1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

50 Tahun Program Bahasa Indonesia

Mariana Kwa27 September 2013

Tahun 2013 Siaran Bahasa Indonesia DW genap berusia 50 tahun. Ketika pertama kali mengudara tanggal 30 September 1963, Indonesia sedang dalam konfrontasi dengan Malaysia. Mariana Kwa menceritakan.

https://p.dw.com/p/19pUO
Redaksi Bahasa Indonesia tahun 90-an. Dari kiri: Mohammad Arsad, Asril Rdwan, Aan Lubis, Mariana Kwa, Rüdiger Siebert, Renate Schäfer, Anneliese Engelskamp, Tristiastini Soetrisno, Dewi Gunawan-Ladener, Gerard Bibang, Agus Setiawan, Emiel Indrakesuma.Foto: DW

"Inilah Suara Jerman Deutsche Welle!“ Kata-kata ini untuk pertama kali diudarakan pada tanggal 30 September 1963.

Tahun 2013 Siaran Bahasa Indonesia Deutsche Welle genap berusia 50 tahun. Setengah abad sudah usianya.

Ketika siaran bahasa Indonesia DWuntuk pertama kalinya mengudara pada 30 September 1963, Indonesia sedang dalam konfrontasi dengan Malaysia. Presiden Sukarno ketika itu menentang dengan gigih pembentukan Federasi Malaysia lewat pidato bersejarahnya yang bersemboyan Ganyang Malaysia. Baru pada 1966 ketika Suharto mengambilalih pemerintahan, konfrontasi dengan Malaysia berakhir.

Sementara di Jerman sendiri, pada tahun 1963 terjadi dua peristiwa penting. Yaitu kunjungan Presiden AS John Kennedy ke Repulik Federal Jerman dan Berlin, yang ketika itu masih terbagi atas Berlin Barat dan Berlin Timur. Di Tembok Berlin, Presiden Kennedy pada akhir pidatonya mengumandangkan kalimat yang bersejarah, "Ich bin ein Berliner“. Pada bulan November tahun 1963 Presiden Kennedy menjadi korban penembakan.

John F. Kennedy 1963 in Berlin
Presiden John F. Kennedy ketika berkunjung ke Jerman tahun 1963Foto: picture alliance / dpa Fotografen

Kanselir Konrad Adenauer tahun 1963 mengundurkan diri dan digantikan oleh Ludwig Erhard sebagai kanselir kedua Repubik Federal Jerman.

Di tahun 1963 Tirai Besi masih membagi benua Eropa. Di banyak negara Afrika dan negara berkembang, Jerman Timur menggalakkan diplomasinya agar diakui sebagai negara. Pada tahun itu di Indonesia juga gencar beredar desas desus bahwa Presiden Sukarno akan membuka hubungan diplomatik dengan Jerman Timur. Dalam situasi politik yang panas ini, Pemancar Luar Negeri Jerman Deutsche Welle memutuskan untuk membuka siaran bahasa Indonesia, bagi pendengar-pendengar di kepulauan nusantara. Deutsche Welle sendiri sebagai pemancar luar negeri pada saat itu baru berusia 10 tahun.

Saya bergabung dengan Redaksi Indonesia DW pada awal tahun 1975, ketika redaksi ini masih muda belia. Selama tiga puluh tahun, saya ikut aktif membuat dan menyusun berbagai acara siaran sebagai redaktur, penerjemah, reporter dan penyiar. Selama itu saya juga mengasuh acara kebudayaan.

Situasi politik di Indonesia, terutama di era Orde Baru, ketika kehidupan pers di tanah air ditandai oleh pembredelan pers dan penyensoran, turut mewarnai kebijakan para pembuat acara siaran bahasa Indonesia DW. Pada masa ini juga terasa betapa perlunya siaran radio luar negeri yang memberikan gambaran tentang kehidupan pers yang bebas namun bertanggungjawab kepada para pendengarnya di Indonesia, baik tua maupun muda.

Selain itu juga lewat siaran-siaran DW para pendengar yang berminat pada luar negeri, dapat lebih mengenal negara Jerman dari berbagai segi kehidupannya. Dan memang tugas penting siaran DW, selain sebagai media informasi, juga sebagai jembatan antar bangsa, menjalin dan memupuk saling pengertian antar bangsa, membagi pengalaman dan opini, membuka cakrawala.

Interview mit Präsident Suharto
Deutsche Welle redaksi Bahasa Indonesia siap mengikuti perkembangan politik Indonesia, seperti lewat wawancara dengan Presiden Suharto.Foto: DW

Baru setelah tumbangnya Suharto, di masa Reformasi lahir kebebasan pers dan pendapat di Indonesia. Dunia pers Indonesia membuka lembaran baru dalam sejarahnya. Memang zaman telah berubah, Jerman telah bersatu kembali. Tembok Berlin dan Tirai Besi sudah tumbang, Uni Sovyet sudah bubar dan banyak negara baru lahir.

Ketika saya pensiun dan meninggalkan Deutsche Welle pada tahun 2005, Redaksi Indonesia berusia 42 tahun, usia yang sudah mapan dan mantap, namun sebagai media pers, DW masih terus tumbuh dan berkembang di abad ke-21 ini, yang diwarnai perubahan, perkembangan dan kemajuan teknologi canggih. Kini dengan adanya sarana baru penyebaran informasi dan komunikasi, DW sebagai media massa mau tak mau juga harus menata kembali strategi dan kebijakannya di era digitalisasi.

Siaran-siaran langsung (live) lewat gelombang pendek (short wave) di zaman kini dianggap sudah usang, sehingga sejak tahun 2012, siaran lewat gelombang pendek dihentikan. Acara bahasa Indonesia DW kini hanya dapat diakses lewat internet dan Facebook. Kalau dulu kontak dengan para fans DW terutama lewat surat, yang di zaman saya marak sekali, setiap bulannya ratusan bahkan ribuan surat dari seluruh pelosok Nusantara sampai di meja redaksi, kini lewat internet, Facebook, Twitter para pengakses dapat memberikan komentar dan berdialog langsung dengan para pembuat acara.

Deutsche Welle Indonesische Redaktion
Mariana Kwa (kanan) bersama Mohammad ArsadFoto: DW

Memang zaman telah berubah. Di zaman modern ini berita, reportase, gambar dan musik terbaru dan teraktual bisa diakses tiap saat di manapun kita berada, berkat adanya Smartphone, iPad dan teknologi canggih lainnya. Tapi sayangnya, menurut statistik, saat ini hanya separuh penduduk dunia punya akses ke internet. Di Indonesia bahkan hanya 30% penduduknya, meski pertumbuhan pengguna internet Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Sampai sekarang hanya masyarakat dengan tingkat ekonomi tinggi memiliki banyak pilihan dan akses ke banyak media massa, sementara tingkat ekonomi rendah masih tergantung pada alat-alat komunikasi yang sederhana, seperti radio dan TV.

50 Tahun sungguh kurun waktu yang lama. Redaksi Indonesia DW lahir di zaman Orde Lama, besar dan dewasa di era Orde Baru, matang di zaman Reformasi, dan JAYA di era digital yang tak mengenal batas-batas waktu dan ruang... Semoga !

Dirgahayu Redaksi Indonesia Deutsche Welle!!

Mariana Kwa menjadi anggota tim redaksi Bahasa Indonesia dari 1975-2005