1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Calo, Percaloan, dan Birokrasi

Zaky Yamani
Zaky Yamani
22 Juni 2019

Apa yang ada di dalam benak kita saat mendengar istilah “calo”? Adakah di antara Anda yang sama sekali tidak pernah berurusan dengan calo?

https://p.dw.com/p/3KiVW
Hände übergeben Euros
Foto: picture-alliance/U.Baumgarten

Saya yakin, kita memiliki sentimen yang negatif terhadap istilah calo. Kenapa sentimen negatif itu muncul? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), calo diartikan sebagai orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah; perantara; makelar.

Sinonim kata calo adalah makelar, yang di dalam KBBI didefinisikan lebih rinci lagi, yaitu perantara perdagangan (antara pembeli dan penjual); orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli; orang atau badan hukum yang berjual beli sekuritas atau barang untuk orang lain atas dasar komisi.

Munculnya perantara atau makelar disebabkan oleh situasi yang sulit "ditembus”. Dalam bidang bisnis, situasi yang sulit ditembus adalah hal yang wajar. Misalnya, saat seseorang ingin menjual sesuatu dan dia memiliki keterbatasan akses ke pasar, perantara atau calo bisa menjual jasanya untuk membantunya menembus pasar.

Penulis: Zaky Yamani
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Sebaliknya, dalam pelayanan publik, situasi yang sulit ditembus adalah tidak wajar. Karena pelayanan publik harus mudah diakses oleh siapa pun, tanpa memandang status atau identitas personalnya.

Dalam bidang bisnis, percaloan bahkan menjadi bagian dari bisnis itu sendiri. Selalu dibutuhkan orang-orang yang bisa jadi perantara, baik untuk penjualan maupun pembelian.

Misalnya, dulu seorang calon penumpang kereta api yang tidak ingin repot-repot antre di loket tiket dan mendapatkan tempat duduk yang diinginkan, bisa menggunakan jasa calo tiket di stasiun. Namun, percaloan dalam bentuk yang sangat sederhana itu kemudian berkembang menjadi mafia tiket, di mana para calo melalui koneksinya di dalam bagian penjualan tiket perusahaan kereta api, bisa memborong tiket dan menjualnya kembali ke calon penumpang dengan harga seenaknya.

Situasi itu tentu merugikan calon penumpang. Bukan karena calonya, tapi karena aktivitas mafianya, yang membuat calon penumpang "diperas” uangnya. Merespons situasi itu, muncul tuntutan akan aktivitas percaloan yang "transparan dan akuntabel”, di mana penumpang tetap bisa mendapatkan kemudahan mendapatkan tiket tanpa antre, tapi tanpa risiko diperas dengan harga yang tinggi. Tuntutan itu bisa dipenuhi dengan sangat ideal oleh perubahan manajemen perusahaan kereta api, dan dilepasnya penjualan tiket kepada para calo yang modern dan terlembaga: perusahaan penjual tiket online.

Perusahaan penjual tiket online, secara prinsip adalah perusahaan calo, namun semuanya dilakukan transparan dan akuntabel: tanpa harus pergi ke stasiun kereta, calon penumpang bisa melihat sendiri ketersediaan kursi, memesannya sendiri melalui platform online, dan melakukan pembayaran sendiri dengan harga yang sama dengan harga resmi tiket itu. Tidak ada pemborongan tiket oleh calo individual, dan jelas tidak ada pemerasan di sana. Percaloan tidak dihilangkan, tapi ditempatkan pada definisi yang ideal.

Percaloan jadi masalah besar—dan harus dihilangkan sampai ke akar-akarnya—jika menyangkut pelayanan publik. Misalnya dalam pembuatan SIM kendaraan bermotor. Dulu, untuk membuat SIM warga tinggal datang ke kantor polisi, dan jika ingin mendapat SIM dengan cara yang mudah dan nyaman, langsung saja berhubungan dengan para calo individual yang mangkal di lokasi pembuatan SIM. Atau lebih ekstrem lagi, tak perlu datang ke kantor polisi, cukup datang ke biro jasa pembuatan SIM, dan datang ke kantor polisi hanya saat akan difoto dan mengambil SIM-nya. Warga memang membayar lebih mahal, tapi proses pengurusan lebih mudah dan nyaman. Semua pun senang: warga mudah dan nyaman mendapatkan SIM, calo mendapatkan penghasilan, dan aparat kepolisian mendapatkan setoran dari para calo.

Apa akibatnya dari percaloan dalam hal pelayanan publik seperti itu?

Warga yang tidak tahu aturan menggunakan kendaraan dan berlalu-lintas pun bisa mendapatkan SIM. Hasil dari ketidakberesan itu bisa kita lihat sampai hari ini: ribuan—mungkin juga jutaan—pengendara kendaraan bermotor yang sikapnya di jalan ugal-ugalan dan sangat membahayakan orang lain. Situasi itu, menurut saya, adalah hasil nyata dari perbuatan korupsi yang sistematis selama berpuluh tahun.

Lalu, entah karena tuntutan publik atau karena polisi merasa jengah sendiri, pembuatan SIM tidak lagi boleh menggunakan jasa calo individual atau biro jasa. Siapa pun yang ingin mendapatkan SIM harus mengikuti prosedur: mendaftar sendiri, mengikuti ujian, dan belum tentu lulus. Itu terdengar seperti kabar bagus, tapi ternyata tidak.

Dari pengamatan saya terhadap salah satu fasilitas layanan SIM di sebuah kota besar, ternyata tetap ada percaloan dengan aroma mafia di sana. Warga yang mengikuti prosedur pembuatan SIM, hampir dipastikan tidak akan lulus. Ujiannya sangat sulit, terutama dalam ujian praktik menggunakan kendaraan. Alat praktiknya pun bukan kendaraan yang cukup "sehat” untuk digunakan. Semua itu membuat siapa pun yang pernah mengikuti ujian mendapatkan SIM pasti curiga ada skenario yang sengaja dibuat untuk membuat semua pendaftar tidak lulus ujian.

Lalu bagaimana agar bisa lulus ujian SIM dengan mudah? Yang harus dilakukan oleh warga adalah mengobrol dengan sesama peserta ujian. Informasi akan mudah didapatkan tentang kepada siapa kita harus berhubungan atau ke lembaga kursus mengemudi mana kita harus datang. Situasinya benar-benar mirip dengan masa Orde Baru, yaitu ada sebuah "rahasia umum”, sebuah rahasia yang diketahui banyak orang, disebarkan dari mulut ke mulut, dan ada rasa takut yang disisipkan agar semua yang sudah mengetahui rahasia itu tidak membicarakannya secara terbuka kepada publik.

Begitu juga dalam pelayanan publik yang lain, misalnya untuk mendapatkan izin usaha, izin mendirikan bangunan, dan lain-lain. Dulu para calo individual bisa mendapatkan penghasilan dalam ikut mengurus izin yang diminta konsumennya. Sekarang banyak pemerintah daerah sudah memberlakukan sistem izin satu pintu. Tapi itu pun tidak berarti percaloan dalam pelayanan publik hilang sama sekali.

Seperti juga dalam pengurusan SIM, ada hal-hal yang sengaja dibuat sulit oleh oknum aparatnya, agar pintu percaloan terbuka kembali. Kita tahu, percaloan dalam pelayanan publik dimunculkan bukan demi keuntungan para calo partikelir. Percaloan dalam pelayanan publik dimunculkan justru demi keuntungan para aparatnya yang bermental calo: berstatus pelayan publik tapi ingin mendapatkan keuntungan dengan memeras publik.

Misalnya, di sebuah kabupaten, seseorang yang akan mengurus izin membuka restoran datang ke dinas terkait. Petugas loket, tanpa memeriksa satu pun dokumennya, langsung mengatakan, "Pulang lagi saja, Anda tidak akan diberi izin.” Sikap petugas loket itu jelas tidak sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Dia tidak berwenang memutuskan, apakah sebuah izin akan diberikan atau tidak. Sikap itu pada dasarnya adalah sebuah tanda rahasia dari pernyataan, "Kalau mau mendapat izin, jangan diurus di sini.”

Dan memang benar, orang yang ditolak oleh petugas loket itu secara intuitif akan mencari informasi, kepada siapa dia harus mengurus izin. Ketika akhirnya dia bisa menghubungi aparat yang katanya bisa mengurus izin usahanya, muncul biaya pengurusan sebesar hampir Rp1 miliar. Biayanya setinggi itu dengan alasan lokasi yang akan dijadikan restoran itu katanya daerah terlarang.

Di kalimat terakhir itu kita bisa melihat, dalam percaloan di pelayanan publik, bukan saja pelayanan publik biasa yang jadi jualan para calo di birokrasi, tapi juga hal luar biasa seperti mendapatkan izin usaha di tempat terlarang. Juga sangat mungkin terjadi, lokasi usahanya bukan tempat terlarang, tapi disebutkan sebagai tempat terlarang, agar biaya pengurusan yang tinggi jadi masuk akal.

Kenapa percaloan dalam pelayanan publik masih terjadi? Tentu saja persoalan pertamanya adalah uang. Ketika percaloan dihapuskan, banyak orang kehilangan penghasilan—baik para calo partikelir maupun aparat yang terlibat dalam jaringan percaloan. Untuk mendapatkan kembali uang dari percaloan itu, harus dibangun sistem baru yang rahasia, tidak melibatkan banyak orang, tidak terkesan memeras, dan jika dihitung, biaya yang dibayarkan melalui percaloan akan lebih murah dibandingkan biaya pengurusan resmi yang dilakukan berkali-kali dan belum tentu selesai.

Percaloan di pelayanan publik akan selalu muncul ketika pelayanan publik tidak mudah, tidak efektif, tidak transparan, dan tidak efisien. Dengan situasi seperti itu, siapa pun yang ingin mendapatkan pelayanan publik harus membayar mahal, bukan dari nilai uangnya saja, tapi dari banyak hal lain, seperti waktu produktif yang tersita cukup lama dan energi untuk menahan emosi ketika melihat proses pelayanan publik yang tidak efektif dan efisien. Pelayanan publik yang buruk pasti akan mengarahkan semua orang untuk berpikir lebih baik menggunakan jasa calo, walau membayar lebih mahal.

Revolusi pelayanan publik

Pertanyaannya, mana yang lebih dulu, apakah pelayanan publik yang buruk baru kemudian muncul percaloan, atau muncul kelompok calo dulu baru kemudian mereka mempersulit pelayanan publik untuk mendapat klien?

Dua-duanya sangat mungkin, dan itu kenapa sampai sekarang Indonesia belum terbebas dari percaloan dan pemerasan aparat pelayan publik. Menurut saya, sebabnya karena Indonesia tidak pernah berani melakukan revolusi dalam pelayanan publik. Aparat-aparat hasil didikan masa lalu, dengan mentalitas pemeras, dan terbiasa mendapatkan "uang yang mudah” masih ada terlalu banyak di dalam birokrasi kita, bahkan banyak yang memegang jabatan-jabatan penting. Prinsip birokrat yang terkenal di masa Orde Baru, "kalau bisa dibuat sulit, kenapa harus dibuat mudah?” juga masih berlaku sampai sekaran. Untuk mendapatkan uang yang mudah, maka pelayanan harus dibuat sulit dan rumit.

Siapa pun yang pernah mengamati pemerintahan, pasti tahu ada persoalan besar di dalam kultur dan tradisi birokrat. Saya ingat, bertahun-tahun lalu, seorang yang saya kenal mengatakan niatnya untuk mencalonkan diri jadi kepala daerah. Saya ingat betul apa yang saya katakan kepada dia, "Hal terberat yang akan Anda hadapi kalau Anda menang adalah birokrat. Di dalam pemerintahan kita, para birokrat sudah membangun sistem rahasia sendiri, dan kemungkinan besar Anda akan terisap ke dalam sistem gelap itu.” Kemudian dia menang jadi kepala daerah. Bahkan sekarang jadi kepala daerah di level pemerintahan yang lebih tinggi. Sementara itu, pelayanan publik di wilayahnya masih begitu-begitu saja.

Begitu pun ketika Presiden Joko Widodo di masa awal pemerintahannya menggulirkan istilah "revolusi mental”. Jargon itu memberikan harapan, setidaknya bagi saya, karena saya pikir jargon itu akan diterjemahkan ke dalam banyak aspek, mulai dari pendidikan sampai pengawasan. Namun yang terjadi, jargon itu muncul di banyak spanduk di kantor-kantor pelayanan publik. Lucunya, spanduk-spanduk itu bukan ditujukan kepada diri sendiri sebagai pengingat, tapi diarahkan ke jalan raya—ke arah pada publik—untuk pamer. Apakah "revolusi mental” di kalangan birokrasi berhasil? Tidak akan berhasil kalau para birokratnya masih lahir dari sistem yang sama.

Penulis:

Zaky Yamani

Jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.