Bagaimana Dampak Perang Saudara Myanmar di Bangladesh?
23 Februari 2024Ketika pertempuran antara junta militer Myanmar melawan kelompok pemberontak Tentara Arakan (AA) di negara bagian Rakhine semakin intensif, korban jiwa mulai berjatuhan di Bangladesh. Pada bulan ini, setidaknya dua orang tewas akibat terkena tembakan mortir yang salah sasaran. Korban luka juga muncul akibat tembakan liar dari sebrang perbatasan.
Intensitas pertempuran memuncak di perbatasan akibat aksi Tentara Arakan yang berusaha menghalau militer Myanmar dari wilayah barat. Keunggulan pemberontak menjadi pukulan berat bagi junta militer yang mengkudeta pemerintahan sipil Myanmar pada Februari 2021 dan akibatnya memicu perang saudara berskala luas.
Tentara Arakan adalah sayap militer kelompok pemberontak di Rakhine yang mencari otonomi dari pemerintah pusat. Perang bereskalasi sejak November 2023 yang ditandai oleh serangan serentak gerilyawan AA terhadap pos-pos militer.
Kepulangan pengungsi Rohingya
Perbatasan sepanjang 271 kilometer memisahkan Bangladesh yang mayoritasnya muslim dengan negeri Buddha, Myanmar. "Operasi pembersihan" yang dilancarkan junta Myanmar di Rakhine sejak 2017 ikut berimbas di negeri jiran degan masuknya pengungsi Rohingya ke Bangladesh.
Kepada DW, sejumlah pengungsi di kota Cox's Bazar, mengomentari keberhasilan Tentara Arakan menguasai sebagian wilayah Rakhine dengan sikap skeptis. Mereka tidak percaya bahwa pemberontak buddhis itu akan bersedia membantu kepulangan Rohingya.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Kaum buddhis memang sedang memerangi junta Myanmar di Rakhine. Tapi kami membutuhkan kewarganegaraan jika pulang," kata Rashid, seorang pentolan pengungsi Rohingnya. "Kami tidak mendengar bahwa AA akan memulangkan kami dengan menyediakan kewarganegaraan."
Intervensi di perbatasan
Pandangan analis keamanan Bangladesh, M Sakhawat Hossain, terdengar lebih optimis. Pensiunan jenderal itu merujuk pada janji yang dibuat oleh Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) Myanmar untuk memastikan repatriasi Rohingya yang aman, sukarela dan bermartabat dari Bangladesh.
NUG adalah pemerintahan bayangan yang dibentuk bekas pejabat terpilih Myanmar yang digulingkan oleh kudeta militer. Badan tersebut mendapat banyak dukungan internasional dan berencana mengambil alih kekuasaan di Naypyidaw setelah junta digulingkan.
"Liga Persatuan Arakan, ULA, sayap politik Tentara Arakan, akan memerintah negara bagian Rakhine jika junta kalah dalam pertempuran melawan pemberontak dan NUG menguasai Myanmar. NUG mendukung ULA, yang berarti bahwa komunitas Rohingya memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan kewarganegaraan berdasarkan kerja sama antara NUG dan ULA,” kata Hossain kepada DW.
Dia berpendapat, Bangladesh perlu menjalin komunikasi informal dengan kelompok pemberontak di Rakhine.
"Saya telah katakan selama bertahun-tahun bahwa Bangladesh perlu mendukung AA demi kepentingannya sendiri. Dukungan ini bisa bersifat informal, seperti yang dilakukan banyak negara lain. Bagi Bangladesh, yang penting bukanlah apa yang terjadi di seluruh Myanmar, namun apa yang terjadi di Myanmar Barat. Negara bagian Rakhine dan Chin sangat penting bagi kami dalam hal keamanan dan masalah pengungsi,” katanya.
Komunikasi dua arah di Myanmar
Meski begitu, Bangladesh diminta berhati-hati dalam menjangkau pemberontak di Myanmar, menurut Michael Kugelman, direktur lembaga pemikir Wilson Center di Asia Selatan yang berbasis di Washington.
"Bangladesh membutuhkan hubungan yang baik dengan junta demi kerja sama keamanan perbatasan dan negosiasi mengenai Rohingya. Jika Dhaka membuka saluran komunikasi dengan pemberontak dan junta mengetahui hal ini, hal itu dapat berdampak buruk bagi kepentingan Dhaka,” katanya kepada DW.
Kugelman mengakui, pemberontak di Myanmar sejauh ini telah membukukan kemajuan pesat dalam perang melawan junta. Situasi tersebut dapat mendorong junta untuk menggunakan taktik yang lebih brutal. Menurutnya, hal ini dapat meluapkan konflik dan meningkatkan potensi limpahan pertempuran ke sebrang perbatasan.
"Kekuasaan AA di Rakhine mungkin membuat kondisi lebih baik bagi Rohingya, tapi juga bisa membuat keadaan menjadi lebih sulit,” kata Kugelman. Junta dapat menafsirkan inisiatif apa pun untuk memulangkan pengungsi Rohingya sebagai sinyal kerja sama antara kelompok Muslim dan pemberontak Buddha, yang "dapat menimbulkan ancaman baru terhadap komunitas Rohingya,” katanya kepada DW.
Bangladesh tolak tambahan pengungsi
Di Rakhine, sebagian warga Rohingya di kawasan Maungdaw saat ini masih terjebak di tengah pertempuran antara pasukan junta dan pemberontak AA, kata Nay San Lwin, salah satu pendiri Koalisi Rohingya Merdeka, kepada DW.
"Junta kalah di medan perang dan warga Rohingya berlari menyelamatkan diri sementara Tentara Arakan berusaha mengambil kendali penuh atas wilayah tersebut,” katanya.
"Di kota Buthidaung dan Maungdaw, sekitar 270.000 warga Rohingya masih tersisa. Di seluruh negara bagian Rakhine, ada sekitar 600.000 orang Rohingya, termasuk sekitar 130.000 orang yang ditahan di kamp-kamp militer,” tambahnya.
Nay mengelola salah satu pusat informasi Rohingya terbesar di Frankfurt, Jerman. Dia meyakini bahwa warga Rohingya yang tersisa di Myanmar akan berusaha melarikan diri ke luar negeri dan akan menghindari Bangladesh.
"Rohingya di kawasan ini sangat berhati-hati saat melarikan diri ke Bangladesh. Banyak yang akhirnya terjebak di kamp-kamp pengungsi selama bertahun-tahun, tanpa prospek repatriasi,” katanya kepada DW.
"Cuma mereka, yang membutuhkan perhatian medis, yang berusaha melarikan diri untuk berobat ke Bangladesh karena staf medis di Rumah Sakit Maungdaw tidak mencukupi. Menurut warga, dokter bedahnya sudah kabur,” tambah Nay.
Dan Bangladesh, yang sudah kewalahan menghadapi gelombang pengungsi yang terus menerus, tidak berminat menerima seorang pun pengungsi dari Myanmar saat ini.
"Penjaga Perbatasan Bangladesh, BGB, dan penjaga pantai kami telah meningkatkan patroli di perbatasan sehingga tidak ada orang Myanmar yang bisa menyusup ke Bangladesh,” kata Muhammad Shaheen Imran, wakil komisaris Cox's Bazar, kepada DW.
(rzn/hp)