1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cina Mulai Arahkan Perkembangan Internasional

27 Juni 2011

Sejumlah harian internasional mengomentari peranan Cina yang di beberapa tahun terakhir menjadi semakin penting. Sorotan lain adalah proses pengadilan mantan pimpinan Khmer Merah di Kamboja.

https://p.dw.com/p/11kJm
Wen Jiabao dalam kunjungannya di Hungaria
Wen Jiabao dalam kunjungannya di HungariaFoto: picture-alliance/dpa

Membuka kunjungan Eropanya, PM Cina Wen Jiabao menandatangani sejumlah perjanjian investasi dengan pemerintahan Hungaria, termasuk untuk memperpanjang kredit sebanyak 1 juta Euro kepada negara tersebut. Janji-janji PM Cina Wen Jiabao terkait bidang ekonomi ini dikomentari harian Luxemburger Wort:

"Hungaria adalah sebuah ujian bagi Cina yang kuat secara finansial. Karena Beijing tahu pihaknya mempunyai tanggung jawab yang besar dalam berhadapan dengan Amerika Serikat, yang tidak mampu lagi mengontrol utang negaranya. Washington secara jeli mengamati solusi ala Hungaria ini."

Sementara itu koran kiri liberal Italia La Reppublica berkomentar mengenai dibebaskannya beberapa disiden Cina. Harian yang terbit di Roma ini menulis:

"Selama berabad-abad sampai sekarang pemerintah Cina selalu menunjukkan ketidakpedulian kalau Barat mengadukan tentang situasi HAM dan kebebasan berpendapat. Sekarang sepertinya ada sesuatu yang bergerak dalam keseimbangan sebuah politbiro yang misterius, yang akan diperbaharui total di tahun 2012. Dalam tiga tahun ketika dunia barat mengalami krisis ekonomi, dimensi Cina telah berubah. Dengan demikian satu-satunya negara komunis, yang sukses dan bisa bertahan di abad ke-20, mulai mengontrol perkembangan dan pertumbuhan di seluruh dunia diabad ini. Pemerintahan, pasaran dan bangsa-bangsa di dunia semua shok dengan bayangan, bahwa sebuah sistem otoriter dari Asia akan mengatur planet ini dalam bidang ekonomi – sebuah planet, yang setelah Perang Dunia ke-2 memilih sistem demokrasi."

Dibebaskannya seniman terkenal Ai Weiwei yang kritis terhadap pemerintah Cina juga dikomentari oleh harian Jerman Berliner Zeitung:

"Beberapa minggu terakhir kembali menunjukkan, bahwa bukanlah rekomendasi yang lunak, melainkan kata-kata yang jelas dan protes yang keras lah yang bisa mendesak Beijing untuk mengalah dalam kasus Ai Weiwei. Tetapi hal ini belum cukup untuk meyakinkan Barat, bahwa Cina adalah sebuah negara hukum, dimana rakyatnya dan juga investor asing dapat mengandalkan undang-undang."

Sementara itu, harian Katolik Perancis La Croix menanggapi proses pengadilan kedua terhadap bekas pimpinan rezim Khmer Merah. Harian yang terbit di Paris ini menulis:

Proses pengadilan terhadap mantan pemimpin Khmer Merah
Proses pengadilan terhadap mantan pemimpin Khmer MerahFoto: dapd

"Proses pengadilan ini mungkin akan membantu Kamboja untuk menyembuhkan lukanya. Sejarah telah menunjukkan, bahwa dalam kasus pembunuhan massal, orang-orang yang selamat biasanya cenderung untuk menekan ingatannya. Kadang 20 atau 30 tahun harus berlalu dan generasi baru harus tumbuh dahulu sampai mereka berkeinginan untuk menceritakan kisah-kisah menyedihkan mereka. Lalu akan timbul kesediaan untuk menjernihkan fakta dan membuat orang-orang yang terlibat bertanggung jawab. Selain harapan dari beberapa individu, sebuah masyarakat yang mempunyai luka dalam hanya dapat memandang kedepan, jika sudah berhasil memproses masa lalunya."

Tema yang sama juga dikomentari oleh harian Italia La Stampa. Koran liberal yang terbit di Turin ini menulis:

"Idealnya ini adalah momen dimana keadilan akhirnya berhasil ditegakkan, walaupun telat 30 tahun. Para mantan pemimpin Khmer Merah diajukan ke pengadilan untuk memberikan komentarnya mengenai kematian 1,7 juta warga Kamboja, yang dibunuh pada masa utopi kolektif gila, yang menyebabkan negara ini terpecah belah dari tahun 1975 sampai 1979. Proses pendakwaannya sudah mencoba menyamai proses pengadilan para penjahat perang pada zaman Nazi yang berlangsung di kota Nürnberg, Jerman. Tetapi proses pengadilan di Phnom Penh sekarang dimulai dengan suasana kecewa dan dendam, serta ditengah-tengah tudingan, bahwa ada tekanan politik dan ketakutan, bahwa proses ini tidak akan bisa membawa hasil. Dengan demikian luka-luka lama kembali terbuka, hanya agar sakitnya bertambah parah."

Anggatira Gollmer/dpa/afp
Editor: Hendra Pasuhuk