1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Belajar Nasionalisme dari Komik

Anton Kurnia6 September 2016

Komik Indonesia apa yang Anda suka? Rasa kebangsaan tak bisa dipaksakan meski melalui latihan bela negara ala militer. Kita bisa belajar hal baik dari apa saja, termasuk dari komik. Seperti pengalaman Anton Kurnia.

https://p.dw.com/p/1Jsq6
Bildergalerie Frankfurter Buchmesse 2015 Indonesien
Foto: DW/R. Nugraha

Merah putih serentak berkibar di arena Olimpiade di Rio de Janeiro, Brasil, saat pasangan ganda campuran Ahmad Tantowi dan Liliana Natsir berhasil menggondol emas setelah menaklukkan pasangan Malaysia. Rasa nasionalisme segenap warga negara Indonesia pun seakan membeludak. Ada suatu perasaan kebersamaan yang hangat bahwa kita satu bangsa dan satu negara dan kita bangga menjadi orang Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Penulis; Kurnia Blogger
Penulis; Kurnia BloggerFoto: privat

Bicara soal nasionalisme, saya belajar rasa kebangsaan itu bukan dari upacara bendera setiap hari Senin di sekolah, melainkan dari komik. Tidak salahkah?

Seperti pernah diungkap Marcell Boneff dalam "Sebuah Cermin Ideologi: Cerita Bergambar Indonesia" (1983), di Indonesia komik kerap dianggap hanya "sampah khayalan untuk menyibukkan anak-anak, para buta huruf dan tukang mimpi". Para pendidik dan kaum puritan serta-merta merendahkannya dari sudut pandang moral secara a priori.

Namun, bagi saya komik adalah kawan yang baik. Sejak kecil minat baca saya dipupuk lewat koleksi komik di rumah yang saat itu lumayan bejibun. Banyak hal baik yang saya pelihara sampai saat ini berasal dari komik-komik yang saya baca itu. Seperti kata Carlos Fuentes, novelis ternama Meksiko, "Dirimu ditentukan oleh apa yang kau makan. Kau juga cerminan dari komik-komik yang kau gemari semasa kecil."

Komik favorit saya terutama karya Djair. Teristimewa serial Jaka Sembung yang berlatar Nusantara abad ke-17. Jaka Sembung alias Parmin Sutawinata adalah pahlawan pembela kaum lemah dan tertindas yang teguh memberontak terhadap kekuasaan kaum penjajah.

Nasionalisme yang Menghargai Pluralitas

Djair dikenal sebagai komikus produktif, eksploratif, dan inovatif pada masanya yang mewarnai sejarah komik Indonesia. Selain serial Jaka Sembung yang melesatkan namanya, Djair juga menggubah komik bergenre cerita silat lepas berlatar historis revolusi kemerdekaan seperti Pelet, Pekutukan, Lebak, Djerit Dalam Debu, dan Sangsaka Berlumur Darah.

Setidaknya ada dua hal yang patut dicatat dari komik-komiknya, khususnya serial Jaka Sembung. Pertama, semangat nasionalisme. Kedua, penghargaan atas pluralitas.

Karakter Jaka Sembung amat populer sehingga banyak orang mengira tokoh pendekar yang dikisahkan bermukim di desa Kandanghaur (kini sebuah kecamatan di wilayah kabupaten Indramayu), Jawa Barat, itu adalah tokoh faktual-historis. Tokoh Jaka Sembung muncul pertama kali lewat episode Bajing Ireng setebal 63 halaman terbitan Maranatha, Bandung, pada 1968. Judul terakhir atau ke-25 dari serial ini adalah Jaka Sembung vs Si Buta dari Goa Hantu (2010).

Sebelum Djair, Ganes Th melalui serial komik Si Buta dari Goa Hantu memang telah menggunakan kesadaran "Wawasan Nusantara" melalui petualangan Si Buta dan Wanara ke berbagai daerah di tanah air sebagai latar cerita. Namun, baru melalui serial Jaka Sembung kesadaran tentang nasionalisme yang tecermin dalam perjuangan Jaka Sembung dan kawan-kawannya melawan kaum penjajah Belanda dengan tujuan meraih kemerdekaan muncul sebagai wacana yang signifikan dalam komik silat kita. Itu diperkuat dengan petualangan Jaka Sembung dan orang-orang dekatnya ramai-ramai menuju timur saat dihukum buang oleh penguasa kolonial, yakni Maluku (dalam episode Iblis Pulau Aru, Wori Pendekar Bumerang, dan Singa Halmahera) dan Papua (episode Badai di Laut Arafuru dan Papua). Kedua wilayah di ujung timur Nusantara itu bahkan "belum sempat" dirambah oleh Si Buta dari Goa Hantu alias Badra Mandrawata.

Lewat serial Jaka Sembung, Djair juga membangkitkan kesadaran akan pluralitas dan kebhinnekaan melalui beragam latar belakang karakter-karakternya, termasuk para pendekar tuna grahita. Dalam serial panjang itu terdapat tokoh protagonis Awom-jago panah asal Papua yang diangkat sebagai panglima "angkatan udara" benteng Kandanghaur, Matusea si panglima "angkatan laut" yang berasal dari Halmahera dan Tuhumuri yang berdarah Maluku, Wori si pendekar bumerang yang berasal dari suku Aborigin di Australia tapi bergabung dengan pasukan Jaka Sembung, A Siong yang Tionghoa tapi berjuang melawan penjajah, Thomas van den Smoeth yang berdarah Belanda tapi bertempur di pihak pribumi, Baureksa si kaki tunggal yang beretnis Sunda, serta sepasang pendekar asal Banten: Umang yang bertangan satu dan istrinya, Mira.

Indonesien Comic Ilustrator im Caravan Studio
Foto: Imago

Mereka bersatu dan berjuang bersama Parmin alias Jaka Sembung dan istrinya Roijah si Bajing Ireng beserta para pengikutnya yang berbasis di Kandanghaur, Jawa Barat, untuk melawan penindasan kaum penjajah kolonial Belanda yang dibantu para kakitangan mereka, yakni orang-orang kita yang rela menggadaikan kemerdekaan demi harta, takhta, dan hidup sejahtera.

Dalam komik-komiknya itu, Djair menggambarkan tokoh jahat dan tokoh baik itu bisa berasal dari etnis atau bangsa apa saja. Ada bumiputra yang baik, tapi ada pula yang bajingan. Ada Tionghoa yang tamak, tapi ada pula yang dermawan. Ada bule yang bengis, tapi ada pula yang budiman.

Kita bisa belajar hal baik dari apa saja, termasuk dari komik. Nasionalisme atau rasa kebangsaan tak bisa dipaksakan meski melalui latihan bela negara ala militer. Namun, rasa itu harus dihayati dan dimaknai oleh pengalaman personal setiap individu untuk kemudian diamalkan secara adil dan beradab.

Penulis:

Anton Kurnia, penulis dan pembaca, bergiat di penerbit Baca dan Komite Buku Nasional.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.