1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Belajar Menjadi Jihadis di Penjara

19 Januari 2016

Presiden Joko Widodo ingin merevisi Undang-undang Anti Terorisme karena dianggap kurang memadai. Tapi kalangan pengamat menilai, lebih penting lagi memantau situasi di penjara-penjara di Indonesia.

https://p.dw.com/p/1Hfpi
Indonesien Muhammad Bahrun Naim mutmasslicher Mastermind der Angriffe von Jakarta
Foto: Reuters/Antara Foto/D. Prasetya

Salah satu pelaku teror Jakarta yang tewas ditembak polisi, Sunakim alias Afif, pernah ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dengan dakwaan mengikuti pelatihan teror di Jantho, Aceh. Keluar penjara, ternyata Afif malah makin nekad lagi dan siap mati untuk aksinya menyerang pos polisi dan Cafe Starbucks, Jakarta.

Bagaimana cerita Afif bisa menjadi makin radikal justru ketika ada dalam penjara? Pejabat keamanan yang dihubungi kantor berita Reuters menerangkan, Afif memang menolak program deradikalisasi yang ditawarkan pemerintah Indonesia. Di penjara dia malah berbaur dengan tahanan lain dan menjadi semakin radikal.

Afif sebelumnya dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara karena ikut sebuah kamp pelatihan militan di Aceh. Dia dibebaskan Agustus tahun lalu. Setelah keluar penjara, dia menolak ikut program deradikalisasi yang ditawarkan pemerintah, demikian pejabat keamanan itu menambahkan.

Indonesien Nach den Bombenanschlägen in Jakarta
Foto: picture-alliance/AP Photo/T. Syuflana

Polisi saat ini yakin, serangan di Jakarta dikendalikan seseorang yang berada di Suriah. Terduga utama saat ini adalah Bahrun Naim (foto artikel), yang juga pernah ditahan kemudian bebas lagi. Tapi Bahrun Naim membantah tudingan itu lewat pernyataan yang direkam dan disebarkan di internet. Polisi menyatakan masih menyelidiki apakah yang tersebar di internet itu benar-benar suara tokoh teroris yang saat ini paling dicari di Indonesia

Akbar Hadi, juru bicara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menolak mengomentari apakah kegiatan Afif ini dipantau setelah dia dibebaskan Agustus lalu.

Lembaga Analisis Kebijakan Konflik, IPAC, dalam laporannya tahun lalu menyebutkan, di Indonesia, ada 26 penjara yang menampung sekitar 270 "narapidana teroris", tapi hanya sebagian kecil dari mereka yang mendukung ISIS.

Kapolri Badrodin Haiti kepada Reuters menjelaskan, setidaknya ada lima militan Islamis yang ada dipenjara diyakini telah berkomunikasi dengan komplotan penyerang di Jalan Thamrin.

Indonesien Bombenanschläge in Jakarta
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo

Ketika ditahan di LP Cipinang, Jakarta, Afif adalah salah satu dari sekitar 20 narapidana yang sangat dipengaruhi teman sesama tahanan, yaitu ulama radikal Aman Abdurrahman, demikian kata para ahli.

Di dalam penjara inilah Aman Abdurrahman membentuk dan mengendalikan sebuah kelompok yang dibentuk sebagai gabungan darin kelompok-kelompok sempalan kecil yang mendukung ISIS.

"Mereka berbagi sel yang sama, mereka berdoa bersama-sama, mereka masak bersama-sama," kata Taufik Andrie, Direktur Institute for International Peacebuilding di Jakarta.

Abdurrahman disebut-sebut menyebarkan faham radikal "Takfiri", keyakinan di kalangan militan Sunni yang membenarkan kekerasan terhadap kaum yang mereka anggap kafir.

Indonesien Nach den Bombenanschlägen in Jakarta
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo

Aman Abdurrahman pada tahun 2013 dipindahkan ke penjara di Pulau Nusakambangan. Dari sana dia tetap berkomunikasi dengan Afif dan kelompoknya. Jaringan mereka tumbuh menjadi lebih dari 200 orang. Mereka berkomunikasi dengan menggunakan kurir dan telefon seluler.

Seorang pengacara yang pernah mendampingi pendiri Jemaah Islamiyah Abu Bakar Ba'asyir mengatakan, sering bertukar pesan dari dalam penjara dengan yang ada di luar. "Setiap kelompok pengunjung dibolehkan menjenguk. Dan mereka bisa menjadi kurir untuk membawa pesan-pesan, walaupun tidak menggunakan telefon seluler, kata Achmad Michdan..

hp/ap (rtr, afp)