1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Berharap Ketemu Sherman Alexie di Tanah Abang

Ben Sohib indonesischer Blogger
Ben Sohib
28 Desember 2019

Datanglah ke Tanah Abang, dan temukan puing-puing "Kampung Arab Betawi”, permukiman yang disapu amuk badai ekonomi, lalu terinjak oleh raksasa-raksasa beton yang kakinya menjejak bumi. Masih tersisakah humor di sana?

https://p.dw.com/p/3VGqO
Indonesien Überschwemmung in Jakarta
Foto: picture-alliance/Pacific Press/T. Aditya Irawan

Mula-mula mereka tidak lebih besar dari anak-anak. Lalu mereka mulai tumbuh, lebih besar ketimbang aku, lebih besar daripada pepohonan di sekitar kami. Bison bergabung dengan kami dan kaki-kaki mereka menggetarkan bumi, menjatukan orang-orang kulit putih dari tempat tidur mereka, menghempaskan piring-piring mereka ke lantai.

Begitulah penggalan halusinasi Thomas saat berada dalam pengaruh obat-obatan. Thomas, seorang pemuda Indian, bersama dua kawannya sesama penduduk reservasi Indian di Spokane, Washington, sedang berpesta narkoba. Adegan itu terekam dalam salah satu cerita pendek Sherman Alexie, seorang sastrawan penting Amerika Serikat.

Adegan yang termaktub  dalam cerita pendek berjudul "Candu Bernama Tradisi” karya penulis berdarah Indian itu, dengan lincah menyuarakan keperihan nasib komunitasnya; satu etnis yang remuk digilas, bukan hanya oleh etnis lainnya (dalam hal ini orang-orang kulit putih), namun juga oleh modernitas (dalam konteks ini kemajuan ekonomi dan teknologi Amerika Serikat). Dan Alexie menuturkannya tidak dengan nada suara tinggi penuh kemarahan, tidak pula dengan nada sendu penuh ratapan.

Cerita-cerita tentang kehidupan kaumnya sangat memikat dan hampir selalu lucu. Ironi dan humor gelap yang nyaris tak lepas dari tulisan Alexie, seolah ingin mengatasi amarah dan perih akibat kekalahan. "Kejujuran yang menyengat namun mengharukan”, komentar Kirkus Reviews saat mengomentari buku kumpulan ceritanya.

Ben Sohib indonesischer Blogger
Penulis: Ben SohibFoto: Privat

Menyikapi pahitnya kenyataan

Dan memang seperti itulah seharusnya. Humor merupakan cara paling elegan dan sehat dalam menyikapi pahitnya kenyataan. Humor semacam itu, meniscayakan kejujuran dalam memandang kerasnya fakta, dan mensyaratkan kelapangan dada untuk sanggup menertawai diri sendiri.

Jadi, apa yang menimpa dan apa yang dilakukan Alexie, sesungguhnya bisa terjadi di mana saja dan dilakukan siapa saja, di setiap ruang dan waktu di mana tegangan sosial sedang merentangkan dirinya. Dan itu tidak musti sedramatis sejarah yang dialami orang-orang Indian vis a vis kaum kulit putih dan modernitas di Amerika Serikat. Ia bisa saja berlaku pada setiap komunitas yang, meminjam istilah Amin Rais, secara "enteng-entengan” berada dalam tegangan serupa itu.

Dalam konteks keindonesiaan, misalnya yang dirisaukan sebagian etnis Tionghoa yang gagal memperoleh pengakuan sebagai "pribumi” dan terus-menerus menjadi sasaran kebencian rasial. Atau yang dirasakan sebagian etnis Sunda yang "kalah saing” melawan etnis Jawa. Atau yang dipikirkan sebagian etnis keturunan Arab  yang terbebani stereotyping sebagai provokator dan radikal, dan lain sebagainya.

Dengan kata lain, eksplorasi literer model Alexie dalam merespons kegagalan dan kekalahan yang menyakitkan, bisa dilakukan anggota komunitas mana pun yang mengidap kompleksitas serupa itu, terlepas dari berat dan "enteng-entengan” persoalannya.

Dan saya melihat potensi eksplorasi liteter serupa itu tersimpan dalam lanskap sosial politik mutakhir di Jakarta, khususnya yang terjadi di wilayah masyarakat "Arab- Betawi”. Datanglah ke Krukut dan Tanah Abang misalnya, dan temukan puing-puing "Kampung Arab Betawi”, rumah masa lalu yang telah amblas, permukiman yang hilang disapu amuk badai ekonomi, lalu terinjak oleh raksasa-raksasa beton yang kakinya menjejak bumi sementara tangan-tangan runcingnya mencakar langit.

Maka pada hari-hari tertentu sebagian dari anggota komunitas ini akan berbondong-bondong mengendarai sepeda motor,  mengibarkan bendera organisasi, memekikkan takbir, mengitari bekas tanah ayah-ayah mereka, meneriaki para raksasa yang sekarang berdiri di atasnya, dan sesekali melempari mereka dengan batu dan tongkat bambu.

Di tengah-tengah menguatnya arus konservatisme serta populisme agama dan ras di banyak belahan dunia, seperti kemenangan Trump di Amerika Serikat, Bolsonaro di Brazil, referendum Brexit di Inggris, konflik di Suriah dan Yaman, bangkitnya kekuatan Islamis di Turki, dll, maka arak-arakan itu menemukan momentumnya untuk membesar. Dan kerumunan semacam ini akan sangat antusias jika diajak "berpesta”. Mereka bahkan sanggup bertahan hingga dua malam.

Lupa daratan

Dalam suasana pesta politik yang riuh rendah seperti itu, orang mudah larut dan menjadi lupa daratan. Lemparan batu dan tongkat bambu tak lagi hanya diarahkan kepada para raksasa beton, melainkan kepada polisi juga.  Akibatnya, bara pesta dengan cepat berubah menjadi kobaran api. Bangunan dan mobil terbakar, sejumlah orang meninggal dunia, dan sebagian lainnya meringkuk di penjara. Dan atas semua kekacauan yang terjadi itu, tentu saja semua orang dengan mudah saling menunjuk hidung, kelompok yang satu mengarahkan jari telunjuknya ke hidung kelompok yang lain.

Dalam situasi seperti itulah, seseorang yang seperti Sherman Alexie dari kalangan yang tertunjuk hidungnya itu, semestinya menepi dan mengamati apa yang paling melukai. Lalu dengan jujur dan berani, menuliskan riwayat perih kehidupan kaumnya. Dan ia tidak terjebak dalam kemarahan dan ratapan yang banal, melainkan dengan pengungkapan yang segar: kegeraman yang menimbulkan tawa.

Saya melihat ekspresi kultural Betawi, termasuk Arab Betawi di dalamnya, menyimpan potensi untuk dirayakan di wilayah itu. Humor, ketajaman lidah (wittiness), keterusterangan, keterbukaan, egaliterian, merupakan kebiasaan dan nilai-nilai yang mentradisi dalam kehidupan keseharian masyarakat Betawi. Dengan itu semua, mungkin akan ada banyak raungan motor, pekik takbir, lemparan batu, pukulan bambu, dan luka di dalam cerita. Namun juga bakal timbul harapan, empati, saling pengertian, dan tawa.

Saya sering ke Tanah Abang, mengunjungi teman dan kerabat yang masih tersisa (sebagian besar lainnya sudah pindah ke pinggiran Jakarta). Saya berharap bertemu seseorang yang seperti Sherman Alexie di sana, dan kami akan sama-sama menyeka luka, dan yang paling penting: tertawa bersama.

Penulis: Ben Sohib, sastrawan, penerima program Residensi Penulis Kemendikbud di Belanda.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis