Belajar Bahasa Jerman di Indonesia dari Nonton Opera
10 Januari 2020Maklum karena dulu saya masuk sekolah kejuruan (kalau sekarang SMK) bahasa asing yang saya pelajari hanya mata pelajaran bahasa Inggris saja. Tidak seperti Sekolah Menangah Atas atau SMA, dimana bahasa asing yang dipelajari kalau tidak bahasa Prancis, ya bahasa Jerman, seperti kakak-kakak saya yang dulu masuk SMA. Jadi bisa dibayangkan dong untuk generasi milineal seperti saya, belajar bahasa Jerman lumayan susah, apalagi tidak punya dasarnya sama sekali. Tapi gara-gara nonton pertunjukan opera "Die Zauberfloete" (The Magic Flute), ternyata belajar sedikit bahasa Jerman menyenangkan juga.
Ceritanya, pada tanggal 1 September 2019 lalu saya menonton pementasan opera ringan dalam bahasa Jerman berjudul Die Zauberfloete karya Wolfang Amadeus Mozart di Usmar Ismail Hall, Jakarta Selatan. Opera ringan yang dalam bahasa Jerman disebut Singspiel ini dibawakan oleh Sanggar Musicasa dan Orkes Concordia dibawah asuhan Bapak Joseph Kristanto dan Bapak Budi Utomo Probowo, yang juga seorang pengaba utama di orkes Jakarta City Philharmonic.
Pementasan ini sendiri menurut para guru pengasuh Sanggar Musicasa dan Orkes Concordia tersebut, sebetulnya bukan sebuah konser yang sempurna, karena lebih sebagai persembahan dari hasil belajar murid-murid selama satu tahun belajar musik dan vokal di sanggar tersebut. Jadi semacam ujian kenaikan untuk masuk ke kelas lanjutan, meskipun Sanggar Musicasa sendiri menurut pengakuan Joseph Kristanto, pendiri sekaligus salah satu pengajar di sana, tidak ada ujian kenaikan kelas yang identik dengan hal yang menegangkan dan membuat stress murid-murid, tetapi istilahnya diganti menjadi "Vortragsabend" (artinya kurang lebih kuliah sore).
Bagi saya yang hobi menonton pertunjukan teater profesional seperti Teater Koma-nya N.Riantiarno atau Indonesia Kita-nya Butet Kartaredjasa, pementasan opera Die Zauberfloete oleh murid-murid Sanggar Musicasa dan musisi Orkes Concordia ini sama sempurnanya dengan pementasan yang ditampilkan oleh kedua teater besar yang saya sebut di atas. Apalagi seluruh nyanyian dibawakan dalam bahasa Jerman, hanya narasi dan dialognya saja dibuat khusus dalam bahasa Indonesia, mungkin menyesuaikan dengan segmen penonton yang mayoritas adalah orang Indonesia dan tidak mahir berbahasa Jerman, seperti saya.
Opera dibuka dengan overtur yang sangat indah. Adegan pertama adalah adegan Pangeran Tamino (sambil menyanyikan "Zu Hilfe”) sedang dikejar-kejar hendak dimakan oleh seekor naga, lalu diselamatkan oleh tiga wanita (para dayang Ratu Malam), kemudian adegan dilanjutkan dengan aria "Der Vogelfaenger bin ich ja” oleh Papageno si manusia penangkap burung.
Dialog dan akting para pemain sangat segar dan mengundang tawa para penonton, karena mereka menggunakan kata-kata keninian seperti: hoax, viral, bahkan ada adegan saat Pangeran Tamino bertemu pertama kalinya dengan Papageno, si pangeran mengajak Papageno selfie (ber-swafoto).
Dan tentu saja tingkah si pangeran mengajak Papageno ber-selfie ria ini – yang mungkin aslinya sih tidak ada di naskah – berhasil membuat gerrr.. seluruh penonton di gedung Usmar Ismail malam itu. Karena tingkah ini sangat umum kita lakukan juga di kehidupan sehari-hari saat ini, baik ketika kita jumpa dengan tokoh idola atau cuma sekedar untuk dipamerkan di media sosial.
Lalu adegan Ratu Malam saat menyanyikan aria: "Der Hoelle Rache kocht in meinen Herzen”, sangat spektakuler suara sopranonya. Atau aria yang dilakukan tokoh Sarastro diiiringi paduan suara pria membawakan "O Isis und Osiris”. Kelucuan juga terlihat saat adegan Papageno ingin bunuh diri karena iri pada Pangeran Tamino yang sudah memiliki pasangan, yaitu Putri Pamina, sementara dia sendiri belum juga menemukan kekasih hatinya. Papageno menjadi mabuk dan ingin gantung diri tapi takut mati. Beruntung datang tiga peri memberi nasihat dan Papageno ceria kembali dan akhirnya bertemu belahan jiwanya, Papagena.
Murid-murid Sanggar Musicasa dan musisi dari Orkes Concordia memang tidak membawakan opera Die Zauberfloete secara utuh malam itu, hanya sebagain besar dari kedua babak opera ini saja.
Tapi secara keseluruhan pertunjukan yang mereka bawakan sangat segar dan banyak adegan dan dialog kocak yang menghibur penonton. Seingat saya, di Indonesia belum pernah ada teater atau sanggar yang membawakan Singspiel karya Mozart ini, mungkin baru Sanggar Musicasa saja yang pertama kali melakukannya. ApalagiSingspiel ini menjadi sarana belajar bahasa Jerman bagi pemula seperti saya, karena seluruh nyanyiannya dibawakan dalam bahasa aslinya. Jadi mau tidak mau, sepulang dari pertunjukan, saya langsung googling lirik aria-aria yang dinyanyikan dan belajar cara membacanya dengan bantuan google translate.
Misalnya salah satu adegan favorit saya, ketika Papageno dan Papagena berduet menyanyikan: "Pa – Pa – Pa” di akhir babak kedua, beberapa penggal liriknya adalah sebagai berikut:
Welche Freude wird das seyn,
Wenn die Goetter uns bedenken,
Unser liebe Kinder schenken,
So liebe kleine Kinderlein
Saya jadi tahu kata "Kinder” itu artinya anak-anak, "Liebe” artinya cinta, dan "Goetter” artinya Tuhan. Ya, lumayan lah untuk ukuran orang yang tidak tahu bahasa Jerman sama sekali, dengan menonton opera Die Zauberfloete saya sekarang jadi bisa tahu arti satu-dua suku kata dalam bahasa Jerman.
Semoga saja, opera Die Zauberfloete di masa datang akan semakin sering dipentaskan lagi di Indonesia, karena selain opera ini sangat terkenal dan karya dari seorang komponis besar dunia W.A. Mozart, opera ini juga bisa jadi sarana bagi yang ingin belajar atau malah inginmengasah kemampuan berbahasa Jermannya, karena seluruh lirik aria, duet, choir atau quintetnya dibawakan dalam bahasa Jerman. Salah satu cara efektif untuk mengenal bahasa asing memang bisa lewat lagu atau nonton film dan opera, jika belum mampu untuk ikut kursus di lembaga kursus bahasa.
* Wida Semito adalah, penikmat seni & musik klasik. Saat ini lebih banyak tinggal di Jakarta.
**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.