1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bundesliga Kurang Kontinuitas dan Konsep

14 Februari 2012

Melepas Michael Skibbe setelah 52 hari dan 5 laga tanpa kemenangan bisa menjadi langkah yang harus ditempuh Hertha Berlin. Namun juga menunjukkan masalah yang lebih mendalam di Bundesliga.

https://p.dw.com/p/14394
Mantan pelatih Hertha Berlin, Michael Skibbe
Mantan pelatih Hertha Berlin, Michael SkibbeFoto: picture-alliance/dpa

Michael Skibbe saat menerima kerjaan melatih Hertha Berlin berkata kepada wartawan keputusannya untuk kembali ke Jerman merupakan keputusan mudah setelah melatih selama hanya 6 bulan untuk klub Turki, Eskisehirspor.

Skibbe mengungkapkan masalah keuangan Eskisehir, pemilik klub yang kerap ikut campur, ataupun manajemen yang berantakan. Mantan pelatih Leverkusen dan Eintracht Frankfurt tersebut tampak lega membiarkan Hertha memutus kontraknya di Turki. Direktur olahraga Hertha, Michael Preetz, menawarkannya kontrak untuk dua setengah tahun. Ternyata Skibbe hanya bertahan kurang dari 2 bulan di Berlin sebelum akhirnya dipecat.

Kisah seperti ini mulai biasa terdengar di Hertha. Kurang dari 3 tahun lalu, klub ini nyaris merebut titel juara Bundesliga. Sejak itu, hanya kekacauan yang terjadi.

Preetz mengambil alih jabatan direktur olahraga Hertha pada musim panas tahun 2009, dan sejak itu ia telah memecat 4 pelatih. Tiga diantaranya di pertengahan musim akibat konflik pribadi, dan yang keempat di akhir musim setelah klub terelegasi.

Direktur olahraga Hertha Michael Preetz (kanan) dan Michael Skibbe saat konferensi pers Desember 2011
Direktur olahraga Hertha Michael Preetz (kanan) dan Michael Skibbe saat konferensi pers Desember 2011Foto: dapd

Gelengan kepala

Para reporter olahraga langsung membandingkan drama di Hertha dengan opera sabun. Sekitar 200 fans klub muncul saat latihan pagi untuk mengkonfrontasi para pemain mengenai kekalahan 5-0 atas Stuttgart. Kejadian ini saja sudah layak ditayangkan televisi. Di tengah atmosfer konflik seperti inilah semua orang mengetahui bahwa Skibbe telah dipecat. Michael Preetz kemudian mengakui kesalahannya menarik Skibbe di hadapan wartawan.

Majalah Jerman Der Spiegel membandingkan pemecatan Skibbe secara tergesa-gesa dengan keputusan Hannover 96 untuk bertahan dengan Mirko Slomka di tahun 2010. Slomka kalah dalam 6 laga pertamanya sebelum mengantar Hannover selamat dari relegasi, kemudian masuk kualifikasi Liga Eropa tahun berikutnya.

Harian Berlin Tagesspiegel mengangkat rangkaian kegagalan manajemen klub dan meratapi Hertha yang dianggap tidak mewakili Berlin yang terkenal dengan atmosfer terbuka, mengundang, penuh fantasi dan eksperimen. Hertha juga dinilai jauh dari faktor penentu dalam olahraga, yakni sukses.

Reaksi yang paling mengena datang dari Mönchengladbach, saat pelatih Borussia Lucien Favre ditanya mengenai pemecatan Skibbe. "Semuanya bisa bergerak dengan cepat. Saya selalu berkata, sepakbola Jerman kurang kontinuitas, kurang sebuah konsep," ujar Favre. Ia tahu persis apa yang dibicarakannya. Pos pertamanya di Bundesliga adalah bersama Hertha. Favre menjadi korban pemecatan pertama Michael Preetz.

Pelatih Borussia Mönchengladbach Lucien Favre
Pelatih Borussia Mönchengladbach Lucien FavreFoto: picture-alliance/dpa

Khayalan megah

Lukas Podolski melontarkan kritik terhadap klubnya FC Köln, salah satunya adalah hilangnya kontinuitas. Sejak kembali ke klub masa kecilnya tersebut di tahun 2009, Podolski telah bermain untuk 5 pelatih.

Klub lain yang terpaksa memecat pelatihnya dan turut berada di bawah lampu sorot adalah Hoffenheim. Holger Stanislawski menjadi pelatih ketiga yang dipecat dalam periode satu tahun lebih. Ia dilepas hanya selang beberapa minggu setelah para atasan menyebutnya 'pelatih yang hebat' dan betapa mereka berharap Stanislawski bisa menjadi pelatih Hoffenheim hingga 8 tahun ke depan.

Ketiga klub tersebut memiliki kecenderungan untuk menilai kemampuan klub terlalu tinggi. Mulai dari sejarah kejayaan pada kasus Köln, orang kaya tidak sabaran yang terbiasa dengan hasil instan dari tumpukan hartanya pada kasus Hoffenheim, atau keangkuhan akibat bermain di kota kelas dunia bagi Hertha. Apapun kasusnya, setiap klub menetapkan target yang tidak dapat dicapai hingga mendapatkan hasil yang penuh bencana.

Penyakit semacam ini tidak hanya menimpa ketiga klub tersebut namun juga Hamburg dan Schalke versi lama. Dan bukan berarti siklus semacam itu tidak dapat diputus. Berhasil dibuktikan oleh klub-klub yang berjaya di Bundesliga musim ini. Dortmund hampir jatuh bangkrut akibat keangkuhan. Gladbach yang juga rentan terhadap khayalan megah kini menghadapi masa depan yang cerah.

Dibutuhkan pilihan penuh hati-hati di bursa transfer, sedikit keberuntungan untuk mendapatkan pemain-pemain muda, dan fans yang tidak akan terima relegasi begitu saja. Tapi yang paling penting, dibutuhkan kontinuitas dan sebuah konsep. Seperti kata Favre. Mungkin dua tahun setelah memecat Favre, Preetz baru akan mendengar.

Matt Hermann/Carissa Paramita

Editor: Hendra Pasuhuk