1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Perjalanan Karier Unik Berbekal Rasa Ingin Tahu

Marjory Linardy
2 Februari 2022

Profesinya sekarang bukan profesi yang ia cita-citakan ketika berkuliah di Indonesia. Tapi tak bisa disangkal, Diah Yulianti sudah berkarier di beberapa negara.

https://p.dw.com/p/46OXA
Deutschland Heidelberg | Diah Yulianti | Kurs- und Konferenzbeauftragte
Foto: privat

Diah Yulianti berprofesi sebagai Event Manager. Sekarang dia bekerja di European Molecular Biology Laboratory (EMBL), di Heidelberg, tapi sebelumnya dia bekerja pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di kota Bonn. Tepatnya di United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Ketika ditanya mengapa pindah ke sana, Diah Yulianti bercerita, dulu ketika sedang menunggu perpanjangan kontrak di PBB, dia juga melamar di EMBL. Karena ternyata diterima, dia memutuskan untuk mengganti suasana dan pindah ke Heidelberg. “Biasanya mengurus konferensi PBB, sekarang aku mau kerja dengan ilmuwan, dengan anak-anak yang lebih muda,“ kata Diah Yulianti sambil tersenyum mengenang masa itu.

Diah Yulianti lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah. Dia berkuliah S1 jurusan Sastra Indonesia, di Universitas Airlangga, Surabaya. Sebetulnya dia dulu bercita-cita untuk menjadi ahli linguistik. Tapi setelah kuliah, dia pindah ke Semarang, dan aktif dalam organisasi IIWC yang sangat mendorong kerja suka rela. Dari situlah langkahnya jadi beralih ke arah lain.

Dia bercerita, selama kuliah, dia sibuk dengan aktivitas organisasi, juga menjadi guru SMA. Dia juga berjualan buku dan bekerja di warung. Semuanya untuk menambah uang saku. “We do what we can, buat beli bedak, dan foto kopi buku,“ katanya sambil tertawa. Karena itu, dia tidak kunjung lulus kuliah.

Gambar menunjukkan Diah bersama dengan dua orang pria
Diah Yulianti bersama dua orang Indonesia yang ia perkenalkan dengan program PhD/Postdoc di EMBLFoto: privat

Sampai akhirnya dipanggil oleh rektorat dan diancam untuk menyelesaikan skripsi dalam tiga bulan. “Kalau tidak drop out,“ kata Diah Yulianti, kembali sambil tertawa. Dia bercerita, pernah mengatakan kepada seorang temannya, bahwa berkuliah sama seperti seleksi alam. “Kalau kalian tidak kuat jadi mahasiswa, kalian lulus duluan,“ ungkapnya lagi sambil bercanda. 

Memulai karier internasional di Thailand

Dengan semua pengalaman hidup yang sudah dia peroleh, dia mulai bekerja di luar negeri. Karier internasionalnya diawali dengan magang di Thailand, tepatnya di United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) Bangkok. Yaitu di unit Assessment, Information Systems, Monitoring and Statistics (AIMS). Magang itu ia mulai tahun 2005.

Dia bercerita, merasa malu jika kembali membaca email pertamanya yang ditulis untuk melamar magang di PBB di Bangkok. Tapi email itulah yang membuat ia diterima. Atasannya mengatakan, dari email itu, mereka mendapat kesan, Diah Yulianti adalah orang yang punya bakat besar tapi belum diasah, tapi mau bekerja keras.

Setelah masa magang selesai, Diah Yulianti bekerja di kantor yang sama sebagai project assistant, atau asisten proyek, di mana dia bertugas mengurus konferensi dan berbagai pertemuan yang diadakan di ibukota Thailand, Bangkok atau di negara lain. Topik pertemuan dan konferensi yang ia urus selalu berhubungan dengan program Education for All, atau pendidikan untuk semua orang.

Setelah tiga tahun di UNESCO dia beralih ke Statistics Division, United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP) juga di Bangkok. “Tahun 2009 saya dan suami saya, yang orang Jerman, memutuskan pindah ke Jerman.“ Demikian Diah Yulianti melanjutkan ceritanya. Ketika itulah dia mulai bekerja di UNFCCC, di Bonn.

Foto menunjukkan Diah berpose bersama suaminya
Diah Yulianti bersama suami, Marc DubslaffFoto: privat

Tugasnya adalah memfasilitasi keterlibatan lembaga-lembaga pengamat, antara lain IGO, NGO dan badan PBB dalam perundingan-perundingan mengenai Climate Change. “Tahun 2012, saya pindah ke kantor saya sekarang, EMBL di Heidelberg, Jerman,“ tutur Diah Yulianti.

Dia bercerita, Heidelberg tidak sebesar Bonn, tepatnya hanya separuhnya. “Populasinya sangat muda, banyak pelajar, tapi tidak punya taman kota yang besar seperti di Bonn,“ kata Diah Yulianti. Tetapi seperti halnya Bonn yang dilalui sungai Rhein, Heidelberg juga dilalui sungai, yaitu sungai Neckar.

Menjadi kunci pendukung ilmuwan dari berbagai negara

Di EMBL, Diah Yulianti menjadi bagian dari Course and Conference Office. Pada dasarnya tugasnya adalah mendukung para ilmuwan yang bekerja di laboratorium itu, ilmuwan dari negara-negara anggota EMBL dan juga ilmuwan dari seluruh penjuru dunia, lewat penyelenggaraan konferensi, loka karya, berbagai kursus kemahiran, dan berbagai acara bertopik molecular biology dan biologi pada umumnya.

“EMBL memiliki sebuah pusat konferensi yang disebut Advanced Training Center, atau pusat pelatihan lanjutan, dengan auditorium yang bisa memuat hampir 500 orang,“ kata Diah Yulianti.

Akibat pandemi COVID-19, semua konferensi dan pelatihan dialihkan menjadi virtual, dan sejauh ini berjalan sangat sukses. Namun demikian, masa-masa membangun platform atau wadahnya, dan proses pengalihan dari pelatihan dan konferensi secara langsung menjadi virtual adalah masa yang sangat berat, tutur Diah Yulianti. Sampai saat ini pun mereka masih terus belajar untuk melaksanakannya dengan lebih baik lagi.

Foto menunjukkan Diah Yulianti di depan sejumlah besar kursi dan layar besar
Diah Yulianti mempersiapkan pelatihan secara virtual di EMBLFoto: privat

“Kami mempersiapkan semua event atau acara dari rumah. Hanya pada saat test run dan hari-hari ketika event berlangsung kami berada di kampus,“ demikian dijelaskan Diah Yulianti. Hal ini dikarenakan infrastruktur di kantor memadai, dan mereka juga membutuhkan bantuan dari tim audio visual untuk melaksanakan live streaming atau siaran langsung.

Topik-topik konferensi dan kursus di EMBL ditentukan oleh beberapa komite ilmiah yang terdiri dari ilmuwan dari berbagai bidang. “Biasanya proposal sudah didiskusikan dan diseleksi dua tahun sebelumnya,“ kata Diah Yulianti. Sebuah konferensi di EMBL butuh sekitar 18 bulan untuk disiapkan.

Awalnya adalah mengembangkan program, bersama ilmuwan yang menjadi organisatornya, mengembangkan artwork juga situsnya. Ditambah lagi dengan marketing atau pemasaran, juga pembuatan poster, peracikan sistem registrasi peserta, dan pembayaran pendaftaran. Selain itu, juga menjadi tugasnya untuk memfasilitasi review abstracts atau abstrak tinjauan, final program atau program yang siap dijalankan, mengorganisir para pembicara, juga logistik. Mengurus pada hari H tentu juga jadi bagian pekerjaannya, ditambah lagi dengan post event reporting atau pembuatan laporan setelah acara berakhir, misalnya keuangan.

Terbiasa memetakan potensi masalah, kecuali pandemi

“Sebagai event manager, kami terbiasa dengan planning dan memetakan serta mengantisipasi potensi masalah, sebelum orang lain melihatnya,“ begitu Diah Yulianti menggambarkan kesigapan dalam melaksanakan pekerjaan. Akan tetapi banyak hal yang di luar kontrol, seperti pandemi yang berlangsung sekarang ini.

Gambar menunjukkan Diah Yulianti dan empat orang perempuan rekan kerjanya.
Diah Yulianti bersama rekan kerja Maria Bacadare, Lisa Trinh, Maryann Heck dan Julie Heinecke di waktu luang.Foto: privat

“Sejak berbagai event di kantor menjadi virtual, tantangan terbesar adalah harus keep up atau terus mengikuti teknologi dan piranti lunak yang paling baru.“ Yang selalu jadi tujuannya adalah, bagaimana memproduksi sebuah acara yang memberikan user experience atau pengalaman maksimal bagi peserta. “Di lain pihak tetap menjaga kualitas EMBL, yang selalu bisa memproduksi berbagai event dengan kualitas tinggi,“ begitu ditambahkan Diah Yulianti.

Ketika ditanya, pelajaran terbesar apa yang diperoleh dari Jerman, dia tanpa ragu mengatakan, “Mandiri, berpandangan terbuka, fleksibel.“ Tapi juga bisa switch off atau melupakan pekerjaan, kalau sudah Feierabend yang dalam Bahasa Indonesia artinya jam selesai bekerja. Itu semua adalah hal-hal yang sangat ia sukai dari bekerja dan tinggal di Jerman.

Di sela-sela pekerjaannya di EMBL yang menyita sebagian besar waktunya, ia juga aktif di berbagai kegiatan sosial. Misalnya di klub bulu tangkis, klub memasak, klub konversasi dalam bahasa Jerman, dan juga sebagai salah seorang anggota Staff Representative, atau badan perwakilan pegawai EMBL. 

Rasa ingin tahu adalah pendorong utama

Diah Yulianti mengatakan, perjalanan kariernya mungkin sangat berbeda dengan orang lain. “Saya pernah menjadi guru SMA, bekerja di NGO, bekerja di kios, belajar bahasa Inggris dan Jerman dari nol, tetapi dengan kerja keras, rasa ingin tahu yang tinggi, tidak takut mencoba dan selalu siap membantu, semuanya menjadi mungkin.“

Ia mengatakan, harapan pribadinya adalah, ada orang Indonesia lagi yang bisa bekerja di EMBL. Dalam bidang biologi molekuler, EMBL adalah lembaga riset terbaik di Eropa dan mungkin kedua di dunia. “Sarana dan prasarana serta fasilitas penunjang untuk keluarga sangat bagus, kata Diah Yulianti.

Ia menambahkan, ketika dia bergabung tahun 2012 sampai tahun ini, hanya ada dua rekan dari Indonesia lainnya. Di tahun 2016 salah seorang kolega pindah ke Indonesia. Sampai sekarang masih belum ada orang Indonesia yang bekerja disini, atau mengambil program Ph.D atau postdoc. “Saya akan dengan senang hati menjawab pertanyaan dan membantu mencarikan info sekiranya ada yang tertarik untuk bekerja disini,“ demikian dikatakan Diah Yulianti. (ap)