” saat ia berumur 17 tahun.

https://p.dw.com/p/CPWZ
Günter Grass
Günter GrassFoto: AP

Hal ini dikemukakan pada sebuah interview oleh sebuah harian Jerman “Frankfurter Allgemeine”. Masa lalu Grass untuk pertama kalinya ditulis dalam sebuah otobiografi berjudul “Beim Häuten einer Zwiebel” atau “Mengupas Bawang” yang akan diluncurkan pada bulan September mendatang.

Pengakuan Günther Grass sebagai anggota pasukan elit Nazi ini mengejutkan banyak orang. Pasukan ini diketahui bertanggung jawab atas pembunuhan massal orang orang Yahudi di masa lalu. Kenyataan yang ditutup-tutupi ini sesungguhnya merupakan beban bagi Grass yang saat ini berumur 78 tahun. Grass menyebut autobiografi yang berjudul “Mengupas Bawang”, sebagai “Kebungkamannya mengenai tahun-tahun itu”. Itulah alasan yang dikemukakan Grass mengapa ia memutuskan untuk menuliskan buku tersebut. Ia amat lega bahwa akhirnya bisa membebaskan diri dari beban itu. Günter Grass mengungkapkan mengenai beban yang selama ini menekannya:

Saya tidak melakukan apapun dan sebagai ganjarannya saya harus mendengar hujatan untuk waktu yang lama. Saya hanya bisa mengatakan, pada buku ini, topiknya adalah saya. Saya mengerjakannya selama 3 tahun, disitu tertulis apa yang harus saya sampaikan dan hal-hal yang menyebabkan saya mengisahkannya. Semuanya, ada dalam buku itu.”

Grass juga menambahkan bahwa ia tak pernah menembakkan sebutir pelurupun saat ia berdinas pada pasukan elit yang terkenal punya citra buruk. Ia baru menyadari kejahatan pasukan SS setelah pengadilan Nürnberg. Pasca perang dunia kedua, di Nürnberg lah pengadilan terhadap penjahat perang dilakukan.

Reaksi-reaksi langsung timbul dari pengakuan tersebut dalam bentuk mulai dari kritikan tajam hingga simpati. Reaksi positif yang penuh pengertian datang dari rekan rekan sastrawan Grass yang ternama, seperti Martin Welser, Erich Loest dan Walter Jens. Ralpfh Giordano yang berumur 83 tahun adalah seorang Yahudi yang selamat dari kekejaman Nazi dan nyaris masuk ke kamp konsentrasi Holocaust. Ia menekankan, bagaimanapun kejujuran Grass merupakan hal yang baik:

"Yang lebih buruk dari melakukan kesalahan politik adalah tidak melakukan pembahasan, baik secara terbuka maupun terhadap diri sendiri. Saya yakin, secara pribadi Grass telah bergumul dengan kenyataan tersebut selama ini. Dan akhirnya ia lakukan dan dengan berani memaparkannya pada publik. Saya hanya bisa berkata: “Bagus, anda telah melakukannya, Günter Grass"”.

Dalam wawancara dengan harian Frankfurter Allgemeine itu, Günter Grass menceritakan bagaimana ia menjadi anggota SS. Mulanya, Grass berusaha bergabung dengan pasukan kapal selam pada umur 15 tahun, karena bagi dia waktu itu yang penting ia bisa pergi dari keluarganya. Namun ia tidak diterima. Baru pada akhir masa perang dunia kedua pada tahun 1944-45, akhirnya ia dipanggil, walaupun ditempatkan pada divisi gerak cepat SS. Grass menggambarkan, “Mereka menerima siapa saja agar tetap berperang.” Pada akhir masa perang, banyak orang muda dan termasuk anak anak diwajibkan bahkan dipaksa untuk bergabung dengan pasukan SS guna berperang.

Saat itu Grass masih belum mengerti sepenuhnya apa yang harus dilakukan sebagai anggota pasukan gerak cepat SS. Ia hanya tahu bahwa SS adalah sebuah pasukan elit. Grass ditempatkan pada divisi panzer dan berdinas di Frundsberg, Dresden.

Sebelumnya, orang mengenal masa lalu Grass sebagai tentara, terluka dan dijadikan tahanan oleh tentara Amerika pada perang dunia kedua. Dari dokumen yang disimpan pada kantor informasi militer di Berlin, ditemukan pengakuan Grass sendiri yang dilengkapi dengan tanda-tangan dan cap jarinya. Peter Gerhardt, deputy kepala kantor itu mengatakan:

Ia mengakui sendiri jati dirinya, profesinya, pangkatnya, sebagai penembak. Masa penahanannya tertera disitu dari 8 Mei 1945 hingga April 1946 dan ia berdinas pada divisi Panser Frundsberg.”

Selama ini, kenyataan pahit yang ditutup-tutupi itu menjadi beban bagi Grass. Namun begitu, Günter Grass tetap saja mengkritik diri sendiri atas kenaifan pada masa mudanya.

Misalnya seperti pertanyaan: bagaimana mungkin, kamu, yang selalu penasaran,selalu ingin tahu, sampai detik terakhir masih juga mempercayai kemenangan total.”

Sebetulnya hampir tidak ada kritik yang menyalahkan perbuatan Grass di masa mudanya. Yang dipertanyakan adalah mengapa ia bungkam selama ini. Padahal, Grass selalu dikenal sebagai seorang sastrawan Jerman terpenting pasca perang dunia kedua, dan dikenal selalu membahas kesalahan Jerman pada masa lalu, apalagi sejak menulis novel “Die Blechtrommel” pada tahun 1959 yang telah kondang ke seluruh dunia. Secara terbuka Grass selalu menetang ditutup-tutupinya masa lalu Jerman. Ia dikenal sebgai acuan moral bukan hanya di Jerman, namun juga di dunia internasional.

Günter Grass, yang lahir di Danzig amat aktif pada normalisasi hubungan Jerman-Polandia. Namun sejak pengakuannya, mantan Presiden Polandia, Lech Walesa, bahkan meminta Grass untuk memulangkan penghargaan sebagai warga kehormatan kota Danzig. Sebelum perang dunia kedua, kota yang dikenal sebagai Gdansk itu merupakan bagian wilayah Jerman, namun setelah Jerman kalah perang, Danzig berada pada wilayah Polandia.

Pengakuan Günter Grass dengan kenyataan masa lalunya tentu mencoreng citranya sebagai contoh moral. Ini mengecewakan banyak politisi dan para cendekiawan. Diantaranya adalah Rolf Hochhuth:

Bila saya sekarang mendengar apa yang Grass katakan, mengenai tanggung jawab moral Jerman, saya jadi balik bertanya pada diri saya sendiri “dan bagaimana dengan Anda sendiri, Günter Grass?”. Disini ada cacatnya. Sesuatu yang membuat Grass harus terus mengadapinya sendiri. Tapi orang orang yang mengaguminya sekarang merasa terperdaya.”

Kritikus sastra Hellmut Karasek berpendapat, bila masa lalu Grass dikemukakan lebih awal maka ia tak akan menerima hadiah Nobel.

Begini ya, kalau saya boleh bicara nyinyir. Kalau saya menjadi dia, saya lebih baik mengambil resiko untuk dipilih sebagai sebagai penerima hadiah nobel.

Joachim Fest, sejarahwan terkemuka Jerman mengatakan pada majalah Der Spiegel bahwa setelah 60 tahun, pengakuan itu datang sangat terlambat. Ia tidak bisa mengerti bagaimana seseorang yang bertahun tahun menyandang predikat moralis bisa bebohong selama itu.