1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dilema Pembangunan Fisik vs Nurani

18 Agustus 2017

Modernisasi, globalisasi, dan pembangunan di tanah air lebih pada prwujudan fisik ketimbang pemikiran dan kepedulian kepada kebutuhan manusia sebagai warga negara. Opini Nadya Karima Melati.

https://p.dw.com/p/2ht0F
Indonesien Umweltverschmutzung in Jakarta
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry

Sore itu matahari perlahan turun, ratusan orang berbaju hitam menyatakan simpati dan bela sungkawa di taman aspirasi yang berlokasi di antara Monumen Nasional dan Istana. Taman Aspirasi sendiri dibangun tahun lalu, yakni 2016 sedangkan Aksi Kamisan di depan Istana Negara Jakarta sudah dilakukan hampir sembilan tahun yang lalu tepatnya tahun 2007.

Di sebelah Taman Aspirasi, nampak pemeliharaan tumbuhan di sekitar Monas dilakukan. Manusia, lampu taman, pedestrian bahkan rumput dan tanaman hias sekitar taman jadi saksi, bagaimana pemerintah tampaknya lebih mementingkan wajah fisik kota daripada melihat manusia-manusia yang bertahun-tahun memperjuangkan haknya sebagai warga.

Penulis : Nadya Karima Melati
Penulis : Nadya Karima Melati Foto: N. K. Melati

Membandingkan aksi Kamisan versus perbaikan taman kota, nampaknya menjadi contoh mudah bagaimana pemerintah memang lebih peduli untuk membangun negara secara fisik dan mengabaikan warga negara yang juga memiliki hak.

Pembangunan negara pada hari ini yang berusaha menjadi modern selalu perpijak pada tiga konstitusi: demokrasi, pasar bebas dan hak asasi manusia. Sayangnya untuk yang terakhir mungkin belum jadi perhatian negeri ini.

Pembiaran kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang tidak terselesaikan hingga sekarang mulai dari yang paling populer seperti pembantaian massal PKI 65, hingga peristiwa penembakan Semanggi dan pemerkosaan etnis Tionghoa pada kerusuhan tahun 1998.

Tanpa sadar, sesungguhnya isu kampanye Hak Asasi Manusia di Indonesia juga terbatas. Dengan begitu luasnya wilayah geografis Indonesia, tidak semua kejadian pelanggaran HAM terekam dan tercatat dalam kampanye seperti  peristiwa mangkok merah di Kalimantan Selatan 1967, pembantaian bisu di Sulawesi pada tahun 1960-an, perampasan rumah panjang di Kalimantan sepanjang pemerintahan Orde Baru dan juga pembunuhan tertuduh dukun santet pada tahun 2000.

Efek terpusat tidak hanya terjadi pada isu HAM tapi juga yang paling ketara terjadi pada pembangunan. Ketimpangan pembangunan masih jadi masalah di Indonesia dan nyatanya setiap pembangunan infrastruktur yang terjadi memang berorientasi pada Jakarta. Semakin Jakarta dibangun, semakin orang-orang datang menyemut dan perbaikan dan penambahan sana-sini seakan tidak ada habisnya.

Kita melihat bagaimana proyek MTR di Jakarta dan Jabodetabek, pembangunan kota Meikarta dengan pengembang hendak dijalankan dan meninggalkan kota-kota lain dalam perlombaan mewujudkan kota syariat.

Apakah pembangunan infrastruktur tersebut ditujukan kepada warga ataukah membangun demi tuntutan menjadi negara yang diakui dan diterima dalam pergaulan internasional melalui pasar bebas? Tulisan ini hendak mengkritisi pembangunan berbasis teknis yang mengabaikan aspek manusia sebagai subjek pembangunan dalam sistem pemerintahan yang beriak.

Orientasi Pembangunan

Wacana pemindahan ibukota ke Palangkaraya sedang bergulir. Alasan utamanya adalah pemerataan dan beban Jakarta sebagai ibukota dan pusat ekonomi sudah terlalu berat. Pembangunan dianggap terpusat selalu kepada Jakarta khususnya pada pengembangan transportasi dengan alasan yang sebenarnya sederhana: semua orang pergi ke Jakarta.

Ketimpangan pembangunan yang terjadi bisa dilacak dari bagaimana dan dari mana wacana pembangunan tersebut dibentuk dan diberi makna. Sejarawan yang baik akan mencoba merefleksikan peristiwa hari ini dan kesinambungannya pada masa lalu, untuk itu saya ingin mencoba berefleksi menangkap wacana pembangunan dari pelaksanaan konfrensi tingkat tinggi G-20 yang berlangsung di Hamburg baru-baru ini.

Konferensi G-20 sebagai sarana berlangsungnya silaturahmi besar berbagai negara tersebut diwarnai dukungan dan juga penerimaan. Dukungan yang menandai bahwa Indonesia diperhitungkan sebagai negara yang punya ‘pengaruh' pada percaturan dunia.

Sejak awal pembentukannya, G-20 memang berfokus pada regulasi kapitalisme global berkedok wacana sokongan pembangunan melalui bantuan ekonomi pada negara dunia ketiga seperti Indonesia. Pembangunan diorientasikan pada globalisasi dan tentu saja berorientasi kepada negara-negara yang ekonominya dianggap telah jauh lebih maju dari Indonesia dan di sinilah terminologi Negara Maju vs Negara Berkembang mulai di perkenalkan. Upaya mengubah status dari negara berkembang menjadi negara maju diartikulasikan oleh pemimpin negara. 

Apabila Soekarno mencoba mendefiniskan (dan melekatkan) bangsa dengan kata ‘revolusi', maka Soeharto yang lebih dekat pada kelompok kapitalis menyuarakannya dengan nama ‘pembangunan'. Dampak KTT G-20 pada Indonesia adalah intervensi dan pemaknaan pada pembangunan. Pembangunan sebuah negara diukur dan ditentukan tingkat keberhasilannya melalui serangkaian indikator ala negara maju seperti GDP (Gross Domestic Product) dan ekspor-impor.

Ketika reformasi bergema dan Soeharto sudah diganti, toh slogan ‘pembangunan' masih bergema sebagai orientasi negara sebagai tanda tunduknya negara kepada kehendak perekonomian global.

Hal yang luput dari pemaksaan kemajuan oleh negara-negara maju dalam konfrensi internasional adalah upaya pembangunan yang diterapkan terkadang buta pada sejarah dan budaya negara berkembang. Pemaksaan alih teknologi transportasi melalui impor mobil dan komunikasi dengan penjualan handphone misalnya, dianggap sebagai tulang dalam kemodernan. Alih dari tradisional ke modern dicontohkan oleh Jakarta sebagai pusat kota.

Dengan Jakarta sebagai panutan, maka gaya hidup modern ini diharapkan akan menular pada wilayah Indonesia lainnya. Penularan melalui riak-riak ini yang merupakan warisan turun temurun dari masa silam yang sebenarnya lekat jadi budaya yang tidak disadari dalam pembangunan.

Penguasaan politik dan ekonomi melalui riak-riak atau lingkaran-lingkaran sudah diketahui sejak masa Asia Tenggara sewaktu pulau-pulau yang sekarang menjadi Indonesia lebih dikenal dengan nama Nusantara. Dominasi penguasaan politik diwujudkan dalam suatu sistem lingkaran dengan riak. Konsep riak-riak politik kekuasaan disebut Mandala.

Beda dengan negara modern hari ini di mana batas-batas wilayah jelas dan kaku, mandala memperlihatkan sebuah wilayah kekuasaan berbetuk lingkaran dimana kekuatan politik yang lebih dominan mampu membuat wilayah di sekelilingnya takluk. Sistem mandala mempelihatkan sebuah kekuatan lingkaran dengan kekuatan sentrifugal di mana kekuasaan di pusat mempengaruhi wilayah pinggiran dalam bentuk intervensi ekonomi, pengaruh politik dan perlindungan militer.

Contohnya pada kerajaan Sriwijaya pada abad ke-11 yang letak pusat pemerintahannya diperkirakan di sekitar Palembang dan melakukan perluasan ke wilayah sekelilingnya. Kerajaan-kerjaan di sekelilingnya tunduk dan berkuasa sebagai raja lokal dan berkewajiban melakukan pemberian upeti sebagai penanda pengakuan kekuasannya.

Pada hari ini, mandala terwujud dan membentuk sebuah kesenjangan pembangunan yang tiada habisnya.Kekuasaan istana diukur dari sejauh mana pengaruh politik dan pembangunan dilakukan di wilayah Indonesia. Tentu saja Jakarta selalu jadi pusat di mana infrastruktur dibangun tiada henti.

Semakin jauh dari wilayah Jakarta sebagai pusat kekuasaan, pembangunan infrastruktur semakin berkurang dan wacana pembangunan berbalik menjadi perwujudan kota syariah. Aceh, Nusa Tenggara Barat dan Makassar wilayah jauh dengan basis masyarakat Islam yang kuat.

Polaritas pembangunan kota terlihat dari  batas kekuatan dominasi pemerintah pusat kepada wilayah lainnya. Karena modernisasi dan globalisasi masuk dengan alih teknologi, bukan pada pikiran dan kepedulian kepada kebutuhan manusia sebagai warga negara. Walaupun pembangunan infrastruktur dan penerapan kota syariah memiliki ide yang tidak jauh berbeda, sama-sama melahap wacana global yang tersedia.

Penulis:

Nadya Karima Melati

Essais dan Peneliti Lepas. Koordinator SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies). Tertarik pada topik sejarah sosial, feminologi dan seksualitas.

@Nadyazura

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis