1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cegah Perang Saudara di Pantai Gading

27 Desember 2010

Situasi di Pantai Gading makin genting. Perlu reaksi dari komunitas internasional untuk mencegah perang saudara.

https://p.dw.com/p/zqLq
Laurent Gbagbo ingin bertahan sebagai presiden Pantai Gading setelah kalah pemiluFoto: AP

Harian die tageszeitung yang terbit di Berlin menilai situasi di Pantai Gading mengkhawatirkan:

"Sepertinya harus ada perang sipil terlebih dahulu baru akan ada aksi militer dari dunia internasional dengan dalih perdamaian. Perlu adanya intervensi militer yang cepat dan tepat dari dunia internasional untuk memaksakan demokrasi yang diinginkan warga Pantai gading yang terhambat oleh seorang diktator. Tapi tentu saja tidak bisa segampang itu terlaksana. Lagi-lagi kebebasan warga Pantai Gading yang telah dibayar dengan nyawa yang harus tertunda."

Harian konservatif Prancis Le Figaro menurunkan komentar berjudul "Perebutan Kekuasaan di Pantai Gading":

"Presiden yang kalah dalam pemilu, Laurent Gbagbo, tak memiliki pillihan selain mengulur waktu dengan harapan Presiden terpilih yang mendapat dukungan internasional akhirnya terpaksa berkompromi. Sanksi isolasi finansial dari Uni Eropa dan organisasi-organisasi internasional hingga kini tidak berpengaruh banyak. Begitu juga dengan proses hukum internasional. Meski tidak berdampak besar terhadap Gbagbo, ancaman hukuman dapat mengecilkan hati pendukungnya dari kalangan militer dan pejabat pemerintah. Atau terhadap Istri Gbagbo, Simone, yang telah menyerukan konfrontrasi. Seharusnya keduanya berkaca kepada Ferdinand dan Imelda Marcos dari Filipina, yang digulingkan pasca pemilu tahun 1986 dan diusir ke pengasingan."

Masih dari Prancis, harian La Presse de la Manche menulis:

"Gbagbo menunjukkan karakter aslinya saat mengatakan 'Jika ia dipaksa turun dari kursi presiden, maka akan pecah perang sipil.' Gbagbo siap mengirim rakyatnya ke perang sipil dan menggunakannya sebagai ancaman untuk mempertahankan kekuasaan. Ini sungguh menyedihkan. Namun jika situasinya seperti ini terus, tentu akan pecah juga perang sipil. Bagi Afrika, pilihannya hanya bersatu. Meski itu berarti menggunakan kekerasan."

Harian Jerman Handelsblatt mengkritik kebijakan Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orbán:

"Restrukturisasi pemerintahan Hungaria telah berlangsung berbulan-bulan. Undang-undang Media yang akan berlaku di Hungaria menjadi bagian yang paling nyata selain perombakan Pengadilan Konstitusi, universitas, bank nasional, dan bahkan gedung teater. Semuanya dirombak sesuai dengan keinginan pemerintah yang berkuasa. Tidak boleh ada kritik sekecil apapun. Ini bertentangan dengan demokrasi. Orbán memang mendapat dukungan kubunya yang menduduki dua pertiga kursi di parlemen, tapi gagal menjalankan politik dengan penuh tanggung jawab."

Harian Austria Kurier yang terbit di Wina berkomentar:

"Undang-undang baru untuk media di Hungaria mengancam demokrasi. Uni Eropa harus lebih menekan Viktor Orbán. Meski tak heran kalau kritik yang datang tak digubris oleh Perdana Menteri tersebut. Pemerintah Hungaria ingin membungkam media. Terdengar menggelikan di zaman internet seperti sekarang. Namun kebebasan di dunia maya juga yang menjadi alasan pemerintah Hungaria ingin menguasai media. Silvio Berlusconi telah lama memonopoli televisi di Italia, hingga program-program swasta di televisi negara RAI tidak ada bunyinya. Presiden Prancis Nicolas Sarkozy berkelakuan layaknya direktur televisi. Dan di televisi Jerman ZDF, tahun ini seorang redaktur senior keluar karena tekanan dari Berlin."

Carissa Paramita/dpa/afp
Editor: Hendra Pasuhuk