1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bencana Iklim Gandakan Potensi Perdagangan Manusia

27 Mei 2022

Kemarau ekstrem atau bencana cuaca buruk sering kali memaksa penduduk bermigrasi untuk bisa bertahan hidup. Sebuah studi mewanti-wanti betapa pengungsi iklim sini sangat rentan menjadi korban perdagangan manusia.

https://p.dw.com/p/4Btrc
Korban siklon di Teluk Bengal, India
Foto terbaik UNICEF 2021 menampilkan korban siklon di Teluk Bengal, IndiaFoto: Supratim Bhattacharjee, Indien

Migrasi adalah strategi bertahan hidup bagi banyak komunitas di India, terutama ketika menghadapi bencana alam, krisis ekonomi, atau cuaca ekstrem. Mereka berpotensi terjebak dalam perdagangan manusia atau dieksploitasi, menurut studi oleh International Institute for Environment and Development (IIED).

"Bencana lamban seperti kekeringan terutama banyak memakan korban,” kata Ritu Bharadwaj, peneliti senor IIED. "Seperti racun tak berbau atau berasa yang menyebar di penjuru desa, fenomena ini akan dibiarkan dan diabaikan, yang memudahkan pelaku perdagangan manusia,” imbuhnya.

Laporan IIED menyimpulkan tahun 2020 sebagai tahun paling ekstrem, ketika ragam bencana iklim menimpa hampir 20 juta penduduk. Saat itu, India dilanda hama belalang terparah sejak beberapa dekade, tiga bencana siklon, gelombang panas, dan banjir yang membunuh ratusan penduduk.

Siklon Yaas di West Bengal, India
Kerusakan akibat Siklon Yaas di West Bengal, IndiaFoto: Rupak De Chowdhuri/REUTERS

Menggunakan data dari Pusat Pemantauan Pengungsi Internal, studi IIED mencatat sebanyak 3,9 juta penduduk mengungsi akibat bencana iklim sepanjang 2020. Sekitar 2,3 juta orang diperkirakan bakal terusir setiap tahun akibat ‘bencana dadakan', tulis para saintis.

Tahun ini, India sudah diterpa gelombang panas mematikan, di mana suhu udara mencapai 50 derajat Celsius di sejumlah tempat. Ilmuwan meyakini fenomena cuaca ekstrem semacam itu akan berlipat ganda di masa depan akibat perubahan iklim.

Utang dan kekeringan

Studi IIED antara lain mewawancarai 420 rumah tangga di 14 desa di kawasan yang rentan dilanda badai. Secara umum, 76 persen responden sudah pernah mengungsi dan lebih dari separuh mengaku hilangnya mata pencaharian akibat kekeringan sebagai alasan.

Menurut hasil riset, 42 persen responden yang mengungsi dari desa-desa di Palamu pernah menjadi korban kerja paksa, jerat utang, atau bekerja tanpa upah. Adapun di tempat lain jumlahnya dilaporkan sebesar 16 persen.

Kebanyakan pengungsi bekerja sebagai petani sebelum menjadi korban bencana cuaca ekstrem. "Di daerah pesisir Odisha, warga kesulitan membangun kembali rumahnya setelah dirusak badai bertubi-tubi,” kata Umi Daniel, direktur sebuah lembaga bantuan lokal.

Wilayah-wilayah pesisir timur India sejak lama mencatatkan angka perdagangan manusia yang tinggi. Makelar buruh dikabarkan rajin berkeliaran dan berusaha menjebak warga dalam jerat utang yang berujung kerja paksa. 

Ketika buruh pria kebanyakan mendarat di sektor konstruksi, perempuan muda dijual sebagai pembantu rumah tangga di kota-kota besar, kata pegiat HAM India, Johnson Topno. Menurutnya, perempuan justru lebih rentan menjadi korban perdagangan manusia.

"Keselamatan mereka menjadi kekhawatiran besar dan seringkali gaji mereka juga tidak dibayar,” ujarnya seperti dilansir Thomson Reuters. 

Repotnya, meski krisis iklim terbukti menambah angka kemiskinan dan ketimpangan di India, pemerintah sejauh ini belum menganggapnya sebagai motor utama fenomena pengungsian atau perdagangan manusia, menurut kesimpulan studi.

rzn/ha (Thomson Reuters)