1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Bagaimana Memahami Kejahatan Seksual Siber ?

Indonesien, Nadya Karima Melati, Bloggerin
Nadya Karima Melati
12 Juli 2018

Apa yang harus dilakukan jika terlanjur menjadi korban dari kejahatan seksual siber? Ikuti opini Nadya Karima Melati.

https://p.dw.com/p/31027
Symbolbild- Pornokonsum in Internet
Foto: picture-alliance/empics/Y. Mok

Dua bola matanya menatap penulis, dengan telepon genggam di tangan, dia tidak bisa berhenti melihat layar sesekali. Sesekali dia menggigit bibirnya saat berbicara. Dia bilang dia ketakutan dan hidupnya tidak lagi aman. S, 19 tahun usianya, ia datang kepada saya di suatu hari Senin siang, katanya seseorang tak dikenal muncul di internet dan meneror dia di semua media sosialnya.

Orang tidak dikenal ini mengatakan dia mempunyai foto S tanpa busana dan akan menyebarkan foto S pada keluarganya apabila S tidak mau melakukan panggilan video via Skype sembari telanjang malam ini. S langsung meradang, ia tidak ingin ada masalah lebih banyak dan ia menuruti keinginan pelaku. Ternyata pelaku tidak berhenti, seminggu kemudian pelaku ingin S datang ke sebuah pusat perbelanjaan bersama adiknya dan melakukan seks dengan dia, jika tidak, semua percakapan video telanjang dan foto-foto telanjang S akan diunggah ke internet. Sejak saat itu hidup S tidak lagi nyaman, dia menutup semua sosial medianya, ketakutan dan menghindar dari teman-temannya.

Indonesien, Nadya Karima Melati
Penulis: Nadya Karima MelatiFoto: Nadya Karima Melati

Lain lagi yang dialami sebut saja X, semenjak video seksnya tersebar oleh mantan pacarnya. Hidup X hancur seketika, dia dikeluarkan dari pekerjaannya, videonya menjadi buah bibir nasional. Namanya santer dikumandangkan pria-pria bejat yang menyebarkan video tersebut penuh suka cita.

Beberapa pria mengancam akan menyebarkan lebih luas apabila dia tidak mau melakukan hubungan seks dengannya. Sepanjang viral video seks, X telah diperkosa beramai-ramai oleh warganet. Namanya meledak, wajahnya mengisi meme lelucon perkosaan.

Kasus S dan X bukanlah satu-satunya. Dalam diskusi pada 24 Maret 2018 lalu bersama Support Group and Resource Center on Sexuality Studies, SGRC menemukan banyak remaja dan dewasa muda usia 14-25 tahun pernah mengalami kejahatan seksual siber. Kejahatan siber sediri adalah hal yang cukup baru dan berkembang bersamaan dengan kemajuan teknologi dan komunikasi. Kejahatan siber dapat menyerang personal, kepemilikan properti dari organisasi atau korporasi dan bisa juga kejahatan siber yang menyerang pemerintahan. Dalam tulisan ini, penulis fokus untuk membahas kejahatan siber yang menyerang personal khususnya identitas perempuan dan minoritas seksual dan gender.

Komnas Perempuan juga telah membuat kategori kejahatan seksual siber sebagai salah satu kasus kekerasan seksual pada Catatan Akhir Tahun 2017. Ancaman penyebaran foto, atau penyebaran video atau berpura-pura menjadi seseorang adalah bentuk-bentuk dari kejahatan seksual siber. Teknologi dan internet telah memperluas ranah perempuan dan minoritas seksual yang rentan untuk mengalami kekerasan seksual. Dan menyedihkannya, untuk kasus-kasus kejahatan seksual siber di Indonesia tidak ada penanganan hukum yang bisa berpihak kepada korban. Tulisan ini bertujuan untuk membahas jenis-jenis kekerasan seksual siber yang terjadi dan apa yang bisa dilakukan apabila kamu atau orang yang kamu kenal menjadi korbannya.

Jenis- jenis Kekerasan berbasis Siber

Dua kasus yang disebutkan di atas adalah contoh dari berbagai jenis kekerasan berbasis siber yang terjadi berdasarkan kasus-kasus yang pernah ditangani baik oleh SGRC maupun lembaga layanan yang lain.

Komnas Perempuan mencatatat, kekerasan berbasis siber ada 65 kasus menimpa  perempuan di tahun 2017 dan dilakukan oleh orang terdekat seperti pacar, mantan pacar bahkan suami korban sendiri. Sedangkan SGRC menekankan bahwa kekerasan berbasis siber menyerang secara seksual dan bukan pada perempuan khususnya tetapi pada keperempuanan. Sehingga, minoritas seksual gay ataupun waria bisa juga menjadi korban dari jenis kejahatan ini. Riska Carolina, MH, ahli hukum persekusi di Indonesia dari SGRC menyatakan ada sepuluh bentuk kekerasan berbasis siber yang dapat terjadi pada siapa saja, yakni:

1. Doxing

Doxing adalah perilaku mengambil data pribadi sesorang tanpa izin kemudian mempublikasikan tanpa seizin pemilik data tersebut. Paling mudah doxing dilakukan melalui sosial media karena kita sering kali mempublikasi konten sosial media seperti facebook atau Instagram. tapi tidak jarang juga dilakukan dengan proses hacking. Berdasarkan kriteria ini, akun @budesumiyati yang viral di Instagram dan Twitter adalah contoh dari tindakan ini. Neti Herawati, pemilik foto-foto dari akun @budesumiyati dalam wawancaranya bersama HitamPutih, menyatakan tidak mengenal dan tidak tahu menahu soal fotonya yang digunakan oleh akun tersebut. Pelaku doxing akun @budesumiyati memberi pengakuan bahwa Bude Sumiyati adalah karakter fiksi yang membutuhkan visualisasi, foto-foto Neti Herawati diambil tanpa seizin pemiliknya. Seperti yang terjadi pada Neti, ia memaafkan pelaku walaupun ia juga tidak mengenal siapa pelaku tetapi selama foto-fotonya digunakan untuk hal yang positif dan tidak bernuansa seksual, ia tidak masalah.

2.Deflamation

Upaya pencemaran nama baik yg dilakukan beramai-ramai secara terorganisir dengan tujuan untuk membanjiri sosial media seseorang/laman suatu organisasi dengan ulasan buruk sampai dengan niatan fitnah & kabar bohong (hoax). Upaya pencemaran nama baik ini bisa menyerang siapa saja dan biasanya tokoh dengan pengaruh tertentu dengan tujuan merendahkan. Akun informasi twitwar seringkali mempromosikan perang twit dan asumsi-asumsi selebtwit dalam twit-twitnya menjadi serangan  bertubi-tubi yang dilakukan warganet dengan tujuan menyerang.

3.Flaming

Apabila deflamation dilakukan keroyokan secara publik, flaming nyerang personal message atau DM. Isinya tidak jauh-jauh dari ancaman, hinaan, cercaan, pelecehan, video porno, kalimat tak senonoh, gif porno. Flaming paling sering dialami perempuan. Sering sekali tanpa persetujuan perempuan, seorang lelaki mengirimkan foto genitalnya secara personal kepada perempuan dengan tujuan ingin mengajak berhubungan seksual. Foto kelamin dikirimkan bersamaan dengan ajakan brhubungan seks dan apabila tidak ditanggapi sering dikirim terus menerus beserta hinaan, cercaan ataupun pengiriman video porno secara terus menerus.

4.Hate Speech

Apabila  pencemaran nama baik di online macamnya seperti hinaan dan cercaan, hate speech bisa dilakukan oleh individu/grup yg menyasar identitas diri seseorang, yg bercirikan hasutan untuk kekerasan. ex: dia itu kaum A, pantas dibinasakan. Biasanya terjadi pada kelompok minoritas seksual atau seseorang yang dituduh sebagai bagian dari minoritas gender dan seksual.

5.Impersonating

Impersinating adalah pemalsuan akun. Pemalsuan akun ini mengatasnamakan seseorang dilakukan dengan tujuan pencemaran nama baik  ataupun sering dilakukan oleh fans yang obsesif. Beberapa cosplayer ternama sering mengalaminya, akun-akun mereka dipalsukan dengan mengatas namakan diri mereka dan juga foto-foto mereka. Tentunya akun tersebut tidak dikelola oleh mereka. Beberapa media sosial seperti Facebook dan Instagram sudah menindak lanjuti perilaku ini apabila ada seseorang atau sebuah akun yang melakukan impersonating atas kamu atau teman yang kamu kenal, bisa melaporkan akun tersebut untuk ditutup.

6.Deadnaming

Kasus deadnaming biasanya menyerang minoritas seksual transgender baik waria taupun transman. Deadnaming adalah perilaku melecehkan nama yang dipilih oleh minoritas gender dan mempublikasikan nama lahir mereka dengan tujuan untuk menghina, mencemarkan, hingga ajakan melakukan kekerasan kepada mereka. Salah satu kasus yang sempat viral adalah tuduhan transgender pada salah seorang pedangdut Indonesia dan menyebarkan foto dan dokumen nama masa lalunya di berbagai infotaiment dan akun gosip instagram.

7.Out-ing

Out-ing adalah sebuah pengertian baru dan lumayan populer. Out-ing diambil dari istilah coming-out yang biasanya dilakukan oleh minoritas seksual kepada orang terdekatnya. Prilaku outing dilakukan tanpa persetujuan orang yang bersangkutan dan bertujuan untuk mempermalukan seseorang tersebut berdasarkan identitas gender dan seksual orientasi mereka yg berbeda, dengan sengaja mempublikasikannya melalui dunia maya. SGRC pernah mendapatkan kasus sebuah akun Instagram yang mencoba out-ing banyak lelaki yang ditemui di aplikasi kencan kemudian mempublikasikannya foto, pendidikan dan identitas sebagai homoseksual  tanpa seizin dan sepengetahuan orang tersebut.

8.Online Shaming

Online shaming bentuknya bisa berupa gambar (dibuat meme) atau caption dengan tingkatan konten dari olok-olok, hinaan, pencemaran, kabar bohong (hoax), sampe sayembara untuk mengajak melakukan kekerasan terhadap sesorang. Online Shaming adalah bentuk yang paling sering ditemui dan menyerang tokoh-tokoh tertentu. Perilaku online shaming paling sering menyasar perempuan dan keperempuanannya. Tokoh-tokoh terkenal sering menjadi sasaran dari online shaming ini. Istilah-istilah negatif yang muncul di internet seperti pelakor, feminazi, dan SJW biasanya dilekatkan bersama dengan foto salah seorang tokoh tersebut dan dengan tujuan unutk dipermalukan bersama-sama.

9.Honey Trapping

Online dating adalah sebuah fenomena sosial yang muncul akibat semakin terbatasnya waktu manusia untuk berinteraksi dan perkembangan teknologi. Ada berbagai situs atau aplikasi kencan online yang populer di Indonesia sebut saja Tinder, Setipe, Okcupid dan lainnya. Aplikasi dan situs web kencan sering disalahgunakan menjadi tindakan kekerasan yang disebut Honey Trapping. Ketika sudah berjanji untuk kencan darat dan bertemu offline, ketika bertemu muka yang terjadi malah kekerasan fisik dan sering kali disertai ancaman dan pemerasan.

10. Revenge Porn

Kasus ini adalah yang paling sering dialami remaja dan dewasa muda perempuan. Ketika mentan kekasih diputuskan cintanya kemudian tidak terima dan menyebarkan konten seksual berupa gambar telanjang, video seks dan sebagainya sebagai ancaman agar korban kembali kepada dirinya. Apabila korban menolak, maka konten tersebut disebarkan ke media sosial dan internet yang lebih luas.

Selain sepuluh kriteria yang disebutkan di atas ada beberapa kriteria lain yang menyangkut kekerasan seksual online. Ada pula Morphing dan Recruitment. Morphing adalah mengedit foto menjadi bernuansa seksual dan bertujuan untuk mengolok-olok perempuan atau seseorang. Sedangkan recruitment sering terjadi pada situs ataupun aplikasi pencari kerja yang ternyata menjadi hal lain yang tidak diinginkan seperti prostitusi.

Kebijakan Negara Menyangkut Kejahatan Seksual Siber

Ketika menjadi korban dari kejahatan seksual siber kita selalu berharap negara dapat melindungi dan mencegah kejahatan tersebut berulang. Sayang seribu sayang, undang-undang yang biasa digunakan untuk kasus kejahatan seksual siber adalah UU ITE, UU Pencemaran Nama Baik, UU Penipuan dan yang paling berbahaya adalah UU Pornografi.

Untuk kasus-kasus kejahatan siber non seksual seperti penipuan yang dilakukan online atau hacking, UU ITE dan UU Penipuan dapat digunakan tetapi bagaimana untuk kasus kejahatan seksual?

Jangankan kejahatan seksual online, kejahatan seksual seperti janji nikah dan manipulasi untuk mendapatkan seks yang sering dialami oleh perempuan Indonesia, tidak ada perlindungan hukumnya. Tidak ada undang-undang khusus yang melindungi perempuan dari kejahatan seksual kecuali UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan itu spesifik untuk relasi suami-istri sah bukan untuk nikah siri apalagi pacaran.

Dalam sebuah pelatihan yang diikuti penulis terkait penanganan kasus seksual siber di kepolisian, korban butuh pendamping dari lembaga khusus untuk melaporkan kasusnya karena rentan sekali korban khususnya tindakan Out-ing, Revenge Porn dan Deadnaming justru Undang-undang yang digunakan akan berbalik menyerang korban. Seperti contohnya kasus revenge porn penyebaran video oleh mantan pacar. Seringkali ketika video dibuat, ada relasi kuasa yang tidak terlihat seperti laki-laki memaksa perempuan untuk mau berada dalam video atau video diambil secara diam-diam.

Sayangnya undang-undang pornografi, tidak melihat perempuan yang menjadi korban perkosaan atau pelecehan seksual tetapi tetap memposisikan perempuan tersebut ikut serta dalam membuat konten dan terancam untuk juga menjadi pelaku.

Undang-undang negara Indonesia dalam mengatasi kasus-kasus kekerasan online tidak bisa dipercaya.

Ada dalam satu kasus recruitment di mana perempuan-perempuan diperjualbelikan dalam prostitusi online dan kasus tersebut diangkat dan diungkap ke polisi. Perempuan yang menjadi korban prostitusi dan pelaku prostitusi hanya dipisahkan dengan batasan umur.

Apabila di atas 16 tahun maka perempuan pekerja seks menjadi pelaku prostitusi dan di bawa batas umur tersebut, perempuan menjadi korban dan terbebas dari hukuman. Kejanggalan tersebut terjadi karena hukum Indonesia memang buta dan tidak melihat bias gender dan relasi kuasa dalam sebuah fenomena, contohnya adalah prostitusi dan kejahatan seksual siber.

Jika Kamu Menjadi Korban

Lantas apa yang harus dilakukan jika terlanjur menjadi korban dari kejahatan seksual siber yang disebutkan di atas?

Pertama-tama carilah teman yang bisa dipercaya untuk bercerita, yakinkan temanmu dan ceritakan apa yang kamu alami dan rasakan ketika peristiwa itu terjadi. Apabila yang menjadi korban adalah temanmu dan orang yang kamu kenal, segeralah berpihak. Jangan menyalahkan korban seperti, "kamu sih bugil di depan kamera” karena kita tidak pernah tau kondisi psikologis korban saat dia mengalami hal tersebut.

Bersama-sama dengan orang yang kamu percaya, yakinkan kepada orangtua ataupun lingkungan sekolah atau lingkungan terdekatmu. Bicarakan kepada mereka ketika ancaman terjadi dan jika bisa, sebelum video atau foto disebarkan. Kalian bisa juga bisa mengadu pada lembaga seperti Komnas Perempuan atas ancaman yang terjadi dan Komnas Perempuan biasanya membantu untuk memberikan lembaga pendampingan.

Jika kamu mau meneruskan kasus ini ke kepolisian, pastikan ada pendamping hukum dan psikologis karena berhadapan hukum dengan tidak adanya jaminan kepada korban memang akan sulit sekali. Kamu bisa bergabung dengan komunitas penyintas bersama Support Group and Resource Center on Sexuality Studies untuk meyakinkan bahwa kamu tidak mengalami ini sendirian, dan kita bisa bersama-sama melalui dan mengubah keadaan yang tidak adil ini. Semoga artikel ini membantu.

Penulis: Nadya Karima (ap/vlz)

Essais dan pengamat masalah sosial.

@Nadyazura

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis