1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Darurat, Diperlukan Penanganan Limbah Elektronik

22 Februari 2010

Sampah elektronik meningkat sebanyak 40 juta ton per tahun. Demikian laporan yang dikeluarkan Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Program Lingkungan UNEP.

https://p.dw.com/p/M88R
Di Mumbay, daur ulang limbah elektronik sudah dimulaiFoto: picture-alliance / dpa

UNEP juga menyebutkan angka penjualan produk elektronik di negara-negara seperti China, India, maupun di Afrika dan Amerika Latin naik tajam hingga 10 tahun terakhir. Di Bali, kini berlangsung Konferensi Lanjutan Istimewa Pihak Konvensi Basel, Rotterdam, dan Stockholm (ExCOP), untuk mensinergikan tiga konvensi tersebut. Salah satu yang terpenting untuk dicapai adalah kesepakatan dalam penanganan limbah kimia atau elektronik.

Limbah Elektronik Mengganggu Kesehatan

Limbah dari telefon genggam, komputer dan barang elektronik lainnya merupakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Demikian pernyataan organisasi untuk Program Lingkungan PBB – UNEP, dalam sebuah laporan berjudul *Daur Ulang – dari Limbah Elektronik ke Sumber Daya.“ Laporan tersebut dirilis dalam Konferensi Lanjutan Istimewa Para Pihak Konvensi Basel, Rotterdam, dan Stockholm (ExCOP) yang kini berlangsung di Bali. Laporan ini mengambil data 11 negara berkembang, untuk memperkirakan besarnya sampah elektronik masa sekarang dan masa mendatang. Misalnya yang berasal dari telefon genggam, printer, komputer, laptop, kamera digital, kulkas, mainan, televisi dan lain sebagainya.

Computerfriedhof
Di China, limbah elektronik menempati posiis kedua terbanyak di dunia setelah ASFoto: AP

Lonjakan Limbah Elektronik

Pada tahun 2020, sampah berupa komputer bekas di Afrika Selatan dan China melonjak dari 200 persen ke 400 persen, dari tahun 2007. Di India bahkan melambung hingga 500 persen.

AS Tertinggi, Disusul China

Berdasarkan data UNEP, Amerika Serikat tercatat sebagai produsen limbah elektronik terbanyak, mencapai 3 juta ton. Sedangkan posisi kedua diduduki China dengan jumlah 2,3 juta ton.

Mobiltelefon Recyling in den USA
Daur ulang telefon genggam di ASFoto: picture-alliance/dpa

Keterbatasan Dana

Direktur eksekutif United Nations Environment Programme (UNEP) atau lembaga PBB untuk program lingkungan Achim Steiner dalam pidato pembukaan menyatakan penanganan limbah elektronik bukan sekedar hal penting, melainkan sudah menjadi kebutuhan mendesak. Namun Achim Steiner mengingatkan perlunya efisiensi pendanaan di tengah keterbatasan bantuan dari pihak donor:

„Ini bukan tentang pemotongan biaya, dalam krisis finansial kita harus menghemat uang. Saya rasa anda semua sudah memahami bahwa ini masalahnya bukan pengurangan dana bantuan melainkan penghematan untuk dimanfaatkan bagi pengembangan sumber daya yang tersedia, dalam rangka mengimplementasikan pembangunan kapasitas di kawasan.“

Ia menambahkan peningkatan daur ulang sampah elektronik di negara-negara berkembang dapat juga membuka lapangan kerja yang layak, memotong emisi gas rumah kaca dan juga memulihkan berbagai logal berharga seperti perak, emas, nikel, tembaga dan lain-lain.

Indonesien Land und Leute Mülltrennung in Jakarta
Di Indonesia, segala sampah tercampur baur, bahkan dengan sampah elektronikFoto: AP

Indonesia Rentan Akan Masuknya Limbah Elektronik

Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta memaparkan Indonesia merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap perdagangan illegal bahan berbahaya, seperti sampah elektronik. Dimana terdapat 2000 lokasi potensi pintu masuk untuk perdagangan illegal bahan beracun dan berbahaya.

„karena itu kami sangat percaya bahwa kerjasama internasional dan perjanjian-perjanian pada tingkat global dan regional merupakan hal yang sangat krusial untuk dapat menangani masalah-masalah tersebut.“

Seperti diketahui, Konvensi Basel mengatur pengendalian perlintasan dan perpindahan limbah berbahaya dan turunannya. Konvensi Rotterdam mengatur prosedur perdagangan internasional substansi kimiawi berbahaya dan pestisida sedangkan Konvensi Stockholm mengatur masalah polutan organik yang mampu bertahan lama di alam.

Raditya Wardhana / Ayu Purwaningsih

Editor: Hendra Pasuhuk