‘Cebong’ dan Label Politik Olok-olokan
27 Juni 2018Belum lama, seorang teman perempuan bercerita kepada saya sambil menggerutu. Dirinya baru saja menguji peruntungan romansanya dengan mendaftarkan diri di sebuah aplikasi kencan. Tak lama ia merasa menemukan seseorang yang cocok, dan bertemulah mereka. Pertemuan itu, katanya, awalnya berjalan menyenangkan, kalau tidak mau dibilang cukup romantis. Obrolan remeh-temeh untuk mengenal diri masing-masing mengalir lancar, sampai akhirnya berakhir ke topik yang bahkan bisa mencederai kemesraan pasangan yang paling serasipun: POLITIK.
Ceritanya, si teman mengemukakan opini mengenai kepemimpinan Jokowi yang dirasanya cukup berhasil. Lagipula, membahas soal presiden adalah topik obrolan yang populer bagi anak-anak muda zaman sekarang, terlebih citra kemudaan Jokowicukup kentara. Namun, si lelaki malah menimpali opininya dengan sinis, "Jadi, kamu ‘cebong' dong?”, ucapnya. Si teman mengernyitkan dahi. Pertama, dia tidak memahami maksud perkataan ‘cebong' tersebut. Kedua, kata tersebut terdengar seperti sebuah olok-olokan.
Entah bagaimana kelanjutan cerita pertemuan mereka berdua malam itu, namun si teman tersinggung. Akhirnya ia kukuh memutus kontak dengan lelaki tersebut, dan agaknya akan lebih berhati-hati menemui laki-laki lain kemudian hari, apalagi jika ia terlihat memiliki fanatisme politik yang berlebihan.
Memang di masa-masa menjelang Pemilihan Presiden 2019, preferensi politik bisa menjadi pelekat atau pemisah orang-orang. Namun, istilah ‘cebong' ini, merujuk pada Jokowi dan pendukungnya, menarik untuk diamati. Terlebih ketika istilah tersebut kerap muncul dengan begitu intens dalam berbagai narasi politik kontemporer. ‘Cebong' memang bernada olok-olokan, namun melihat sejarah, saya melihat potensinya untuk menjadi identitas politik yang mumpuni, jika toh memang ada yang mau mengusahakannya.
Bagaimana hal tersebut membentuk dinamika politik Indonesia kontemporer, serta sejauh mana ia mempengaruhi opini publik, seperti dalam kisah teman saya tersebut?
Baca juga:
Demokrasi, Korupsi dan Korupsi Demokrasi?
Survei Pilpres Kompas: Jokowi Unggul, Prabowo Turun
Dari Olok-olok ke Identitas Politik
Kata ‘cebong' sebenarnya adalah kependekan dari kecebong. Menurut KBBI artinya adalah "larva dari binatang amfibi, (katak dan sebagainya) yang hidup di air dan bernafas dengan insang serta berekor”. Istilah ‘cebong' menjadi populer, khususnya di media sosial, setidaknya sejak awal 2016, merujuk kepada presiden Jokowi yang diberitakan gemar memelihara kecebong. Anaknya, Kaesang, pernah mengiyakan hal tersebut dalam sebuah wawancara. Jokowibahkan dikatakannya sempat memiliki kolam khusus kecebong di kantornya di Istana Bogor.
Perlahan, kata ‘cebong' ini menjadi sebutan olok-olokan bagi para pembenci Jokowi, terlebih ketika tensi politik memanas di tahun 2017 dan 2018. Agaknya, kecebong yang kecil dan lemah tersebut mereka anggap menggambarkan perawakan dan watak Jokowi. Label tersebut pun ikut tersematkan kepada para pendukungnya dan nyaris selalu disinggung oleh kelompok oposan Jokowi dengan konteks olok-olokan atau nyinyir.
Pelekatan label ‘cebong', yang terkadang sembarangan itu biasanya terjadi dalam situasi-situasi seperti ini: Anda pendukung Jokowi? Maka Anda ‘cebong'. Anda memberi ekspresi positif kepada pemerintah? cebong. Anda menolak pergantian presiden pada 2019? cebong. Varian penyebutannya juga bermacam-macam. Selain ‘cebong', ada yang berupa bahasa Inggris, ‘cebongers', atau sekedar ‘bong', sebagaimana filsuf dan pemuka dunia maya, Rocky Gerung, kerap menggunakannya dalam cuitan-cuitannya di Twitter.
Melabeli preferensi politik dengan istilah olok-olokan semacam ini bukanlah hal baru. Melihat sejarah, kelompok yang disinggung bahkan mengadopsinya sebagai identitas. Misalnya dalam politik Inggris dan sejarah demokrasi parlementernya yang merentang panjang dikenal adanya istilah ‘Tory' dan ‘Whigs'.
Kedua istilah tersebut lahir dari krisis politik sepanjang tahun 1679-1681. Polemik bermula kala adik Raja Inggris Charles II, James, diketahui berpindah agama ke Katolik Roma. Hal ini menjadi masalah karena James adalah pewaris tahta Inggris (yang menarik legitimasinya dari gereja Anglikan) selanjutnya apabila Charles II mangkat. Hal tersebut menjadi perdebatan di parlemen sampai akhirnya keluar petisi, Exclusion Bill, yang menuntut dihapuskannya nama James dalam daftar pewaris tahta.
Petisi tersebut memecah parlemen ke dalam dua faksi, ‘Tory' dan ‘Whigs'. ‘Tory' berasal dari bahasa Irlandia yang artinya bandit atau perampok, disematkan kepada anggota parlemen yang menolak petisi. Akarnya dari nama kelompok pemberontak Katolik Irlandia yang mendukung monarki ketika seorang diktator Puritan, Oliver Cromwell, merebut tahta beberapa dekade sebelumnya. Sedangkan ‘Whigs' adalah faksi yang mendukung petisi tersebut. Istilahnya berasal dari bahasa Gaelik Skotlandia yang artinya pencuri kuda atau ternak (stereotipnya orang-orang reformis anti-Katolik).
Entah siapa yang memulai, kedua istilah tersebut kerap muncul dengan watak olok-olokannya yang kental sampai baik ‘Tory' maupun ‘Whigs' berubah menjadi partai politik di abad setelahnya. Istilah ‘Whigs' kemudian ditinggalkan pada pertengahan abad ke-19 ketika orang-orangnya terpecah. Sedangkan ‘Tory' bertahan sampai masa modern dan bertransformasi menjadi sebutan bagi politisi atau pendukung Partai Konservatif. Bahkan, banyak orang yang bangga menyebut dirinya ‘Tory' atau ‘Tories' walau akarnya menghina, mengingat populernya partai tersebut dalam beberapa pemilihan umum terakhir di Inggris.
Jika sekedar membandingkan akar olok-olokannya, istilah ‘cebong' tentu dapat disandingkan dengan ‘Tory' dan ‘Whigs'. Namun, ‘cebong' belum menjadi label politik sepenuhnya. Jokowi belum mengindahkan, dan pendukungnya belum berhasrat mengadopsinya sebagai identitas, walau tokoh-tokoh oposan utama seperti Amien Rais sudah berkali-kali melontarkan kata ‘cebong' dalam beberapa pidatonya untuk menyerang kubu Jokowisecara kolektif.
Meskipun begitu, saya memperhatikan label ‘cebong' tersebut mulai diakui (kadang dengan bangga) oleh pendukung-pendukung Jokowi di Twitter secara perseorangan (seperti si teman tersebut). Sebabnya, karena menjelang 2019 semakin banyak hasil-hasil kerja pembangunan pemerintahan Jokowi yang rampung, ditambah serangkaian skenario-skenario pencitraan membumi yang menggugah tentunya.
Politik yang Mengena Perasaan
Pun jika ‘Cebong' menjadi gerakan politik yang berpusat murni pada Jokowi, saya bisa mengira-ngira kemungkinan corak politiknya. Pertama, alirannya sayap tengah. Kedua, mentalitas politiknya menjunjung kemudaan dan pembaharuan. Ketiga, Jokowi melahirkan trah baru yang tidak terikat dengan nostalgia terhadap pemimpin-pemimpin masa lalu (seperti PDI-P dengan Sukarno), organisasi-organisasi masyarakat (PAN-Muhammadiyah, PKB-NU), atau terkoneksi dengan elit-elit Orde Baru (Prabowo-Gerindra, Wiranto-Hanura).
Hanya saja, penjabaran di atas masih sebuah proyeksi liar yang terinspirasi dari pengamatan sejarah, atau, mengutip hal yang kerap diributkan belakangan ini, masih fiksi karena imajinatif. Menarik ditunggu apakah Jokowi berkenan menginsitusikan warisan politiknya dan mempolitisasi istilah ‘cebong' sebagaimana ‘Tory' dan ‘Whigs' setelah ia menuntaskan masa jabatannya kelak. Jika memang terjadi, tentu akan menjadi fenomena baru dalam dinamika politik Indonesia.
Menjelang pesta demokrasi 2019, atmosfer politik yang kian memanas rasanya akan melahirkan semakin banyak kosakata olok-olokan baru. Melatih akal sehat dan hati yang tak mudah terbawa perasaan, serta manajemen emosi, agaknya sudah harus menjadi persiapan standar bagi Anda yang ingin mulai berkecimpung dalam perdebatan-perdebatan politik, khususnya di dunia maya. Jika Anda diolok-olok dengan kata-kata ‘Cebong', ‘Onta', ‘Kuda', ‘Kecoa', dan kata-kata hewani lain yang bernada tak mengenakkan; santai saja dan tertawakanlah.*
Penulis: Rahadian Rundjan (ap/vlz)
Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
@RahadianRundjan
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis