1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Diskriminasi, Pelaksanaan Syariah Islam di Indonesia

25 November 2006

Belakangan ini muncul semacam gelombang penerapan Syariah Islam di berbagai wilayah Indonesia, melalui peraturan-peraturan lokal.

https://p.dw.com/p/CPVu
Foto: picture-alliance / Keystone

Kecenderungan ini mulanya diusung oleh kelompok-kelompok kecil yang berpandangan keagamaan sempit. Namun lambat laun diperbesar oleh para politikus yang menjadikan agama, khususnya Islam, sebagai alat jual beli untuk kepentingan politik mereka. Yang segera menjadi korban langsung dari gejala ini adalah kaum perempuan.

Pemaksaan Secara Lokal

Otonomi Daerah yang merupakan penerapan desentralisasi di Indonesia membawa perubahan positif dalam percepatan demokratisasi di Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya, Otonomi Daerah masih memperlihatkan berbagai celah hukum yang memunculkan masalah. Terutama menyangkut sejauh mana dan di bidang apa saja suatu daerah memiliki kewenangan membuat produk hukum.

Inilah yang dimanfaatkan sebagian kalangan untuk memakasakan pemberlakuan Syariah Islam secara lokal. Atau memberlakukan produk hukum positif berupa peraturan-peraturan daerah yang didasarkan pada syariah. Hingga September 2006, tak kurang dari 16 wilayah yang meratifikasi Hukum-hukum Syariah Islam.

Kewajiban dan Kebebasan

Hal ini memunculkan persoalan mendasar. Dewi Candraningrum, dari Südostasien Informationsstelle mengungkapkan, penerapan Syariah Islam sangat bermasalah karena berurusan dengan penafsiran atas teks agama, yang bisa berbeda-beda, dan sebetulnya sangat kontekstual, terutama dalam masalah jender. Lebih jauh, Dewi Candraningrum menjelaskan:

"Pertama kewajiban memakai busana Muslim. Saya tidak menentang itu. Tapi seharusnya kewajiban memakai busana Muslim, contohnya bagi pegawai negeri, itu seharusnya berdasarkan kebebasan dia sebagai Muslimah. Jadi saran saja, bukan wajib. Karena kalau ada salah satu pegawai yang tidak memakai kerudung, lantas berbahaya buat pekerjaan dia itu kan melanggar hak dia sebagai warga negara. Itu harus berdasarkan kebebasan sebagai warga negara. Itu pertama ya… tentang kewajiban memakai pakaian Muslimah. Jadi kalau ada yang tidak , itu harus dihormati. Karena di Muslim enclave di Aceh, di Sumbar atau di sekitar Jakarta, Bandung, Jombang, NTB, Madura, itu tak hanya berisi kelompok Muslim, tapi juga ada saudara-saudara kita yang dari etnis Tionghoa atau tidak beragama Muslim, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu harusnya tidak terkena juga.“

Diskriminasi Perempuan

Dewi Candraningrum menyimpulkan, penerapan Syariah Islam yang dipraktekkan di beberapa wilayah di Indonesia rata-rata mengatur tiga hal. Pertama, yang berkaitan urusan moralitas seperti judi, alkohol dan hubungan seks di luar nikah. Kedua dalam hal kewajiban ritual ibadat. Seperti shalat Jumat, puasa, bahkan mengaji. Ketiga perihal tata cara berpakaian dan berperilaku di tempat umum, tetapi ini kebanyakan dikhususkan bagi perempuan, yang diwajibkan berjilbab, atau dilarang berada di jalan pada jam tertentu.

Penerapan syariah berkesan salah kaprah, karena jadi menyudutkan dan mendiskriminasi perempuan. Lebih celaka lagi, langkah hukum penegakan syariah itu sering sekali dijalankan secara vulgar.

Di Aceh, beberapa kali terjadi penangkapan terhadap perempuan yang tidak menggunakan penutup kepala ketika sedang berada di jalan. Penangkapan itu dilakukan dengan kasar dan bahkan menghinakan. Sri Tunruang dari Eine Welt Forum Aachen menceritakan pengalaman yang dilihatnya, saat membantu proses rehabilitasi di tanah rencong pasca tsunami.

"Misalnya penangkapan-pengangkapan terhadap perempuan-perempuan yang kebetulan tidak berjilbab. Di jalan mereka dikumpulkan. Disorak-sorakin dinaikan ke atas truk. Waktu menaikan ke truk saja dipegang-pegang, untuk ukuran normal itu sudah pelecehan seksual, karena polisi menggunakan kesempatan untuk jawil-jawil."

Perempuan Dirugikan

Lebih jauh, di beberapa daerah muncul peraturan tentang pelarangan perempuan bekerja pada malam hari. Bahkan ada pula daerah yang mengeluarkan peraturan, bahwa di sekolah-sekolah harus dilakukan pemisahan murid laki-laki dan perempuan. Karenanya sekolah yang sudah kekurangan ruangan, jadi mendapat kesulitan tambahan.

Selain menindas perempuan, pemaksaan berlakunya Syariah Islam di beberapa wilayah di Indonesia, menurut Dewi Candraningrum juga merugikan perempuan secara ekonomis.

Pelaksanaan Syariah Islam

Menurut Dewi Candraningrum, Syariah Islam tidak bisa diperdebatkan karena merupakan doktrin agama. Namun pelaksanaannya merupakan tafsir manusia, yang seharusnya disesuaikan dengan konteks tempat dan waktu. Untuk masa kini, di Indonesia, syariah harus dilihat dalam perspektif yang tidak berseberangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan hak-hak perempuan.

“Syariah adalah ajaran Allah kepada Rasullah atau Nabi Muhammad, itu hanya salah satu interprestasi. Masih banyak intepretasi lain tentang bagaimana perempuan harus berpakaian, tentang berjudi atau pelacuran. Itu harus diatur dan memperhatikan undang-undang 45, Pancasila , CEDAW, Law on Human Right, Ecosoc, Civil and Politic Right, Yang paling penting itu CEDAW Convention of The Elimination Discrimination Against The Women Right yang sudah diterjemahkan ke Indonesia.”

Masih Ada Persoalan Lain

Sementara dalam pandangan Sri Tunruang, seharusnya bukan pengaturan bagaimana perempuan bersikap dan berpenampilan melulu yang seharusnya diperhatikan pemerintah daerah. Namun masih banyak persoalan lain yang jauh lebih penting, seperti misalnya bagaimana membasmi korupsi yang hingga kini merajalela.

“Masalah pembangunan kembali, diikutsertakannya perempuan dalam pembangunan setelah tsunami, proses perdamaian membutuhkan pemikiran yang lebih matang dan konsentrasi yang lebih berat. Syariah itu sebetulnya baik, Qur’an itu adil. Tapi gimana bajik dibawa jika politik penguasa sendiri belum beres?”

Gerakan Masyarakat Muslim

Di kalangan masyarakat Muslim, termasuk perempuan Muslim, bermunculan organisasi-organisasi yang berpandangan maju. Mereka mengkaji hukum-hukum Islam dengan perspektif jender. Diantaranya LSM Rahima yang dimotori oleh Farhah Cicik, Lembaga Kajian Agama dan Jender LKAJ yang dipimpin oleh Siti Musdah Mulia. Serta masih banyak lagi. Mereka makin giat, seiring bangkitnya gejala formalisme agama, yang hendak mengubah Indonesia jadi seperti negara-negara Arab.

Kelompok-kelompok ini giat dengan usaha mereka untuk menunjukkan bahwa umat Islam bukan umat terbelakang, yang mengurung perempuan dan hanya berkutat dengan urusan-urusan pribadi dan sepele.