1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hukuman Mati Efektif atau Kemunduran HAM?

10 Desember 2019

Presiden Jokowi sebut koruptor bisa dijatuhi hukuman mati bila rakyat berkehendak. ICW mengatakan pernyataan Jokowi keliru karena aturan tersebut sudah tertuang dalam UU Tipikor. ICW pun tidak menyepakati hukuman mati.

https://p.dw.com/p/3UWeq
Indonesien Todesstrafe Portest
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo

Senin (09/12), seorang siswa SMK Negeri 57, Harley Hermansyah, menanyakan kepada Presiden Joko Widodo mengapa koruptor tidak dihukum mati. Menanggapi hal itu, presiden menjawab bahwa bisa saja koruptor dihukum mati bila rakyat berkehendak.

Sebenarnya aturan tentang hukuman mati bagi koruptor telah tertuang dalam Undang-Udang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Koruptor bisa dihukum mati dalam keadaan tertentu. Presiden Jokowi memberi contoh bila merugikan negara secara besar-besaran dan melakukan korupsi dana bencana alam nasional.

Lantas bila rakyat berkehendak, apakah hukuman mati efektif?

Menko Polhukam setuju hukuman mati

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani masalah kontrol narkoba dan penanganan kejahatan yaitu United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) mengatakan bahwa hukuman mati tidak terbukti efektif untuk meminimalisasi tindak pidana korupsi. PBB pun berpendirian menolak hukuman mati.

"Hukuman mati tidak pernah mencegah kejahatan apapun. PBB sebagai organisasi tentunya menekan negara untuk menghilangkan hukuman mati," ujar Country Manager UNODC untuk Indonesia Collie F. Brown di Jakarta, Senin, seperti dilansir dari Liputan6.com.

Sementara, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan setuju hukuman mati, termasuk untuk koruptor. Namun penjatuhan hukuman mati untuk kasus per kasus menjadi kewenangan pengadilan.

"Itu tergantung hakim dan jaksa. Saya sejak dulu sudah setuju hukuman mati koruptor karena itu merusak nadi, aliran darah sebuah bangsa itu ya dirusak oleh koruptor itu," kata Mahfud Md di gedung Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (10/12), seperti dilansir dari detikcom.

Hukuman mati tidak mengurangi tindak korupsi

Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, pernyataan Jokowi tentang hukuman mati sebenarnya keliru karena aturan hukuman mati sudah tertuang dalam UU Tipikor.

“Kalau melihat kehendak masyarakat, poinnya adalah kehendak bukan pada hukuman mati. Tapi bagaimana presiden bisa berperan dalam kerangka pemberantasan korupsi, misalnya dengan mengeluarkan Perppu KPK,” ujar Kurnia kepada DW Indonesia.

Kurnia juga menegaskan bahwa pada prinsipnya, ICW tidak sepakat dengan hukuman mati.

“Banyak sekali riset di negara-negara lain yang menerapkan hukuman mati, toh juga indeks persepsi korupsinya tidak jauh berbeda dengan negara-negara yang masih menggunakan hukuman mati,” jelasnya.

Kurnia menjelaskan bahwa Cina yang menerapkan hukuman mati, tapi pada kenyataannya tidak memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang baik. Setiap tahunnya, IPK diterbitkan untuk mengurutkan negara-negara di dunia berdasarkan persepsi publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politis.

Menurutnya, yang perlu diperbaiki untuk menanggulangi korupsi adalah bagaimana pemerintah bisa memperbaiki regulasi dan kelembagaan.

“Isu regulasi terkait hukuman, bagaimana keberpihakan penegak hukum, pemerintah, DPR juga lembaga pengadilan, itu 'kan harus sejalan semua. Agar kerja pemberantasan korupsi bisa maksimal dilakukan,” jelasnya.

Penghapusan hukuman mati

Dalam peringatan hari Hak Asasi Manusia Internasional, lembaga swadaya masyarakat yang fokus terhadap reformasi hukum, Instiute for Criminal Justice Reform (ICJR), merilis pernyataan tentang penghapusan hukuman mati.

Lewat ‘Laporan Kebijakan Hukuman Mati 2019’ ICJR mengingatkan kembali pemerintah Indonesia yang telah memberikan pernyataan di berbagai forum internasional tentang rencana mempertimbangkan moratorium hukuman mati sebagai langkah menghapus hukuman mati.

Menurut ICJR, komitmen ini harus didukung dengan memastikan bahwa hukuman mati tidak lagi ada dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Namun data ICJR menunjukkan bahwa masih banyak hukuman mati yang dijatuhkan pada periode Oktober 2018 hingga Oktober 2019. Dalam periode tersebut, terdakwa yang dituntut atau dijatuhi hukuman mati berjumlah 102 kasus.

Jumlah ini meningkat pesat bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu 48 terdakwa dan 36 di antaranya divonis dihukum mati di pengadilan tingkat pertama, sedangkan di pengadilan tingkat banding ada 22 terdakwa.

Secara umum, laporan ini menunjukkan bahwa perjuangan untuk mengakhiri hukuman mati merupakan perjalanan panjang dengan tantangan yang sangat serius di Indonesia. Dalam laporan itu, ICJR juga menyebut perlu adanya kebijakan terkait hukuman mati, dan menempatkan Indonesia sebagai bagian dari negara-negara beradab di masyarakat internasional. (pkp/ae)