1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

"Conscious Parenting" ala Marissa Nasution

13 November 2021

Pusing jika anak mengamuk, sering 'bad mood' dan tak menurut? Selebriti yang kini menjadi 'mompreneur' Marissa Nasution berbagi pengalaman dari pola asuh anak yang ia pelajari dengan program 'conscious parenting'.

https://p.dw.com/p/42vav
Marissa Nasution- mengasuh anak secara sadar.
Marissa Nassution dengan anak-anaknyaFoto: Silke Dietz

Jam-jam paling menantang sebagai ibu muda biasanya dialami Olga Florentyna-Schneider ketika putranya semata wayang memasuki jam tidur. Si kecil yang senang bermain cukup sulit disuruh tidur. Selain itu, jika kemauannya tidak dituruti orang tua.

"Misalnya saat jalan-jalan pagi dia ngotot mau ke stasiun, mau melihat kereta, padahal kita harusnya jalan ke arah lain," ujar Olga menceritakan sehari-harinya bersama Kayo, anaknya yang masih balita, Sebelum anak tantrum, ia mencoba menawarkan opsi-opsi lain pada anaknya agar tidak terus merengek apalagi mengamuk.

Ia punya trik mengatasi anaknya yang tantrum lewat pengalihan perhatian. "Lihat itu ada kucing, ayo lihat kucing yuk! Kadang saya sambil bunyi-bunyi meong. Akhirnya anakku berhenti tantrum dan mengikuti arahku," ujar perempuan yang kubu bermukim di Kota Mainz sambil tertawa. Metode darurat lainnnya dengan cara menggendong anaknya sambil disodori makanan. Kebetulan Rangkayo, putranya suka makanan. 

Sementara itu Fabiola Givenchia yang tinggal di Kota Bonn mengaku situasi 'tegang‘ dengan putra pertamanya yang berusia dua tahun ketika putranya mampir ke dapur. "Dia suka sekali main dengan barang dapur yang berat seperti panci, wok dan kalau dilarang –namanya juga anak kecil apalagi kalau belum bisa bicara, ya nangis, marah, berontak. Diambil, ya sama saja," ungkap Fabiola.

Olga Florentyna-Schneider dan putranya
Menjadi ibu di JermanFoto: Privat

"Kalau sudah seperti itu aku harus tenang, dan harus santai, karena jika aku juga keras, mungkin dia akan lebih keras (nantinya). Kupeluk dia, walaupun nantinya kena pukul atau ditarik rambutku dan aku sambil membujuk, bicara padanya, itu yang paling penting," tutur perempuan asal Maluku ini. "Jelaskan situasi walaupun anak masih kecil dan belum bisa bicara," tambahnya.

"Awalnya aku coba mengalihkan perhatian dengan ajak dia keluar dari dapur. Tapi, besok dan seterusnya diulang terus. Akhirnya dia ku ajari begini: 'Sekarang semua barang-barang ini masukan ke sini (lemari), bantu mama ya…Besoknya saat di dapur, dia keluarkan lagi barang-barangnya setelah itu ditata lagi rapi.' Kebiasaan itu berlanjut sampai sekarang," ujar Fabiola bangga.

Boleh saja anak 'bad mood', kita juga sering 'bad mood'

Mengajak anak bicara atau berdiskusi menjadi kebiasaan orang tua di Jerman. Namun apakah itu cukup?

Artis Marissa Nasution, yang kini mengelola program pelatihan untuk orang tua dalam mengasuk anak berbagi pengalaman. Metode yang dilakukannya termasuk dalam pola 'conscious parenting' atau pola pengasuhan anak secara sadar. Mengatasi anak tantrum adalah salah satu cara dalam program ini.

"Bisa jadi anak mengamuk, contohnya kita di swalayan dan anak kita ingin satu cokelat, namun kita tidak mau beri cokelat padanya, mungkin saja anak jadi mengamuk dan emosi. Diskusi, kita harus menjadi pelopor diskusi dengan anak dan kita harus melihat amuk ini datang dari mana, karena ada banyak sumber dari mengamuk. Kita sebagai orang tua juga kadang merasa ‘ini hari yang melelahkan, ini hari yang menyedihkan, suasana hati saya tidak bagus', dan kita melupakan kalau anak kita juga merasakan hal yang sama. Hal tersebut sah-sah saja. Jadi buat anak juga belajar untuk menerima semua emosi yang mereka rasakan," papar Marissa.

Mungkin orang tua selalu berharap anak harus selalu tertawa, anak harus selalu senang. Namun menurut Marissa anak juga boleh punya hari yang tidak menyenangkan, anak juga boleh merasa bosan, atau merasa kesedihan.

"Karena kalau kita kasih makna semua emosi, dan kalau anak juga tahu bagaimana mereka mengatasinya dan merasakan emosinya, mereka tidak akan merasa ketakutan untuk merasakan sesuatu. Satu contoh, banyak orang tua selalu bilang kepada anak-anak laki-laki ‘kamu seorang lelaki, kamu tidak boleh menangis! Kamu harus kuat!' Padahal, menurut saya itu sebuah cara yang sangat patriarki. Karena buat mereka, mereka jadi tidak tahu bagaimana mereka bisa proses rasa kesedihan, dan itu nanti mereka akan membawanya pada masa dewasa mereka. Sebagai dewasa nanti banyak yang selalu dibilang ‘kamu harus kuat! Kamu tidak boleh menangis!' atau lainnya, tidak tahu bagaimana caranya untuk proses emosi seperti ini," tutur Marissa.

Jadi, bagi Marissa sangat penting semua emosi punya nilai dan semua emosi harus dirasakan, tidak hanya yang positif, namun yang negatif juga. Sehingga  anak-anak bisa akan tahu, di masa dewasa kita akan memproses emosi.

Filosofi Conscious Parenting

"Conscious Parenting (pola asuh sadar) adalah sebuah filosofi pengasuhan anak bisa juga dibilang yang sangat modern, tapi fokusnya di orang tua. Jadi, kita sebagai orang tua harus menjadi lebih sadar kalau sebenarnya dalam diri kita sendiri masih ada seorang "inner child” (kepribadian masa kecil) yang juga butuh pengasuhan terlebih dahulu. Kalau mungkin kita melihat dalam pola asuh tradisional orang tua sering sekali dianggap lebih tinggi, tapi kalau di pola asuh secara sadar kita justru anggap anak kita sebagai orang dengan posisi yang sama dengan kita," demikian penjelasan Marissa.

"Menurut saya, anak kita sebenarnya adalah guru terbaik untuk hal kasih sayang, empati, rasa penasaran dan juga pentingnya sebuah kehadiran," tutur perempuan yang bermukim di Singapura, namun sering bolak-balik ke Jerman ini.

Arti kebahagiaan bagi anak

Menurut Marissa, banyak orang tua yang berjuang, agar anaknya menjadi bahagia dan sukses. Namun ada catatan untuk itu. "Kalau kita tanya orang tua, ‘kamu ingin apa buat anak kamu? Ya bahagia dan menjadi seorang yang sukses.' Tapi apa arti sebenarnya dari kebahagiaan dan kesuksesan ini? Mereka mewujudkan impian dari orang tua, itu definisi kebahagiaan versi orang tua. Padahal mereka saat masih balita, sudah sangat sadar dan selaras dengan kepribadian dan identitas mereka sendiri," ungkap Marissa.

"Kalau kita sebagai orang tua, kita sering mendorong anak kita untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya, dan itu justru membuat komunikasi dan koneksi antara orang tua dan anak menjadi terganggu. Kita sekarang bisa melihat, ada banyak sekali remaja yang sudah berjuang dengan depresi, dengan kecemasan, juga banyak masalah kesehatan lainnya," tambah Marissa.

Sumber dari penyakit mental pada anak muda, menurut Marissa bisa datang dari tekanan yang mereka dapatkan dari keluarga sendiri. Menjadi seseorang yang bukan dirinya. Dan karena mereka tidak bisa mengembangkan identitas asli diri mereka sendiri.