1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Balada Hakim dan Martin

24 Mei 2017

Gonjang-ganjing politik, pemilu atau pilkada mengoyak pertemanan Anda? Apakah balada Hakim dan Martin ini Anda alami? Simak opini Andibachtiar Yusuf.

https://p.dw.com/p/2dRwb
Symbolbild Solidarität
Foto: Fotolia/lassedesignen

Hakim dan Martin berteman sejak lama, sangat lama bahkan sampai keduanya sering berdebat kapan pertama kali mereka bertemu. Hakim selalu merasa pertemuan pertama adalah saat keduanya duduk di kelas 2 SD sementara Martin berkeras bahwa setahun sebelumnya ia pernah menolong sahabatnya tersebut saat dikeroyok oleh teman sekelas.

Mereka menghabiskan masa SD, SMP dan kemudian SMA bersama-sama, bahkan sempat berulang kali duduk sebangku…..sampai kemudian pilihan kampus membawa keduanya keluar dari Jakarta di dua kota yang berbeda. Demikian pun mereka tetap berteman, selalu saling menghubungi dan sesekali bertemu.

Opini:  Andibachtiar Yusuf
Opini: Andibachtiar YusufFoto: Andibachtiar Yusuf

Waktu berjalan dalam kecepatan yang sangat tinggi, keduanya semakin jarang bertemu di dunia nyata, namun tetap sering berjumpa di media sosial. Martin kerap membagi foto kepada Hakim via facebook, juga sebaliknya. Lewat Twitter, keduanya tak hanya saling sapa, tetapi juga saling colek mesra membahas hal-hal yang mereka sama-sama pahami.

Hakim datang menjadi saksi di depan pastor untuk memastikan bahwa Martin Antony Situmeang adalah seorang bujangan dan belum pernah menikah, sebaliknya Martin datang menemani Hakim Khalid Syafarwan ketika pergi melamar istrinya dan duduk persis di belakangnya ketika ijab kabul dibacakan.

Kemudian jika Anda masih ingat,  muncul duet Joko Widodo alias Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ke Jakarta. Keduanya hadir dengan gagasan yang disebut baru, yang disebut ingin menata Jakarta dengan berbagai janji manis yang disajikan dengan cara mereka. Jokowi dan Ahok kemudian memenangkan pemilihan dan menjadi duo pemimpin Jakarta. Sementara Hakim dan Martin tanpa saling janjian, sama-sama memilih duet tadi.

Saat perubahan terjadi

Waktu berjalan dan kemudian Jokowi bertekad meningkatkan posisi dari penguasa ibukota menjadi penguasa negara. Partainya dengan tangkas mengusungnya dan kembali membungkus rencana kampanyenya sebagai sebuah rencana besar bangsa, seorang representasi masyarakat kebanyakan yang siap dicolek di pasar becek manapun sehingga dekat dengan situasi terkini bangsanya. Jokowi dengan sepatu kantoran murahnya nyebur ke got, terjun ke sawah sampai juga bermain sepak bola melawan para selebriti pendukungnya dengan memakai sepatu yang sama lekas menjadi idola banyak orang.

Popularitas membumbung tinggi membawa Jokowi cepat melesat menerobos popularitas pesaingnya, yang praktis sudah lama menghiasi media nasional dan mungkin lebih sering dilihat wajahnya oleh banyak orang di negeri ini.

Jokowi adalah pilihan logis bagi Hakim yang memang merasa bahwa kehadiran orang baru di peta politik Indonesia adalah sebuah harapan baru yang lebih baik. Sementara Martin lebih cocok dengan gambaran sikap tegas yang ditonjolkan oleh pesaing Jokowi.

Jokowi pun sukses merengkuh posisi jadi orang nomor satu di Indonesia, kursi empuk yang sesekali memanas pun ia duduki dengan sesekali garuk-garuk pantat. Ahok lalu otomatis menjadi Gubernur Jakarta, orang nomer satu di ibukota negara yang kehidupan ekonomi dan kiblat kehidupannya memang cuma di Jakarta (dan Pulau Jawa). Waktu berlalu, putra sulung Hakim mulai masuk SMP sementara putri sulung Martin baru naik kelas 6 SD. Ahok yang sungguh populer itu bersiap mengetes nama besarnya yang rajin disebut di media sosial dan media konvensional itu ke titik sebenarnya. Setelah "terjamin” didukung 1 juta warga Jakarta lewat KTP nya, Ahok berlindung di bawah payung partai politik agar bisa sah maju ke pencalonan Gubernur Jakarta.

Situasi yang memanas di luaran tak mengubah frekwensi silaturahmi Hakim dan Martin. Saat Hakim pergi haji, Martin sesekali menengok anak-anak sahabatnya yang dijaga orang tua kawannya tersebut. Kampanye pun berlangsung normal saja, timses kandidat mencari cara terbaik untuk bisa "memukul” lawan mereka, lewat program sampai serangan yang sifatnya pribadi. Sampai kemudian pada sebuah obrolan sederhana di depan warga Kepulauan Seribu, Ahok menemukan sebuah kata kunci yang mampu menyerang dirinya dan kubunya.

Bertentangan di media sosial

Martin dan Hakim tetap berteman, walau faktanya kini mereka agak jarang bertemu. Kondisi pilihan politik membuat keduanya jadi semakin jarang berbicara hal-hal terkini kecuali obrolan santai tentang pola makan dan cara hidup yang baik. Via group whatsapp pun keduanya masih bertegur sapa, walau belakangan situasi jadi agak hangat karena grup sekolah ini ingin ada gerakan nyata bagi seseorang yang jelas menistakan agama Islam.

Obrolan situasional mulai dari ajakan Jum'atan massal sampai akhirnya berbagai kutipan ayat dari kitab suci yang terus disebut membawa obrolan malah menjadi tidak nyaman bagi beberapa orang.

Martin memutuskan keluar dari grup, juga beberapa teman mereka yang Non-Muslim. Tersinggung dengan sikap ini, Hakim menegur keras Martin di halaman facebooknya, Martin jelas tak terima dan merasa bahwa sikap politik adalah sikap pribadi dan itu tak ada hubungannya dengan agama seseorang.

Hakim yang kesal lalu menyebut Martin seorang kafir, keduanya lalu memutuskan pertemanan mereka di facebook, karena Martin mulai menyahut "Tahu begini gue gak selametin tu idup loe waktu digebukin anak-anak kelas 2,”

Beberapa bulan kemudian, pilkada Jakarta usai, pemenangnya sudah ditemukan. Martin dan Hakim tak lagi pernah saling sapa, pertemanan virtual pun sudah tidak lagi terjadi.  Semoga jadi renungan. 

Penulis:

Andibachtiar Yusuf

Filmmaker & Traveller

@andibachtiar

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.