1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialEropa

Berjejaring Lewat Sekolah Virtual Perempuan

27 November 2021

Menikah kemudian tinggal di luar negeri bukan melulu penuh keromantisan. Beberapa korban kekerasan domestik kadang takut bercerita. Sekolah Virtual Perempuan menawarkan bantuan.

https://p.dw.com/p/437yy
Anna Knöbl menggagas Sekolah Virtual Perempuan
Anna Knöbl menggagas Sekolah Virtual PerempuanFoto: Anna Knöbl

Sekolah Virtual Perempuan dibangun untuk memberdayakan perempuan yang tinggal di mancanegara agar bisa lebih melindungi hak-hak mereka. Saat pandemi melanda dunia. Aktivis asal Indonesia, Anna Knölb bersama beberapa teman perempuan di beberapa negara lainnya di Eropa, berinisiatif untuk membuat komunitas diaspora Indonesia yang berbeda lewat sekolah digital itu.

Program penting yang menjadi perhatian  dalam program Sekolah Virtual Perempuan adalah menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan pelecehan seksual. Di samping itu yang juga menjadi perhatian adalah problematik kawin campur. Anna Knöbl salah satu penggagasnya bercerita lebih ada banyak isu-isu yang dianggap tabu atau tidak populer namun mewarnai kehidupan perempuan Indonesia di luar negeri. Untuk itu salah satu proyek yang diabuat di Sekolah Perempuan Virtual ini adalah kelas kolase virtual. "Karena kami berpikir bahwa kolase ini adalah seni atau teknik visual yang sederhana alat dan bahannya, tapi bisa menghasilkan karya visual yang luar biasa. Karena dengan kolase ini kami bisa merepresentasikan pendapat atau suara perempuan yang tidak bisa terlihat jelas artikulasinya melalui tulisan. Lalu, seni kolase ini juga bisa menghasilkan ruang diskusi antara pembuat kolase dan penikmat karya kolase tersebut," ungkap Anna.

Yang kedua, Sekolah Perempuan Virtual mempunyai program penyadartahuan WNI atau diaspora Indonesia melalui program riset dan juga kolaborasi dengan institusi yang sejenis. Misalnya, sesi konseling virtual kelompok, yang melibatkan lembaga psikologi dan feminis.

Menepis rasa takut

Lewat Sekolah Virtual Perempuan menurut Anna, banyak perempuan yang selama ini masih merasa khawatir, takut untuk bercerita dan mereka masih kesulitan dengan bahasa tempat tinggal mereka, akhirnya mereka bisa terhubung untuk bisa berbagi pengalaman dan juga berdiskusi, menyelenggarakan acara-acara atau kelas virtual, konser virtual. "Jadi hal yang unik dari sekolah virtual perempuan ini adalah keberagaman. Kami memiliki beragam latar belakang lokasi, negara, tingkat pendidikan dan profesi," papar Anna.

Rizki Suryani, salah satu anggota Sekolah Virtual Perempuan bercerita lewat jaringan ini para perempuan juga bisa saling menguatkan dan membantu satu sama lain, jika terjadi kesulitan. "Pasti sulit ya. Apalagi kita perantau. Apalagi kalau kita baru tinggal di sini yang kita tidak tahu apa-apa tentang sistem hukum mereka kan atau bagaimana kalau kita ada masalah, lalu bagaimana begitu. Kita tidak punya teman atau teman baru pun tidak ada," ungkapnya.

Tantangan hidup  di mancanegara

Mereka juga saling berbagi pengalaman dalam diskusi tentang pekerja ilegal. "Karena kebanyakan kita juga berpikir begitu indahnya tinggal di luar negeri, akan tetapi kenyataannya tidak seperti itu, dan begitu banyak orang Indonesia tertarik untuk tinggal di luar negeri, sehingga menghalalkan segala cara. Jadi kami berpikir perlunya membuka cakrawala pemikiran melalui tema-tema seperti pekerja ilegal," tandas Anna Knöbl. Selain juga berdiskusi mengenai kawin campur antarbangsa, Sekolah Virtual Perempuan juga membahas budaya atau bahasa yang menjadi tantangan tersendiri bagi diaspora Indonesia yang tinggal di luar negeri.

"Ada banyak hal yang mungkin kita tahu karena kami tinggal di luar negeri atau di Eropa, contohnya, KDRT. Karena kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap tabu atau masih menjadi aib yang sulit untuk diceritakan. Padahal bagaimana kita bisa melindungi diri, kalau kita tidak bisa melaporkan atau menceritakan apa yang terjadi," ujar Anna. Ia dan kawan-kawannya dalam jaringan tersebut berharap menyentuh perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri agar mereka bisa membuat kebijakan atau standar perlindungan WNI di luar negeri, "Saat pandemi, angka KDRT begitu meningkat, dan kami berpikir bahwa ini sangat menarik kalau semisal perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri bisa terlibat bersama kami untuk bisa membuat standar atau pengaduan yang sangat membantu WNI atau diaspora Indonesia yang mengalami KDRT.," kata Anna.

WNI juga memerlukan pembekalan untuk menghadapi gegar budaya di luar negeri, menurut Anna, dan membekali diri untuk bisa melindungi diri saat terjadi kekerasan atau saat terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki. "Biasanya hal ini menimpa diaspora Indonesia karena ketidaktahuan, termasuk juga ketidakmampuan bahasa yang dikuasai di wilayah tinggal mereka. Sehingga ini sangat penting, untuk kami yang bisa membantu mereka, untuk terhubung dengan mereka secara solidaritas," pungkas Anna.