1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

China: Banyak Anak, Banyak Denda

Ayu Purwaningsih25 Mei 2007

Setelah kerusuhan yang menimpa Provinsi Guangxi China baru-baru ini, pemerintah daerah setempat mengendurkan sedikit kebijakan pembatasan cukup satu anak, yang diprotes warganya.

https://p.dw.com/p/CPV5
Foto: picture-alliance/ ZB

Pekan lalu warga provinsi itu mengamuk memprotes kebijakan pembatasan kepemilikan anak yang diterapkan oleh negara tersebut. Selain mengendurkan sedikit kebijakan, pemerintahan kotapraja juga mengembalikan barang-barang yang mereka sita dari warga.

Akhir pekan ini, masyarakat di bagian selatan China mendesak pemerintah mengubah kampanye pemaksaan pembatasan anak. Desakan itu merupakan buntut kerusuhan baru-baru ini terjadi di Provinsi Guangxi. Masyarakat mengamuk, memprotes kebijakan kontroversial itu. Kantor-kantor pemerintahan dan fasilitas umum, dibakar dan dirusak.

Bagi warga yang tidak menantaati kebijakan tersebut, maka hukuman denda menanti mereka. Hal inilah yang memicu naik pitamnya warga, karena bila tidak mampu membayar denda, maka aparat keluarga berencana mendatangi rumah mereka dan menyita paksa barang-barang yang mereka miliki.

Banyak anak, banyak rezeki. Tampaknya pemerintah China tidak setuju dengan pepatah itu. Kebijakan pembatasan cukup satu anak berlaku sejak tahun 1970-an. Pemerintah China mengambil kebijakan itu untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, yang kini jumlahnya mencapai 1,3 milyar jiwa. Warga kota dibatasi hanya boleh punya satu orang anak saja. Sedangkan warga desa diperkenankan punya dua anak, bila anak pertama mereka perempuan. Kebijakan itu akhirnya menjadi bom waktu, yang dapat meledak setiap saat. Ketua Yayasan Pusat Studi China Rene Patirajawane mengungkapkan globalisasi dan modernisasi di negara berpenduduk terbanyak di dunia itu, berpengaruh pada munculnya protes warga.

„Yang mereka cari dari penguasa sekarang apa sih ynag dilarang. Mereka berpikir dnegan cara berbeda, menjadi tidak lazim bila dilihta sebelum konteks 20 tahun lalu. Sekarang mengkritik partai secara terbuka menajdi tuntutan. Pada saat itu terjadi, benturan tidak bisa dihindarkan. Kini bagaimana supaya aspirasi rakyat bisa diakomodir.“

Rene menambahkan sebenarnya protes warga sudah sering pula terjadi sebelumnya, misalnya di Provinsi Szechuan, beberapa waktu lalu. Hanya saja dulu kebjiakannya sedikit lebih kendur. Keluarga yang memiliki lebih dari satu orang, harus melepaskan salah satu anaknya untuk bekerja. Misalnya menjadi petani di desa lain, bila anak itu sudah berusia 17 tahun, sedangkan yang satu lagi masih boleh tinggal di rumah seperti anak-anak biasa. Di situs migration audio service, Shi Ming, seorang wartawan China menceritakan masa kecilnya dulu. Keluarganya mendapat tawaran agar salah satu dari anaknya belajar bahasa di kota. Akhirnya orang tuanya memilih agar yang lelaki yang pergi ke kota, sedangkan kakak perempuannya tinggal di rumah. Buat Shi Ming peluang itu berarti ményelamatkan kehidupan karena tidak harus dipindahkan ke desa lain, tapi mendapat kesempatan untuk memiliki masa depan

„Mereka harus memilih di antara dua orang anaknya. Oleh karena itu, buat keluarga saya peristiwa penerimaan saya di sekolah itu merupakan drama besar.waktu itu. Sebagai anak umur 17 tahun saya mengerti sekali apa makna peristiwa ini. Tidak ada hubungannya dengan belajar bahasa asing, melainkan sebuah cara untuk menyelamatkan saya.“

Meledaknya jumlah penduduk menjadi persoalan serius bagi negara tirai bambu itu. Ketua Yayasan Pusat Studi China Rene Patirajawane mengkritik media yang banyak menekan pemerintahan China dengan kebijakan tersebut. Padahal menekan laju pertumbuhan penduduk yang menacapai lebih dari 1,3 milyar jiwa, sangat sulit :

"Tidak ada solusi untuk menekan jumlah penduduk yang sudah 1,3 milyar jiwa.”