1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Chindo: Tren atau Label Baru Etnis Tionghoa?

17 Mei 2024

Viral lewat media sosial, “Chindo” menjadi sebutan baru bagi warga etnis Tionghoa di Indonesia.

https://p.dw.com/p/4fylX
Indonesien | Chindo Generation Z | Charlenne Kayla Rusli
Foto: Maulana Rizki Djaffar/DW

Viralitas penyebutan "Chindo” di media sosial menjelma menjadi sebuah panggilan sehari-hari bagi warga etnis Tionghoa di Indonesia saat ini. Tak hanya di dunia maya, sebutan ini juga dianggap jadi jembatan sosial antarwarga untuk berinteraksi dan menghapuskan prasangka. 

Perkembangan Istilah dan Viralitas Media Sosial

Istilah Chindo lahir dari tren di media sosial X (Twitter), ketika netizen mengomentari kemenangan salah satu peserta ajang Master Chef Indonesia season 11. Meski tidak ada di KBBI, Chindo merupakan sebuah akronim atau singkatan dari China-Indonesia yang merujuk kepada masyarakat Indonesia beretnis Tionghoa.

Dalam keseharian, penyebutan warga etnis Tionghoa di Indonesia mengalami sejumlah perubahan dari waktu ke waktu. Melansir kompas.com, di era Orde Baru khususnya pada tahun 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Edaran Presidium Ampera Kabinet Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967 yang menyebut warga keturunan Tiongkok dengan sebutan "Cina.”

Penyebutan ini kembali berubah dan istilah “keturunan Tionghoa” untuk mengganti penyebutan kata Cina mulai berkembang. Tak jarang, istilah adaptasi bahasa inggris Chinese Indo juga sempat berkembang ditengah masyarakat. Barulah pada akhir tahun 2023, viral sebutan Chindo dan digunakan secara luas saat ini, khususnya oleh generasi muda Chindo maupun diluar non-Chindo.

Chindo, Pemisahan Warga Etnis Tionghoa?

Meski menjadi tren, pengamat sosial Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, dalam wawancara kepada Deutsche Welle (DW)  mengatakan, pemisahan warga etnis Tionghoa di Indonesia yang berlangsung selama ratusan tahun sejak pendudukan Belanda, bukan berawal dari masyarakat melainkan sebuah desain yang sengaja di buat oleh rezim.

"Fenomena Chindo ini menarik karena merupakan satu proses baru yang dimulai ketika masa reformasi. Sejak pendudukan Belanda kemudian diteruskan  juga oleh pemerintahan rezim Orde Baru, dengan sengaja dan serius melakukan pemisahan saudara-saudara kita yang etnis Tionghoa, dengan etnis-etnis lain yang ada di Indonesia. Jadi ini semua by design pada saat itu, bukan masyarakat kita yang punya benih-benih perpecahan.”

Meski begitu, Devie tak menampik bahwa era reformasi, keterbukaan politik dan teknologi menjadi berkah yang perlu dirayakan karena mempermudah interaksi dan komunikasi antar warga sehingga menghilangkan sekat dan prasangka, khususnya dalam hal antar etnis dan memperkecil terjadinya gesekan yang dapat menimbulkan konflik. "Salah satu berkah yang perlu dirayakan untuk mengembalikan jati diri Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika, sekarang secara sempurna pelan-pelan bisa betul-betul diwujudkan lewat intervensi teknologi,” jelasnya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Chindo dan Generasi Z

Berkembang melalui media sosial, istilah Chindo secara cepat membaur di tengah generasi muda, khususnya para Generasi Z yang dikenal sangat dekat dengan dunia digital dan media sosial. Charlenne Kayla Rusli misalnya, Gen-Z Chindo asal Jakarta berusia 24 tahun, mengonfirmasi interaksi antar Chindo dan non-Chindo saat ini yang ia nilai sudah melebur. Meski ia tak memungkiri, cara pandang etnosentrik masih melekat di sebagian masyarakat. Charlenne menjelaskan, "Kalo sekarang better ya, jauh lebih baik daripada era Orba. Kami boleh pakai nama Tionghoa lagi, merayakan Imlek, di mall-mall juga banyak dekorasi. Tapi saya merasa masih ada teman-teman Tionghoa yang enggak punya temen non-Chindo sama sekali, maupun sebaliknya, mungkin karena batasan-batasan yang pernah dibangun dari Orba maupun dari sebelum Orba. 

Kepada DW, Charlenne juga bercerita soal pengalaman tak menyenangkan yang dialaminya. "Pernah lagi jalan sendiri dekat rumah, tiba-tiba ada motor lewat boncengan teriakin saya cingcong-cingcong, awalnya kaget aja tapi pas mikir di rumah, apakah ini tindakan rasisme terselubung itu?” 

Sementara itu, Veronica Anastasia, warga non-Chindo berusia 24 tahun asal Bandung, Jawa Barat, menilai istilah Chindo memang kerap digunakan kalangan Gen-Z saat ini, setidaknya di lingkungan pertemanannya. Memiliki lingkaran pertemanan bersama Chindo, Anastasia tidak menemukan adanya sekat dalam berinteraksi maupun bergaul.

Sekat justru terlihat dalam hal lain, salah satunya, asmara. "Kalau lagi ngobrol, banyak yang curhat soal sebenarnya interest-nya sama non-Chindo, cuma karena kebanyakan teman-temanku pegang budaya banget, jadi gak bisa, terutama bagi mereka yang totok, mereka masih sangat berpegang dan patuh kepada budaya. Kalau berinteraksi dalam lingkaran pertemanan, biasa aja sih,” tutur Anastasia.

Mengingat Kerusuhan Mei 1998, Menghormati Reformasi

26 tahun setelah reformasi, tak sedikit kejadian di bulan Mei 1998 masih menjadi misteri. Kerusuhan, penjarahan, pemerkosaan massal, hingga penembakan, menjadi catatan hitam dan penting bagi perjalanan sejarah Indonesia dalam proses transisi menuju demokrasi, yang salah satunya menargetkan komunitas warga etnis Tionghoa.

Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 13-15 Mei menjelaskan, sebagian besar kasus kekerasan seksual saat itu menargetkan perempuan etnis Tionghoa. TGPF juga menyebut, jumlah total korban pemerkosaan dan pelecehan seksual massal yang berani melapor hingga 3 Juli 1998, sebanyak 168 orang. Hingga saat ini aksi protes damai Kamisan yang telah berjalan lebih dari 17 tahun di depan Istana Presiden, konsisten mengingatkan adanya luka masa lalu yang belum sembuh hingga saat ini. 

Menanggapi soal perisitwa kerusuhan 1998, Devie Rahmawati menuturkan pentingnya mengingat sejarah bagi generasi muda. "Dalam konteks berbangsa kita perlu mengingatkan generasi baru ada noktah hitam catatan gelap yang pernah terjadi di masa lalu, perlu diceritakan bukan dalam konteks membangkitkan hal negatif tapi mengingatkan ini tidak boleh terjadi lagi. Kita harus hidup untuk masa datang dengan tantangan kemanusiaan yang lebih besar dan tidak lagi seputar urusan gesekan etnis”, tutur Devie.

Sementara itu, harapan adanya langkah konkret pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan HAM berat masa lalu, disuarakan Charlenne yang juga mengikuti aksi Kamisan untuk pertama kalinya. "Saya harap pemerintah melanjutkan, tidak hanya mengakui adanya kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tapi ada langkah berikutnya. Mungkin meminta maaf atau langkah rekonsiliasi, upaya-upaya untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut agar semua pihak bisa betul-betul berdamai, dan tidak ada lagi penyangkalan.”

Iryanda Mardanuz
Iryanda Mardanuz Junior Correspondent, Deutsche Welle Asia Pacific Bureau / Reporter, Deutsche Welle Indonesia