1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Diantara Mekah dan Madinah

1 Februari 2007

Arab Saudi bertindak sebagai penengah dalam konflik Timur Tengah. Sebagai sesama kaum Muslim, Hamas dan Fatah diimbau menghentikan perseteruan.

https://p.dw.com/p/CIvN
Raja Abdullah (tengah) sesaat sebelum pengangkatannya sebagai raja Arab Saudi, Agustus 2005
Raja Abdullah (tengah) sesaat sebelum pengangkatannya sebagai raja Arab Saudi, Agustus 2005Foto: AP

Raja Abdulah yang senang disebut sebagai 'Pelindung Dua Kota Suci' menggunakan senjata ampuhnya. Ia mengingatkan kaum Muslim akan akarnya, yang terletak di padang pasir di kerajaannya, di Mekah dan Madinah. Di sinilah terletak perbedaan tawaran perundingannya kepada pihak yang bertikai di Palestina, dibandingkan dengan sejumlah pertemuan sebelumnya di Palestina dan Mesir. Kali ini kelompok Fatah dan Hamas diharapkan berdamai sebagai sesama kaum Muslim, karena seperti yang dikutip Raja Abdulah dalam suratnya akhir pekan lalu, "barang siapa yang membunuh saudara seiman, maka ia akan masuk neraka.“

Selama ini keterlibatan Arab Saudi tidak pernah segencar Yordania atau Mesir. Tetapi saran-sarannya lebih tahan lama. Contohnya rencana perdamaian Arab Saudi yang dipaparkan oleh Raja Abdulah, yang dulu masih sebagai putra mahkota, dalam pertemuan Liga Arab tahun 2002. Inisiatif ini merupakan satu-satunya rencana perdamaian yang dapat dianggap serius dalam 10 tahun terakhir. Rencana ini menjanjikan pengakuan eksistensi Israel jika Negara Yahudi ini mundur ke perbatasan tahun 1967 dan memberikan kesempatan untuk didirikannya sebuah Negara Palestina.

Tawaran yang sangat murah hati juga diberikan oleh Arab Saudi baru-baru ini dalam konfrensi donor di Paris, yaitu bantuan satu milyar Dolar untuk pembangunan kembali Libanon. Kerajaan Arab Saudi yang mejalankan aliran Suni yang ketat menikmati reputasi yang tinggi diantara kaum Muslim di negara-negara Arab, yaitu sebagai pemegang ideologi dan donor keuangan.

Hal ini juga mendapat kualitas baru sejak dimulainya pengaruh Syiah di wilayah itu akibat perubahan kekuasaan di Irak. Dinasti kerajaan Arab Saudi mengamati hal ini dengan rasa iri. Raja Abdulah kepada sebuah koran di Kuwait mengatakan, bahwa setiap percobaan syiar agaman kelompok Syiah harus digagalkan. Lebih lanjut dikatakannya, "Kaum Suni akan selalu memegang mayoritas di dunia Islam."

Akibat ketegangan aliran agama di Irak dan percobaan penggulingan kekuasaan dari pihak Hisbullah yang beraliran Syiah di Libanon, benteng kaum Suni mulai goyah, dan hal ini mendorong 'Pelindung Dua Kota Suci' untuk membuat rencana. Ketika ulama Arab Saudi mengumpat kaum Syiah sebagai orang bid’ah, Raja Abdulah mengirim juru runding terbaiknya ke Taheran. Dan minggu ini menteri luar negeri Arab Saudi mengumumkan, bersama-sama dengan Iran akan ditemukan sebuah pemecahan untuk masalah Irak dan Libanon. Sebuah isyarat berani kepada sekutunya, Amerika Serikat, yang mencap Iran sebagai musuh bebuyutan.

Raja Abdulah mengatakan akan dapat menemukan pemecahan masalah di Palestina 'tanpa campur tangan pihak luar'. Ditambahkannya, walaupun Iran memberikan uang kepada kelompok Hamas, Arab Saudi tetap merupakan orang tua angkat Palestina. Jika pertemuan di Mekah dapat membentuk pemerintahan kesatuan nasional di Palestina, maka Arab Saudi telah mengambil alih peran perantara Timur Tengah yang paling menonjol.