1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Berebut Curahan Dana ISIS Dengan Serangan ala Kampung Melayu

25 Mei 2017

Sel-sel teror di luar Irak dan Suriah berlomba unjuk gigi untuk mendapat curahan dana dari ISIS, yang ingin melebarkan sayapnya. Kolom editor DW Hendra Pasuhuk menanggapi teror bom Kampung Melayu.

https://p.dw.com/p/2dYns
Indonesien Explosion in Jakarta
Foto: Reuters/D. Whiteside

Aksi teror ala Manchester dan Kampung Melayu menunjukkan ancaman dan kecenderungan baru dalam kancah terorisme internasional. Sejak kekalahan besar di Irak dan Suriah, ISIS berupaya melebarkan sayap ke luar Timur Tengah dan mereka memiliki sumber dana besar. Kini, berbagai kelompok teror kecil seakan berlomba mengajukan diri menjadi "agen terpercaya ISIS" di wilayahnya masing-masing untuk mendapat curahan dana.

Bagi aparat keamanan di Eropa, Asia dan kawasan lain, ada dua jenis pelaku serangan teror berlatar belakang agama yang kini jadi ancaman besar. Yang pertama adalah pelaku teror yang dikategorikan sebagai "lonewolf", yaitu pelaku yang bergerak sendiri. Seperti Anis Amri, yang bulan Desember lalu menabrakkan truk ke arah massa di Pasar Natal di Berlin, Jerman.

Deutsche Welle DW Hendra Pasuhuk
Editor DW Hendra PasuhukFoto: DW/P. Henriksen

Kelompok kedua adalah sel-sel teror kecil yang bersaingan merancang aksi-aksi bunuh diri untuk meningkatkan citranya di mata ISIS. Kelompok-kelompok ini seakan berlomba melakukan aksi-aksi mematikan, agar diakui dan mendapat nama besar di kalangan jaringan teror internasional. Itulah yang terjadi pada aksi bom bunuh diri terbaru di Manchester, Inggris, dan di Kampung Melayu.

Di Indonesia, persaingan ini terlihat dalam meningkatnya frekuensi aksi-aksi serangan teror yang spektakuler. Tidak sampai dua tahun, Indonesia mencatat dua serangan teror mematikan di jantung ibukota Jakarta. Yang pertama serangan bergaya penyerbuan di jalan utama Thamrin Januari tahun lalu, kemudian serangan bom bunuh diri rentetan di Kampung Melayu Rabu malam (24/05). Selain itu ada beberapa serangan dan percobaan serangan di kota-kota lain.

Ciri khas kedua serangan serupa. Desain aksinya mengesankan, namun pelakunya boleh dibilang amatiran. Penyerbuan sekelompok orang dengan senjata api dan bom di pusat kota Jakarta perlu perencanaan, dana dan logistik. Demikian juga aksi bom rentetan yang dilakukan oleh dua pelaku hanya dalam selang waktu lima menit pada lokasi yang sama.

Namun kerusakan yang diakibatkan, baik korban jiwa maupun kerugian material boleh dibilang relatif tidak terlalu besar, tanpa mengecilkan arti dan tragedi yang dialami para korban tewas dan keluarganya. Dari fakta itu dapat disimpulkan, serangan dilakukan oleh pelaku-pelaku yang masih "amatiran".

Fakta ini tentu tidak memudahkan pengusutan, malah sebaliknya. Pelibatan pelaku-pelaku amatiran menunjukkan adanya potensi besar di Indonesia. Dengan mudah seseorang dapat diperalat untuk melakukan aksi bunuh diri, dibohongi dengan janji-janji sorga dan entah apa lagi.

Melihat kecenderungan instrumentalisasi agama di Indonesia belakangan ini, dapat diperkirakan ada ribuan pemuda Indonesia yang dapat dibujuk untuk siap mati demi hal-hal yang mereka anggap merupakan "Jalan Allah". Lihat saja aksi-aski FPI ketika menggalang aksi menentang Ahok. Ada jutaan orang yang merasa perlu "membela Islam" dan siap menggalang demonstrasi.

Sehari setelah bom Kampung Melayu, para politisi berebut mengeluarkan kecaman terhadap aksi teror itu, termasuk mereka yang selama ini ikut memperalat sentimen agama demi mencapai kemenangan dalam kontestasi politik. Inilah ancaman lain yang sedang mengintai Indonesia.

Banyak politisi dan mereka yang disebut-sebut sebagai "tokoh masyarakat" yang belum, atau tidak mau menyadari, bahwa mereka sedang bersekutu dengan nafsu gelap sang syaitan, ketika mereka menggunakan segala cara untuk menggapai kekuasaan demi kebesaran nama sendiri, atau demi uang yang diharapkan bakal bergelimang.

Aparat keamanan di Indonesia harus bekerja keras menggulung sel-sel teror yang makin banyak jumlahnya. Itu memang tugas mereka, untuk itu mereka mendapat pelatihan dan bayaran yang kini makin layak. Saya percaya, Kapolri Tito Karnavian dan jajarannya sangat memahami hal itu dan akan menjalankan tugasnya dengan maksimal.

Tapi siapa yang dapat menyadarkan para politisi dan "tokoh masyarakat" tentang tugas-tugas mereka dalam sistem negara demokrasi yang berdasarkan hukum? Dan siapa yang melatih para politisi agar siap menjalankan tugasnya?

Siapa yang bisa menyadarkan warga dan melatih mereka mengenali dan memilih pemimpin yang berkualitas serta berkredibilitas dalam memimpin dan menakhodai negara ini? Yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan warga serta kepentingan umum tanpa nafsu memperbesar dan memperkaya dirinya sendiri? Itulah kiranya tantangan yang lebih besar lagi bagi kelangsungan demokrasi dan kehidupan berbangsa di Indonesia.