1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dari Mulut Buaya ke Mulut Singa

Indonesien Wahyu Susilo
Wahyu Susilo
18 Desember 2020

Indonesia memiliki kisah kelam dari praktik perekrutan ugal-ugalan perusahaan pengerah pekerja migran yang syarat pendiriannya sangat mudah.  Bagaimana situasinya kini? Opini Wahyu Susilo.

https://p.dw.com/p/3mUCb
TKI Hong Kong Protes Presiden Joko Widodo
Foto: Aksi buruh migran di Hong KongFoto: Getty Images/AFP/D. de la Rey

Pada tanggal 25 November 2020, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menolak seluruh permohonan uji material yang diajukan ASPATAKI (Asosiasi Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta) terhadap terhadap Pasal 54 ayat (1) huruf (a) dan huruf (b) dan Pasal 82 huruf (a) serta Pasal 85 huruf (a) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Pasal-pasal yang diuji materi ini terkait dengan pengaturan dan perizinan yang makin ketat dan persyaratan uang jaminan yang memadai untuk memastikan perusahaan perekrut pekerja migran punya tanggung jawab atas usaha yang dilakukan. Bagi mereka, syarat dan ketentuan ini dianggap memberatkan iklim usaha dan bertentangan dengan konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini tentu harus diapresiasi dan makin memberi landasan konstitusional atas pasal-pasal perizinan dan persyaratan pendirian perusahaan pengerah pekerja migran sekaligus memastikan agar proses penempatan pekerja migran tetap dalam koridor penegakan hak asasi manusia dan antiperdagangan manusia.

“Kemenangan” agenda perlindungan pekerja migran Indonesia di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia patut dirayakan. Namun demikian agenda perlindungan pekerja migran Indonesia ternyata masih menghadapi ancaman nyata di depan mata, yaitu UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam UU yang kerap disebut Omnibus Law ini “diselundupkan” klaster pelindungan pekerja migran Indonesia yang semangatnya bertentangan dengan UU No. 18/2017. Walaupun pasal-pasal tentang pengetatan persyaratan dan perizinan dalam UU No.18/2017 telah dikuatkan secara konstitusional oleh putusan Mahkamah Konstitusi RI, namun pasal-pasal tersebut memiliki potensi dilemahkan bahkan dilumpuhkan oleh Pasal 89A klaster pelindungan pekerja migran Indonesia UU Cipta Kerja.

Menurut ketentuan pasal 89A klaster pelindungan pekerja migran dinyatakan bahwa segala aturan mengenai perizinan dan persyaratan operasional perusahaan pengerah pekerja migran harus mengacu pada prinsip dasar kemudahan berusaha dan berinvestasi yang tercantum dalam pasal-pasal kemudahan berusaha di UU Cipta Kerja. Ketentuan ini berpotensi akan merelaksasi bahkan meliberalisasi persyaratan dan perizinan operasional perusahaan pengerah pekerja migran yang sudah diketatkan oleh UU No. 18/2017. Situasi ini bisa digambarkan seperti lolos dari mulut buaya tapi langsung terancam masuk ke mulut singa.

Indonesia memiliki kisah kelam dari praktik perekrutan ugal-ugalan perusahaan pengerah pekerja migran yang syarat pendiriannya sangat mudah.  Pada tahun 2008, penulis menjadi salah satu evaluator untuk meninjau efektivitas pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. Evaluasi ini dilakukan secara independen untuk menilai kinerja gugus tugas anti-trafficking lintas kementerian dan lembaga dalam upaya memerangi tindak pidana perdagangan manusia (terutama perempuan dan anak) di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2002.

@wahyususilo adalah pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.
Penulis: Wahyu SusiloFoto: privat

Sebagian besar korbannya adalah pekerja migran

Salah satu temuan penting dalam proses evaluasi tersebut bahwa sebagian besar korban perdagangan manusia pada periode tersebut (dan bahkan berlangsung hingga kini) adalah pekerja migran. Temuan ini tentu tidak mengecilkan korban-korban perdagangan manusia dengan modus operandi yang lain.

Terungkap bahwa praktik perdagangan manusia selama ini selalu membonceng proses penempatan pekerja migran mulai tahapan rekrutmen, pembuatan dokumen, penampungan di kawasan transit hingga pengiriman ke negara tujuan.

Mengapa situasi tersebut bisa terjadi padahal sejak tahun 2004, Indonesia telah memiliki UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri? Itulah sumber masalahnya, karena ternyata UU ini memberi cek kosong yang begitu leluasa kepada perusahaan pengerah tenaga kerja untuk melakukan perekrutan, menjalankan bisnis keperantaraan dari hulu sampai ke hilir menggantikan fungsi-fungsi layanan publik negara.

Dengan demikian UU ini telah memberikan monopoli kepada perusahaan perekrut untuk menetapkan semaunya segala biaya keperantaraan tersebut dan menjadi satu-satunya jalur yang resmi untuk penempatan pekerja migran, meski tidak ada jaminan mereka bekerja dalam kondisi yang layak.

Di sisi lain, tidak ada mekanisme yang efektif untuk melakukan monitoring dan evaluasi dari cara kerja perusahaan perekrut tenaga kerja ini. Kontrol negara hanya diberikan dalam mekanisme registrasi surat izin usaha. Mekanisme inspeksi ketenagakerjaan juga tidak memiliki spesifikasi khusus untuk melakukan pengawasan pada perusahaan perekrut pekerja migran.

Inilah yang menyebabkan adanya peningkatan jumlah yang berlipat-lipat (booming) perusahaan perekrut tenaga kerja pada masa setelah lahirnya UU No. 39/2004. Bagaimana tidak? Hanya dengan modal sewa kantor, peralatan kantor dan komunikasi yang tidak mahal, tanpa ada mesin produksi bisa mengeruk keuntungan yang besar dari bisnis keperantaraan.

Oleh karena itu salah satu rekomendasi dari evaluasi pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia adalah menciptakan kondisi agar penempatan pekerja migran tidak menjadi objek bisnis yang menguntungkan dan segera mentransformasi proses layanan publik untuk memfasilitasi semua proses yang mendukung migrasi tenaga kerja secara aman. Transformasi itu perlu dilakukan agar tidak terjadi lagi bisnis keperantaraan yang memanfaatkan keterjauhan calon pekerja migran dari akses layanan publik.

Spirit ini pula yang kemudian melandasi desakan masyarakat sipil dan serikat buruh migran untuk perubahan mendasar UU No. 39/2004 yang sama sekali gagal menjadi payung perlindungan bagi pekerja migran dan bahkan menjadi alat legitimasi monopoli perusahaan perekrut tenaga kerja mengambil keuntungan secara tidak sah.

Tidak mudah untuk mengusulkan sebuah instrumen hukum yang berfungsi sebagai payung perlindungan bagi pekerja migran di saat kebijakan penempatan pekerja migran dianggap sebagai kebijakan ekonomi dan bukan sebagai kebijakan perburuhan.

Kelahiran UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri juga tidak lepas dari paket kebijakan ekonomi yang dipersyaratkan IMF demi kestabilan fiskal dan neraca pembayaran. Hal ini bisa dibaca dalam INPRES No. 5 Tahun 2003. Tak hanya itu, UU ini juga tak luput dari evaluasi rutin Bank Dunia yang disampaikan setiap pertemuan Consultative Group on Indonesia (konsorsium negara dan lembaga keuangan pemberi utang Indonesia). Salah satu tindak lanjut dari evaluasi tersebut yang dituangkan melalui INPRES No. 3 Tahun 2006 tentang Iklim Investasi dinyatakan bahwa beberapa pasal dalam UU ini harus direvisi karena “menghambat iklim investasi penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.”

Dari pembacaan kritis terhadap INPRES No. 3 Tahun 2006 yang dianggap menghambat iklim investasi penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri adalah persyaratan bahwa perusahaan pengerah tenaga kerja harus memiliki unit pelatihan kerja dan memiliki sarana dan prasarana pelayanan penempatan tenaga kerja. Ini artinya membuka ruang bagi perusahaan pengerah tenaga kerja yang tidak memiliki sarana pelatihan dan unit pelayanan yang memadai untuk melakukan perekrutan ugal-ugalan tanpa perlu melakukan pelatihan.

Desakan ini tentu kontradiktif dengan upaya pembangunan tata kelola migrasi tenaga kerja yang komprehensif yang membutuhkan kualitas layanan memadai, pelatihan yang bermutu serta standar perlindungan yang maksimal. Desakan ini memang tidak ditindaklanjuti dalam perubahan UU No. 39/2004, tapi menjadi bom waktu di kemudian hari.

Kebijakan mengenai pekerja migran di Indonesia mulai dipengaruhi oleh pendekatan hak asasi manusia ketika Indonesia melamar menjadi anggota Dewan HAM PBB, hasil dari reformasi PBB dan juga keterlibatannya dalam reformasi ASEAN di mana masalah hak asasi manusia pekerja migran menjadi tema penting untuk organisasi regional di kawasan Asia Tenggara ini.

Langkah ini dilakukan dengan meningkatkan status dari negara penanda tangan (pada tahun 2004) menjadi negara peratifikasi Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya pada tahun 2012 melalui UU No. 6 Tahun 2012. Sebelumnya, Indonesia juga turut serta mempromosikan pembentukan Deklarasi ASEAN untuk Perlindungan dan Promosi Hak-Hak Pekerja Migran di ASEAN yang ditandatangani di Cebu, Desember 2007.

Langkah ini sedikit banyak mempengaruhi pembentukan UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang mengubah total substansi UU No. 39/2004. Dengan beberapa catatan kelemahan yang ada, UU No. 18/2017 mencoba menggeser arah kebijakan penempatan pekerja migran yang sebelumnya tunduk pada kebijakan ekonomi menjadi instrumen perlindungan HAM.

Bisakah memotong rantai perantara?

UU ini juga mengubah watak penempatan pekerja migran dari orientasi bisnis menjadi aktivitas layanan publik, sehingga memotong mata rantai bisnis keperantaraan yang selama ini menjadi sumber pendapatan utama perusahaan perekrut tenaga kerja. UU ini mengakhiri era monopoli perusahaan perekrut pekerja migran dan memberi tanggung jawab dan kewenangan pada pemerintah (dari pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga desa) untuk memastikan tata kelola migrasi tenaga kerja yang bermanfaat, murah, dan aman.

Untuk mencegah terjadinya pemboncengan praktik perdagangan manusia dalam proses penempatan pekerja migran, UU ini memberikan persyaratan yang ketatpada perusahaan pengerah antara lain dengan penjaminan keuangan yang lebih tinggi dibanding aturan sebelumnya.

Pada posisi inilah, penambahan pasal 89A mengenai kemudahan berusaha bagi perusahaan perekrut pekerja migran pada klaster Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan melalui akrobat legislasi yang kontroversi berpotensi menjadi pasal yang melumpuhkan semangat perang melawan perdagangan manusia dan perlindungan hak asasi pekerja migran Indonesia.

Alih-alih mengatur pelindungan pekerja migran dalam regulasi yang bermasalah seperti UU CIpta Kerja, seharusnya pemerintah Indonesia lebih berfokus pada implementasi UU No. 18/2017 dengan menyegerakan aturan turunan dan pelembagaan tata kelola migrasi tenaga kerja yang berorientasi pada layanan publik dengan pelibatan secara maksimal pemerintah di daerah hingga di tingkat desa dalam pemberian layanan, pelatihan dan pelindungan pekerja migran Indonesia.      

@wahyususilo adalah pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia adalah sepenuhnya opini penulis dan menjadi tanggung jawab penulis.

*Ingin ikut berdiskusi? Silakan tuliskan komentar Anda di bawah ini.