1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Penyakit Dalam Penyebab Meninggalnya Ratusan Petugas KPPS

Rizki Akbar Putra
13 Mei 2019

Kementerian Kesehatan umumkan penyebab kematian petugas KPPS di 15 provinsi. 377 korban meninggal telah berhasil diidentifikasi. Kemenkes klaim 13 penyakit menjadi sebab musabab para pahlawan demokrasi ini berpulang.

https://p.dw.com/p/3IOI5
Indonesien Jakarta - Wahlhelfer
Foto: Reuters/W. Kurniawan

Pasca investigasi penyebab meninggalnya ratusan petugas KPPS di 15 provinsi, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bekerja sama dengan dinas kesehatan daerah mengumumkan bahwa kematian petugas KPPS disebabkan oleh 13 penyakit dan peristiwa kecelakaan. Diketahui jumlah korban meninggal di DKI Jakarta sebanyak 22 jiwa, Jawa Barat 131 jiwa, Jawa Tengah 44 jiwa, Jawa Timur 60 jiwa, Banten 16 jiwa, Bengkulu 7 jiwa, Kepulauan Riau 3 jiwa, Bali 2 jiwa, Kalimantan Selatan 8 jiwa, Kalimantan Tengah 3 jiwa, Kalimantan Timur 7 jiwa, Sulawesi Tenggara 6 jiwa, Gorontalo tidak ada, Kalimantan Selatan 66 jiwa dan Sulawesi Utara 2 jiwa. Sehingga total 377 korban meninggal telah diidentifikasi penyebab kematiannya.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI, drg. Oscar Primadi, jelaskan 13 penyakit tersebut adalah infarct myocard, gagal jantung, koma hepatikum, stroke, respiratory failure, hipertensi, meningitis, sepsis, asma, diabetes melitus, gagal ginjal, TBC dan kegagalan multi organ. Dia juga menjelaskan kebanyakan korban berusia lanjut, kisaran usia 50 – 59 tahun. Diketahui di Kepulauan Riau dan Sulawesi Tenggara ada petugas KPPS yan meninggal disebabkan kecelakaan. 

''Kejadian meninggalnya petugas pemilu tahun 2019 ini merupakan kondisi yang kita semua tidak harapkan, namun karena pekerjaan sebagai petugas pemilu juga dituntut kondisi kesehatan yang prima, maka para petugas pemilu yang mengidap penyakit-penyakit tertentu akan terpicu bila tidak mengatur waktu bekerja yang berlebihan,'' ujar Oscar dikutip dari rilis resmi Kemenkes di situs web www.depkes.go.id .

Oscar menyatakan pihaknya akan terus bekerja sama dengan KPU kedepannya dalam perencanaan pemilu berikutnya agar kejadian ini tidak kembali terulang. Ia juga meminta masyarakat untuk tetap tenang dan tidak termakan oleh berita-berita palsu yang berkembang di media sosial.

''Kepada masyarakat jangan terlampau tegang, mari percayai apa-apa yang dilakukan oleh Kemenkes,'' pungkasnya.

Siap siaga kesehatan

Wakil ketua Komisi IX DPR dari Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay, mengapresiasi investigasi yang dilakukan Kemenkes untuk mencari penyebab kematian para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Namun ia menyayangkan Kemenkes yang menurutnya tidak memantau para petugas tersebut dari awal proses pemilu berjalan.

"Kemenkes semestinya dari awal ikut mengawal penyelenggaraan pemilu kita. Jangan sampai sudah banyak korban seperti ini baru turun untuk investigasi. Itupun, hasil investigasinya tidak dapat menyelesaikan masalah," kata Saleh kepada awak media, Minggu (12/5), dikutip dari laman detiknews.

Ia meminta Kemenkes untuk menyelesaikan investigasi menyeluruh dan menyampaikan hasilnya segera kepada publik. Ia menilai polemik ini semakin meluas dan membuat masyarakat gelisah. Penting menurutnya bagi Kemenkes untuk menetralisasi isu yang ada. Saleh pun menghimbau agar dalam pelaksanaan investigasi, Kemenkes berkerja sama dengan pihak-pihak independen sehingga hasil investigasi dapat dipertanggungjawabkan.

Dr. Poedjo Hartono
Dr. Poedjo Hartono, dr. Sp.OG (K), Ketua Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran Universitas AirlanggaFoto: privat

Saat diwawancarai oleh DW Indonesia, Ketua Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Dr. Poedjo Hartono, dr. Sp.OG (K), sampaikan keprihatinannya terkait musibah ini. Ia berencana bersama dengan lembaga-lembaga dan stake holder terkait untuk membentuk tim investigasi mencari penyebab kematian petugas KPPS di Jawa Timur. Hingga tanggal 7 Mei, KPU mencatat 94 petugas meninggal di provinsi ini. Selain dengan melakukan audit verbal kepada keluarga korban, Poedjo beserta tim juga akan mewawancarai para petugas yang sakit/dirawat dan juga yang masih dalam keadaan sehat. Menurutnya ini penting agar bisa menjadi langkah preventif, hingga tewasnya petugas KPPS bisa terhindar.

Ia pun mempertanyakan mekanisme pemilihan petugas KPPS yang dilakukan oleh pihak KPU. Menurutnya dalam menyeleksi petugas KPPS, KPU harus punya persyaratan medis yang jelas.

Kisah Pilu Di Balik Sukses Pemilu 2019

"Tidak jelas. Mereka rata-rata sudah dua tiga kali bertugas dan tidak seberat ini kalau ditanya. Saya kira ini masalah yang harus dipecahkan, tidak sepele ini, sepertinya asal (memilih) saja, tapi harus dipikirkan, walaupun dananya harus besar," ujar Poedjo. Ia juga menyayangkan tidak adanya tenaga medis di tempat-tempat  pemungutan suara bahkan prosedur evakuasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dirasanya juga tidak disiapkan oleh pihak penyelenggara pemilu.

"Tidak disiapkan sama sekali kalau ada orang sakit bagaimana? Di sebuah tempat pemilihan, dirujuk ke mana, tim medisnya bagaimana, ke rumah sakit mana disiapkan, itu tidak ada. Bukan hanya petugasnya saja loh, termasuk orang yang nyoblos juga kan tua-tua juga. Enggak sesederhana ini, saya kira semuanya harus jujur tidak menyiapkan dengan baik," tambah Poedjo.

Ia pun menghimbau dinas kesehatan daerah untuk memantau kondisi para petugas KPPS yang terbaring sakit. Konseling trauma jangka panjang juga harus menjadi perhatian bagi mereka yang masih dalam keadaan sehat. Santunan dari pemerintah pusat juga harus direalisasikan kepada pahlawan-pahlawan demokrasi ini. Ia berpesan kepada para petugas KPPS yang masih bertugas agar senantiasa menjaga kondisi tubuh.

"Ini lebih terfokus ya, mungkin tempatnya lebih di pusat, di provinsi, tidak di pos-pos lokal jadi mestinya lebih gampang (terpantau). Itu kan tambah berat lagi, bukan hanya fisik tapi psikis. Tim medis harus siap disitu agar tidak kecolongan lagi. Siap siaga kesehatan lah," kata Poedjo.

Pemilu serentak sarat inefisiensi

Arif Susanto
Arif Susanto, pengamat politik dari Exposit StrategicFoto: privat

Sementara itu pengamat politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto, menilai meninggalnya ratusan petugas KPPS merupakan imbas dari inefisiensi berbagai tahapan Pemilu 2019 ini. Tahapan-tahapan tersebut dimulai dari proses verifikasi partai politik peserta pemilu, ketidaksinkronan data kependudukan berpengaruh pada penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), kurangnya pengetahuan teknis calon pemilih, dan lemahnya rencana kontingensi pihak penyelenggara untuk mengatasi kendala-kendala di lapangan. Salah satunya yakni musibah meninggalnya ratusan petugas KPPS.

Menurut Arif, gabungan problem teknis inefisiensi pada level penyelenggara dan problem budaya politik bangsa kita, menghasilkan kompleksitas luar biasa pada pemilu kali ini. Ia pun berpendapat perubahan sistem pemilu bisa menjadi solusi dari kompleksitas yang ada. "Pertama, perubahan sistem memilih dari manual menjadi digital; e-voting bukan hanya membuat pencoblosan menjadi lebih sederhana, tetapi juga penghitungan menjadi lebih akurat. Kedua, penyederhanaan administrasi kepemiluan agar dapat dicapai pemilu yang efisien tanpa menafikan asas Luber dan Jurdil," ujar Arif saat diwawancarai DW Indonesia.

Arief pun berpendapat, faktor adaptasi juga menjadi penyebab musibah ini terjadi. "Jadi saya menempatkan kelemahan sistem sebagai hal sekunder dibandingkan kelemahan teknis dan budaya, yang bersumber dari buruknya daya adaptif terhadap perkembangan manajemen informasi dan kemajuan demokrasi," tutup Arif.

Diketahui selama pelaksanaan Pemilu 2019, hingga Jumat (10/5)  total tercatat sudah 469 petugas KPPS yang dilaporkan meninggal dunia. Selain itu, petugas KPPS yang dilaporkan sakit berjumlah 4.602 orang. Sehingga jika diakumulasi, total petugas yang sakit dan meninggal sebanyak 5.071 orang.

rap/na (dari berbagai sumber)