1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Liris Maduningtyas Bantu Para Petambak Udang Lewat Jala Tech

7 November 2024

Liris Maduningtyas adalah salah satu perintis manajemen tambak udang di Indonesia. Meski tak punya pengalaman di bidang perikanan, kini Liris memimpin startup Jala Tech di Yogyakarta.

https://p.dw.com/p/4mPoZ
Liris Maduningtyas, CEO & co-founder Jala Tech
Liris Maduningtyas, CEO & co-founder Jala TechFoto: Andreas Pamungkas/DW

"Punya startup itu harus berani. Berani gagal juga dan berani ditolak. Ini penting, karena penolakan itu banyak banget," ujar Liris Maduningtyas, CEO dan co-founder Jala Tech.

Jala Tech merupakan perusahaan teknologi di bidang manajemen budi daya udang yang didirikan sejak tahun 2017 di Yogyakarta. Liris bersama rekan-rekan co-founder merintis dan mengembangkan startup tersebut hingga berhasil meluncurkan aplikasi pada tahun 2019.

Jala Tech percaya bahwa bisnis budi daya udang bisa menjadi investasi yang menguntungkan untuk jangka panjang. Apalagi Indonesia adalah negara penghasil dan eksportir udang terbesar keempat di dunia, dengan nilai ekspor mencapai sekitar Rp35,8 triliun.

Tambak udang di Yogyakarta
Indonesia disebut memiliki ketersediaan lahan dan lokasi geografis yang mendukung untuk tambak udangFoto: Andreas Pamungkas/DW

Indonesia disebut punya potensi besar sebagai negara dengan produksi udang yang tinggi karena memiliki ketersediaan lahan dan lokasi geografis yang mendukung.

Kunjungi ratusan tambak, cari tahu kesulitan petambak udang

Lewat Jala, para petambak udang dibantu untuk melakukan manajemen budi daya udang secara praktis dan efisien agar bisa meningkatkan hasil panen. Berbagai fitur dalam aplikasi membantu petambak untuk mencatat, memantau, dan memahami kondisi tambaknya agar bisa mengambil keputusan yang tepat sepanjang proses budi daya.

Membangun startup dari awal, bukan hal yang mudah bagi Liris. Apalagi Liris tidak memiliki pengalaman di bidang perikanan. Liris mengaku mengunjungi sekitar 100 tambak udang.

Sebanyak 11 ribu pemilik tambak udang sudah menggunakan aplikasi Jala
Sebanyak 11 ribu pemilik tambak udang sudah menggunakan aplikasi JalaFoto: Andreas Pamungkas/DW

Kala itu, ia menemukan bahwa banyak budi daya udang yang tidak beroperasi secara efisien, dan terpaksa merugi akibat gagal panen.

"Tapi tantangan dari awalnya itu sebenarnya adalah membangun bisnisnya dulu. Bagaimana startup itu memberikan solusi yang nyata terhadap masalah yang nyata juga. Jika itu semua sudah terpenuhi, maka kita punya bahan untuk kita sajikan ke investor,” kata Liris.

Dapat suntikan dana sekitar Rp214 miliar

Kini, sebanyak 11 ribu pemilik tambak udang sudah menggunakan aplikasi Jala dan telah berhasil memonitor budi daya udang di lebih dari 35 ribu kolam tambak. Melalui perangkat Internet of Things (IoT), Jala mengumpulkan data untuk membuat parameter seperti kualitas air, suhu dan pakan yang dikompilasi dalam satu aplikasi.

"Data-data yang sudah terkumpul di aplikasi bisa diolah oleh machine learning kita untuk kemudian menyajikan performance review ke petambak. Itu karena bisa memudahkan petambak untuk memberikan aksi yang cepat dan tepat ketika terjadi anomali di tambak,” jelas Liris.

Jala Tech pun sukses mendapatkan suntikan dana. Baru-baru ini, mereka mengumpulkan dana sebesar 13,1 juta dolar AS atau sekitar Rp214 miliar.

Berbagai fitur dalam aplikasi Jala membantu petambak untuk mencatat, memantau, dan memahami kondisi tambaknya
Berbagai fitur dalam aplikasi Jala membantu petambak untuk mencatat, memantau, dan memahami kondisi tambaknyaFoto: Andreas Pamungkas/DW

"90% lebih dari petambak kita itu, udangnya diambil untuk ekspor, sementara konsumsi lokal hanya sekitar 5 sampai 10% dari udang yang kita produksi. Posisi sekarang, kita pun sudah mulai merambah lebih ke arah hilir. Jadi, beberapa udang yang kita panen dari petambak kita olah sendiri lalu kita jual ke pasar lokal," tambah Liris.

Perempuan tak perlu minder

Menjalani peran sebagai istri, ibu, dan pengusaha tentu memiliki tantangan tersendiri. Namun, hal itu tidak serta merta membuat Liris menyerah. Bahkan saat harus berkali-kali mengajukan pitch untuk mendapatkan investasi terhadap perusahaan.

"Saya telah ditolak 100 kali. Saya enggak pernah berpikir, kalau saya ditolak, atau mendapat penolakan dari investor, itu karena saya seorang perempuan," kata Liris.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Tak bisa dimungkiri, sebagai perempuan yang bekerja di bidang yang masih didominasi oleh pria, Liris pun harus menghadapi stereotipe tertentu.

"Saya pernah mengalami satu kejadian diskriminatif saat bertemu investor. Si investor laki-laki ini mengatakan kepada saya, 'Kenapa Anda tidak merekrut CEO? Kalau begitu ‘kan Anda bisa merawat anak Anda.'"

"Waktu itu, saya merasa sangat malu dan berpikir, karena saya seorang perempuan, jadi saya harus bisa berperilaku seperti seorang pria. Tapi, ternyata enggak. Saya hanya perlu menjadi perempuan. Itu saja," cerita Liris.

Editor: Arti Ekawati

 Melisa Ester Lolindu
Melisa Ester Lolindu Melisa fokus meliput politik, lingkungan, kesetaraan gender, ekonomi, dan sosial budaya.