1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Budaya, Pendidikan dan Media di Era Globalisasi

Ayu Purwaningsih30 Juni 2012

Dalam ajang Global Media Forum, di Bonn Jerman, mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie hadir sebagai salah satu panelis dan berbicara tentang pemikiran akan masyarakat sipil yang modern.

https://p.dw.com/p/15OZo
Jusuf Habibie di Global Media Forum 2012Foto: DW/K.Danetzki

Dalam pemaparannya di ajang GMF, mantan presiden BJ. Habibie, mengemukakan bahwa di era globalisasi, hak asasi manusia diiringi dengan rasa tanggungjawab, sementara pendidikan dan penanaman budaya diupayakan sedini mungkin mampu menelurkan masyarakat yang memelihara dialog antar budaya. Sehingga keragaman masyarakat bukan hanya menciptakan iklim kompetisi, namun kesejahteraan, perdamaian dan masyarakat yang berbudaya. Berikut perbincangannya lebih lanjut dengan Deutsche Welle.

Jusuf Habibie Global Media Forum 2012
Jusuf Habibie di Global Media Forum 2012Foto: DW/K.Danetzki

DW: Sejauh mana globalisasi membantu proses asimilasi masyarakat berbeda budaya atau sebaliknya?

Habibie: Kalau kita bisa pandai-pandai memanfaatkan teknologi dan memperkuat pertahanan budaya, kita bisa bersinergi positif dan mengambil keuntungan dari globalisasi tersebut, sehingga bisa meningkatkan produktivitas.

Produktivitas itu adalaf fungsi dari tiga elemen: budaya, agama, pengertian terhadapa ilmu pengetahuan dan teknologi. Bila ketiganya harmonis, maka produktivitas akan meningkat.

DW : Penetrasi budaya global dikeluhkan menyurutkan identitas budaya setempat. Bagaimana pendapat Anda tentang itu?

Habibie: kalau kita tidak membuat usaha atau langkah yang menunjang meningkatnya ketahanan budaya kita, jangan heran bila budaya lain masuk. Kita tak dapat menghindari masuknya internet. Siapa saja dapat memberikan informasi, yang mungkin merugikan dalam proses pembudayaan. Namun kita mengenal proses pendidikan. Pendidikan dilaksanakan dasarnya di sekolah, pembudayaan dimulai di dalam kandungan ibu. Sampai ia mati akan mengalami pendidikan dan pembudayaan. Kita mengasosiasikan pendidikan dengan sekolah? Tentu tidak. Pendidikan dialami individu hingga individu itu mati. Karena itu pemimpin masyarakat harus pandai menyediakan kepada sumber daya manusia, mulai dari rahim ibu, proses pembudayaan dan pendidikan. Itu harus diusahakan agar semua orang dapat menikmatinya tanpa pandang bulu. Pemerataan harus berfungsi.

P
Global Media ForumFoto: DW

DW : Internet semakin maju, seiring dengan masih eksisnya media tradisional. Di era globalisasi ini apakah media tradisional sudah pada kapasistasnya dalam membangun toleransi antara budaya?

Habibie: Saya berpendapat, media adalah kekuatan yang ke-empat dalam dunia modern ini. Seperti 264 tahun lalu, seorang negarawan dan ilmu kenegeraan Montesquieu, ia memberi perhatian pada tiga kekuatan ialah: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dia berpendapat, ini tak boleh dikendalikan oleh satu kekuatan atau satu grup saja, karena kalau ini terjadi, akan hilang obyektivitasnya dan merugikan rakyat.

Waktu saya harus melaksanakan tugas mengambil alih jabatan dari Suharto (mantan presiden), kita mengalami bermacam masalah. Mulai dari banyaknya PHK, jatuhnya nilai rupiah terhadap dollar, kekurangan sembako, inflasi tinggi, saya harus selesaikan itu. Waktu itu sudah berbahaya. Saya melihat satu kekuatan, yakni “People Power“, atau kekuatan rakyat yang tercermin dalam dua hal: kebebasan berbicara dan kebebasan pers untuk dapat mengeluarkan pendapat. Kekuatan itu yang harus saya manfaatkan untuk menghadapi kekuatan tidak sehat yang saya warisi (eksekutif, yudikatif dan legislatif, dikendalikan oleh satu kelompok/individu). Untuk pertama kalinya akhirnya secara sadar kekuatan keempat diterapkan. Itu ada dalam pidato saya sebagai presiden baru, ya baru dua bulan, Saya bilang ‘ini ada kekuatan keempat, dan saya laksanakan secara konsekuen'. Saya yakin media berusaha seobyektif mungkin. Karena kalau tidak obyektif, maka akan bangkrut.

Dengan membina kekuatan keempat dengan memberi kebebasan kepada media, tapi juga kebebasan kepada rakyat untuk memilih media yang mana, media kita produktif, dan akan bergandengan tangan dengan rakyat, agar sasaran kita terkena: produktivitas meningkat, obyektif tetap tapi subyektif pada kepentingan rakyat. Ketahahan budaya diberikan lewat otonomi daerah.

DW : Perkembangan internet dimanfaatkan berbagai pihak, misalnya untuk penyebaran fundamentalisme yang mengancam akar-akar demokrasi yang sudah sekian lama dipupuk. Bagaimana peran media meng-counter hal tersebut?

Habibie: Media harus memperlihatkan bahwa apa yang disampaikan mereka (fundamentalis) itu tidak benar. Oleh sebab itu media harus obyektif dan subyektif kepada kepentingan rakyat yang diwakili media. Media harus memberikan informasi yang tepat kepada rakyat untuk meningkatkan produktivitasnya dalam memperjuangkan sesuatu.

Kita lihat saja, orang dulu takut dengan diberikan kebebasan itu, 'woah semua akan menjadi Islam' , tapi kita lihat saja pada pemilu, tidak ada partai fundamentalis yang dipilih, masuk DPR saja tidak....jadi buat apa takut.

Purwaningsih